Peraturan, Jadwal, dan Tahapan Pemilu 2024 Tak Kunjung Disahkan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang jadwal dan tahapan tak kunjung disahkan meski tahapan sudah dimulai bulan depan. KPU mengusulkan masa kampanye selama 90 hari, sedangkan Komisi II DPR mengusulkan 75 hari.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang jadwal dan tahapan tak kunjung disahkan meskipun tahapan akan dimulai bulan depan. KPU mengusulkan masa kampanye selama 90 hari, sedangkan Komisi II DPR mengusulkan 75 hari. Anggaran Pemilu 2024 disepakati Rp 76 triliun.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Junimart Girsang, saat dihubungi di Jakarta, Senin (16/5/2022), membenarkan, pada 13-15 Mei 2022 Komisi II DPR bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar rapat konsinyering membahas Pemilu 2024 di salah satu hotel di Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam rapat tersebut KPU memaparkan masa kampanye Pemilu 2024 selama 90 hari. Hal itu didasari alokasi waktu untuk pemenuhan logistik pemilu, yaitu pembuatan dan validasi desain surat suara siap cetak oleh penyedia selama lima hari; pengecekan dan persetujuan lima hari; produksi pencetakan di pabrik 30 hari; distribusi ke KPU provinsi, kabupaten/kota 30 hari; serta sortir lipat dan pengepakan dari KPU kabupaten/kota ke tempat pemungutan suara (TPS) 20 hari.
”Dari hasil diskusi, kajian kami dalam konsinyering tersebut, Komisi II menyampaikan masa kampanye cukup 75 hari saja dengan pertimbangan efisiensi waktu dan anggaran. Masa kampanye tersebut mengingat masih dalam masa dan atau transisi pandemi ke endemi, maka untuk kampanye fisik 60 hari, virtual 15 hari,” kata Junimart.
Dari hasil diskusi, kajian kami dalam konsinyering tersebut, Komisi II menyampaikan masa kampanye cukup 75 hari saja dengan pertimbangan efisiensi waktu dan anggaran. Masa kampanye tersebut mengingat masih dalam masa dan atau transisi pandemi ke endemi, maka untuk kampanye fisik 60 hari, virtual 15 hari.
Selain masa kampanye, juga dibahas anggaran pemilu. Junimart menyatakan telah disepakati sesuai usulan anggaran dari KPU sesuai dengan tahapan, yaitu 2022 sebesar Rp 8,061 triliun, 2023 sebesar Rp 23,857 triliun, dan 2024 sebesar Rp 44,737 triliun, sehingga total sebesar Rp 76,656 triliun.
Rapat itu juga membahas penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu 2024. Sistem informasi yang saat ini sudah digunakan KPU dan Bawaslu akan digunakan dalam Pemilu 2024, tetapi untuk pemilihan elektronik (e-voting) belum akan dipakai. Sebab, kesiapan dan teknologi masih belum merata jangkauannya ke beberapa daerah.
Ia menambahkan, rapat konsinyering tersebut juga membahas tahapan pemilu yang sudah dimulai pada bulan depan. Dalam rapat selanjutnya akan dibahas Peraturan KPU yang akan diterbitkan, termasuk tahapan pemilu.
Junimart menegaskan, dalam rapat konsinyering tersebut sudah ada kesepakatan untuk masa kampanye dan anggaran. Selanjutnya dijadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II pada 23 Mei 2022 untuk diketok secara resmi.
Masih tukar pikiran
Secara terpisah, anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan, hasil dalam rapat konsinyering tersebut belum ada keputusan. Mereka masih bertukar pikiran terkait beberapa hal yang akan dibahas dalam rapat resmi berupa RDP.
Pembahasan terkait dengan anggaran belum diputuskan secara resmi, tetapi ada kecenderungan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 76 triliun. Dalam rapat tersebut ada masukan yang perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan anggaran jika ada bencana non-alam, penyelenggara ad hoc, dan logistik.
Begitu juga dengan durasi masa kampanye. Betty mengatakan, masih banyak varian durasi masa kampanye yang masih perlu didiskusikan, termasuk masukan dari pemerintah dan Bawaslu, serta terkait masa penyelesaian sengketa. Karena itu, masih perlu diskusi teknis menyangkut kebijakan yang akan diambil.
Penggunaan sistem informasi dalam Pemilu 2024 juga belum ada kesepakatan. KPU juga masih menunggu undangan RDP untuk membahas Pemilu 2024.
Pertanyaan lanjutannya adalah apakah dengan waktu 75 hari tersebut dapat dimaksimalkan dan substansi kampanye sebagai pendidikan politik kepada masyarakat dapat tersampaikan dengan baik?
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Ihsan Maulana, menyayangkan PKPU jadwal dan tahapan yang tak kunjung disahkan karena menunggu kesepakatan masa kampanye yang akan dimasukkan di dalam PKPU jadwal dan tahapan. Padahal, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tahapan Pemilu 2024 sudah harus dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara yang jatuh pada 14 Juni 2022.
Menurut Ihsan, waktu hingga 23 Mei sangat terlalu lama. Seharusnya dalam pekan ini PKPU terkait jadwal dan tahapan, anggaran, serta kampanye bisa disahkan supaya KPU bisa segera menyiapkan aturan dan persiapan teknis lain yang sangat mepet. Ia menduga, pascarapat konsinyering yang telah dilakukan Komisi II bersama dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah akan disahkan PKPU jadwal dan tahapan dengan skema kampanye 75 hari.
Seharusnya dalam pekan ini PKPU terkait jadwal dan tahapan, anggaran, serta kampanye bisa disahkan supaya KPU bisa segera menyiapkan aturan dan persiapan teknis lain yang sangat mepet.
Masa kampanye yang diperpendek menjadi 75 hari atau 2,5 bulan seperti jalan tengah antara efisiensi waktu kampanye dan persiapan logistik yang dihadapi oleh KPU. ”Pertanyaan lanjutannya adalah apakah dengan waktu 75 hari tersebut dapat dimaksimalkan dan substansi kampanye sebagai pendidikan politik kepada masyarakat dapat tersampaikan dengan baik?” tutur Ihsan.
Ia menjelaskan, ada tantangan bagi calon peserta pemilu dengan waktu yang singkat untuk menyampaikan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat. Jangan sampai justru waktu kampanye yang singkat menjadi tantangan tersendiri dalam hal semakin masifnya politik uang akibat tidak tercukupinya ruang pendidikan politik kepada pemilih.
Anggaran Rp 76 triliun untuk Pemilu 2024 cukup tinggi. Namun, yang terpenting, dana tersebut jelas peruntukannya dan apakah masih ada ruang untuk dapat mengefisiensikan Pemilu 2024. Pasalnya, salah satu pertimbangan dilakukan keserentakan Pemilu 2024 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah efisiensi anggaran.
Selain itu, teknis dan jaminan ketersediaan logistik sampai dengan hari pemungutan suara juga akan menjadi tantangan besar. Pada Pemilu 2019, dengan masa kampanye yang cukup banyak, ketersediaan logistik di hari pemungutan suara masih menemui hambatan seperti logistik kurang, tertukar, dan rusak.
Menurut Ihsan, anggaran Rp 76 triliun untuk Pemilu 2024 cukup tinggi. Namun, yang terpenting, dana tersebut jelas peruntukannya dan apakah masih ada ruang untuk dapat mengefisiensikan Pemilu 2024. Pasalnya, salah satu pertimbangan dilakukan keserentakan Pemilu 2024 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah efisiensi anggaran.
Selain itu, perlu juga disampaikan kepada publik, porsi anggaran yang besar tersebut digunakan untuk apa dan akan dimanfaatkan di mana. Hal ini untuk mendorong transparansi penggunaan anggaran Pemilu 2024.
Adapun penggunaan sistem informasi yang sudah ada, tetapi belum menggunakan e-voting dinilai Ihsan merupakan langkah yang tepat. Sebab, ada banyak teknologi kepemiluan yang dimiliki oleh KPU yang perlu dimatangkan daripada menggunakan e-voting.
Banyak teknologi pemilu yang jauh lebih dapat diterapkan, misalnya Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan Pemilu (Silon), dan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). Apalagi, belum terdapat dasar hukum dan persiapan sama sekali dalam penggunaan e-voting.