Agar Tak Terjadi Akrobat, Dibutuhkan Aturan Teknis Penunjukan Plt ataupun Plh
Saat ini belum tersedia UU yang mengatur rinci penunjukkan plt/plh di instansi asal penjabat kepala daerah. Jabatan pokok yang melekat pada penjabat kepala daerah pun perlu diperhatikan karena rawan konflik kepentingan.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik lima penjabat kepala daerah, Kamis (12/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman memandang dibutuhkan aturan teknis untuk mengatur penunjukkan pelaksana tugas atau pelaksana harian agar aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya bisa fokus bekerja sebagai penjabat kepala daerah. Aturan teknis dibutuhkan karena Undang-Undang Pilkada ataupun UU Aparatur Sipil Negara tidak mengatur secara rinci mengenai hal itu.
Di sisi lain, rangkap jabatan pada penjabat kepala daerah tetap dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi, masa tugas penjabat kepala daerah bisa mencapai dua tahun, hingga Pemilu 2024 dilaksanakan.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi, Sabtu (14/5/2022), mengatakan, tidak semua kementerian dan pemerintah provinsi asal penjabat kepala daerah paham tentang situasi dan agenda kerja daerah. Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memang harus menyiapkan aturan teknis.
Pemerintah harus punya aturan teknis pelaksana (penunjukkan plt dan plh) itu agar tidak ada akrobat-akrobat atau penafsiran sepihak pada regulasi yang ada.
Idealnya, aturan teknis itu dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang tata cara pengisian, evaluasi rutin kinerja penjabat kepala daerah, hingga tata cara penunjukan pelaksana tugas (plt) dan pelaksana harian (plh) di instansi asal. Aturan teknis dibutuhkan sebab payung hukum UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak mengatur secara rinci mengenai hal itu.
”Pemerintah harus punya aturan teknis pelaksana (penunjukkan plt dan plh) itu agar tidak ada akrobat-akrobat atau penafsiran sepihak pada regulasi yang ada,” kata Endi.
Seperti diberitakan sebelumnya, dari lima penjabat gubernur yang telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kamis (12/5), dua di antaranya merupakan direktur jenderal di kementerian. Sebanyak satu penjabat merupakan sekretaris daerah, staf ahli menteri, dan deputi di sebuah badan. Setelah dilantik, mereka pun mengemban dua jabatan.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Jumat (13/5), mengatakan, pengisian jabatan plt atau plh itu diserahkan kepada kebijakan masing-masing instansi asal penjabat kepala daerah. Adapun Mendagri sebelumnya meminta agar penjabat kepala daerah bisa fokus menjalankan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, jabatan penjabat gubernur atau bupati/wali kota di instansi asal akan digantikan sementara oleh plt atau plh.
Baca Juga: Dirjen Otda: Jabatan Pokok Penjabat Kepala Daerah Tetap Melekat

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng
Lebih lanjut disampaikan Endi, memang agak sulit melepaskan jabatan utama ASN JPT madya karena jabatan itu menjadi dasar bagi presiden untuk menunjuk mereka sebagai penjabat gubernur. Jabatan mereka sebagai ASN JPT madya adalah syarat utama mereka bisa diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
”Kalau dia diberhentikan dari jabatan utamanya, berarti alasan untuk mengangkat mereka sebagai ex officio (anggota suatu badan menjadi anggota badan yang lain) menjadi hilang,” ujar Endi.
Meskipun demikian, Endi sepakat bahwa para penjabat kepala daerah harus fokus karena beban kerja di daerah yang akan mereka datangi luar biasa kompleks. Melihat kalender kerja daerah pada Mei dan Juni, itu adalah agenda puncak perencanaan keuangan di daerah. Para penjabat harus berhadapan langsung dengan DPRD untuk merencanakan keuangan daerah. Itu disebut sebagai titik krusial karena penjabat tidak hanya bertugas sebagai administrator, tetapi juga harus cakap secara politik untuk menghadapi kepentingan politik DPRD. Para penjabat pun harus lebih banyak hadir secara fisik di daerah.
Oleh karena itu, agar para penjabat kepala daerah ini tetap fokus bekerja di daerah, penunjukan plt atau plh dinilai sebagai solusi yang tepat. Para penjabat kepala daerah harus memprioritaskan pekerjaan di daerah. Sebab, mereka harus membangun komunikasi, mengurus pemerintahan daerah, dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik. Hal itu adalah pekerjaan yang tidak mudah dan harus ditangani secara fokus.
Baca Juga: Pejabat Kemendagri Akmal Malik Disebut Ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Sulbar

Infografik Penjabat Kepala Daerah
Terkait dengan potensi rangkap penghasilan dari rangkap jabatan penjabat kepala daerah, menurut Endi, hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, para penjabat kepala daerah ini hanya akan menerima gaji pokok dari jabatan ASN yang melekat dalam dirinya. Yang menjadi pembeda adalah fasilitas tambahan, seperti rumah dan mobil dinas serta gaji operasional sebagai penjabat kepala daerah.
”Mereka tidak akan secara signifikan membebani keuangan negara karena yang berubah hanya fasilitas tambahan dan biaya operasional selama bertugas di daerah,” ujar Endi.
Benturan kepentingan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengingatkan adanya potensi konflik kepentingan yang terjadi jika penjabat kepala daerah tetap merangkap jabatannya dengan jabatan utamanya. Misalnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik yang menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Barat.
”Tugas pokok Dirjen Otda adalah mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. Masa dia akan mengawasi tugasnya sendiri. Pada titik tertentu, bisa konflik kepentingan. Contohnya penjabat kepala daerah tidak boleh menerbitkan atau memperbarui izin yang sudah ada kecuali izin Mendagri. Sebagai tangan kanan Mendagri, hal itu menjadi sangat mudah,” tutur Feri.
Feri Amsari mengingatkan adanya potensi konflik kepentingan yang terjadi jika penjabat kepala daerah tetap merangkap jabatannya dengan jabatan utamanya.
Seperti diketahui, ada empat larangan untuk penjabat gubernur yang diatur di dalam Pasal 132A PP No 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Keempat larangan itu adalah melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya. Ketiga, membuat kebijakan pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya dan, terakhir, membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.
Baca Juga: Menjaga Legitimasi dan Menjawab Keraguan

Infografik riset aturan pengangkatan penjabat kepala daerah di masa pemilu.
Menurut Feri, potensi konflik kepentingan tersebut tidak hanya lekat pada jabatan Dirjen Otda, tetapi juga penjabat yang lain, seperti Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Hamka Hendra Noer yang dilantik sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo. ”Kan, semua hal atas izin Mendagri. Kalau izin (dan) bisa?” kata Feri.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana saat dihubungi secara terpisah juga mengungkapkan soal benturan kepentingan yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah yang ada. Memang larangan rangkap jabatan tidak ada dan hal tersebut bukan soal hukum positif. Namun, menurut dia, sangat logis jika posisi penjabat kepala daerah tidak rangkap demi efektivitas pemerintahan dan potensi benturan kepentingan.
”Apalagi, waktunya yang lama hingga lebih dari 2 tahun hingga akhir 2024. Seharusnya soal tidak merangkap jabatan ini menjadi salah satu pertimbangan utama Kemendagri/pemerintah dalam menentukan penjabat kepala daerah,” kata Denny.
Kewenangan sama
Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama mengatakan, terkait dengan rangkap jabatan, menurut dia, jabatan sebagai ASN JPT Madya tetap terus melekat pada diri pejabat yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK), Mendagri menunjuk ASN yang memang dianggap berkompeten untuk melakukan tugas tambahan sebagai penjabat kepala daerah. Adapun terkait dengan penunjukan plt atau plh untuk menggantikan tugas utama mereka hal itu diserahkan kepada diskresi masing-masing kementerian terkait.
”Plh melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara, sedangkan plt melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap,” kata Satya.

Sesuai dengan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.20-3/99 tanggal 5 Februari 2016 diatur tentang, apabila terdapat pejabat yang berhalangan minimal 7 hari kerja, untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, pejabat pemerintahan di atasnya menunjuk pelaksana harian.
Plh dan plt tidak berwenang mengambil keputusan dan tindakan yang bersifat strategis dan berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian. Plh juga tidak berwenang mengambil keputusan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Adapun di dalam beleid itu juga diatur bahwa kewenangan dari pelaksana harian dan pelaksana tugas sama. Kewenangan plh dan plt di antaranya adalah menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja, menetapkan kenaikan gaji berkala, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara (CLTN), menetapkan surat penugasan pegawai, menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antarinstansi, memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi atau administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
”Plt atau plh dapat ditunjuk untuk membantu para ASN JPT Madya yang menjadi penjabat kepala daerah untuk melaksanakan tugas di instansi asal. Sebab, para ASN JPT Madya tersebut tidak dibebaskan dari jabatan definitifnya,” kata Satya.
Kewenangan dari pelaksana harian dan pelaksana tugas sama. Kewenangan plh dan plt di antaranya adalah menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja.
Sebelumnya, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintah Abdi Negara (STIPAN) Soni Sumarsono berpendapat tentang pentingnya pengaturan secara tegas mengenai rangkap jabatan penjabat kepala daerah. Jika persoalan rangkap jabatan itu tidak diatur tegas, efektivitas pemerintahan dikhawatirkan akan terganggu. Para penjabat dikhawatirkan bisa kehilangan fokus di jabatan pokok atau asal karena harus mengurusi persoalan daerah yang sangat kompleks. Begitu pula sebaliknya, mereka tidak bisa mengelola pemerintahan di daerah dengan baik.
Soni juga berpandangan bahwa idealnya pejabat struktural yang diangkat menjadi penjabat kepala daerah dinonaktifkan sementara dan digantikan oleh plt. Pilihan plt dianggap lebih efektif dibandingkan plh karena memiliki kewenangan yang hampir sama dengan penjabat definitif.
”Bisa sementara dinonaktifkan dan diangkat pelaksana tugas dengan kewenangan penuh sehingga dua-duanya bisa berjalan efektif. Jika masih rangkap jabatan, akan kehilangan salah satu fokusnya dan tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya,” kata Soni, (Kompas, 14/5/2022). (DEA/ANA)