Menjaga Legitimasi dan Menjawab Keraguan
Ketidakyakinan terkait penunjukan penjabat kepala daerah secara merata tersebar diungkapkan oleh responden generasi Z, milenial, generasi X, hingga baby boomers.

Gelombang pertama pelantikan penjabat kepala daerah sudah dimulai pada Kamis (12/5/2022), dengan pelantikan lima penjabat gubernur di Kementerian Dalam Negeri. Mei 2022 ini terdapat 48 kepala daerah yang akan mengakhiri masa baktinya, terdiri dari 5 gubernur, 37 bupati, dan 6 wali kota.
Dalam proses itu, pemerintah perlu menjamin proses penunjukan penjabat kepala daerah dilakukan transparan dan sesuai ketentuan. Hal itu penting untuk menjawab keraguan publik agar legitimasi terjaga terhadap proses pengangkatan penjabat.
Gelombang pergantian kepala daerah oleh penjabat akan terus berlangsung secara bertahap hingga menjelang Pilkada 2024. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, ada total 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 kepala daerah pada 2023 yang bakal diisi penjabat.
Ketetapan pengisian penjabat kepala daerah ini diatur dalam Pasal 201 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pengisian penjabat kepala daerah merupakan konsekuensi yang memang harus diambil sebagai bagian dari proses pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2024.
Pengalaman menunjukkan, tidak mudah mewujudkan kemurnian penunjukan penjabat kepala daerah demi mengabdi kepada kepentingan daerah selama dalam masa kekosongan kepemimpinan definitif. Ada kasus-kasus di masa lalu, penjabat terpilih justru lekat dengan kerja-kerja bernuansa politis. Bahkan, dengan posisi strategis itu, tak jarang penjabat menjadi pengaman suara pihak tertentu saat pemilu berlangsung.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut proses pemilihan lima penjabat gubernur yang dilantik pada 12 Mei sudah melalui proses yang cukup demokratis. Dia juga menjanjikan ada mekanisme evaluasi dan pemonitoran terhadap penjabat kepala daerah itu (Kompas, 13/5/2022).
Keraguan publik
Beragam respons yang diungkap publik menyikapi persoalan pengangkatan penjabat menjadi bukti adanya kepedulian masyarakat untuk terlibat dalam pencarian sosok pengganti pemimpin di daerah. Di luar latar pendidikan, kekritisan masyarakat pada isu ini juga terbentuk dari aliran informasi serta edukasi.
Baca juga: Dirjen Otda: Jabatan Pokok Penjabat Kepala Daerah Tetap Melekat
Kepedulian publik sedianya harus terus terjaga oleh pembuktian dari pemerintah dalam proses penunjukan penjabat. Ketiadaan ketegasan komitmen untuk menjamin proses akan berjalan transparan dan jauh dari maksud politis apa pun hanya akan menjadi bola salju yang terus membesarkan guliran polemik.
Ihwal membangun kepercayaan publik dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah memang bukanlah perkara mudah. Terlebih dengan tingkat keyakinan publik yang cukup rendah terhadap proses penunjukan penjabat dapat terbebas dari kepentingan politik. Hasil jajak pendapat Kompas mengungkap, sebagian besar responden (38,3 persen) memang tidak yakin proses penunjukan penjabat kepala daerah akan murni tanpa adanya kontaminasi tekanan dengan tujuan politik praktis.
Ketidakyakinan itu secara merata tersebar diungkapkan oleh responden generasi Z (< 23 tahun), milenial (24-39), generasi X (40-55), hingga baby boomers (>55) Tingkat keraguan paling besar ditunjukan responden generasi Z (40,8 persen) dan ketidakyakinan tertinggi direspons kalangan milenial dengan proporsi 44,4 persen.
Sama halnya pula dengan proporsi pandangan dari responden jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, baik kalangan pendidikan rendah, menengah, maupun tinggi memiliki kesamaan lebih ragu-ragu dan tidak yakin proses pengangkatan penjabat dapat bebas dari kepentingan politik praktis apa pun.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur seusai pelantikan di Kantor Kementrian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Mereka yang dilantik adalah Al Muktabar (Banten), Ridwan Djamaluddin (Bangka Belitung), Akmal Malik (Sulawesi Barat), Hamka Hendra Noer (Gorontalo), dan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw (Papua Barat). Para penjabat gubernur ini akan bertugas selam satu tahun.
Penjajakan pertimbangan untuk setiap daerah bahkan bisa saja dilakukan secara kompleks dengan memperhatikan karakter sosial budaya yang juga memiliki keragaman ciri tertentu. Misalnya, adanya dialog atau masukan dari tokoh adat dan agama atau lainnya sebagai salah satu input pertimbangan dalam penunjukan penjabat kepala daerah.
Andil publik dalam pemilihan penjabat ini menjadi sangat penting. Sekalipun proses ini tidak dilakukan melalui mekanisme pemilihan, legitimasi di mata rakyat mutlak tetap harus dimiliki penjabat yang sedang memimpin. Kepercayaan masyarakat itu mustahil dapat terbangun jika proses penunjukan penjabat berjalan tidak transparan dan terkesan hanya jadi urusan para elite.
Penerimaan masyarakat terhadap penjabat kepala daerah menjadi kunci penentu berhasil tidaknya masa penggantian kepemimpinan itu. Pandangan, bahkan kekritisan masyarakat perlu ditampung sebagai pertimbangan yang menjadi wujud penghormatan atas partisipasi rakyat sekalipun bukan melalui mekanisme pemilu.
Terkait beberapa persoalan mendasar yang masih membayangi tadi, misalnya, menyangkut isu penunjukan penjabat kepala daerah dari kalangan anggota aktif TNI atau Polri. Hasil analisis dari jajak pendapat yang dilakukan mendapati pandangan publik cukup terbelah menanggapi hal itu. Penolakan cenderung lebih kuat datang dari responden berlatar pendidikan tinggi dengan proporsi tak kurang dari 51 persen.
Kondisi itu cukup berbeda dengan penerimaan publik untuk pengangkatan penjabat kepala daerah dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) atau birokrat. Jika dilihat berdasarkan latar pendidikan, responden cenderung lebih sepakat jika pengangkatan penjabat kepala daerah dari kalangan birokrat. Bahkan, pandangan positif terkait itu datang dari lebih tiga perempat responden yang berpendidikan tinggi.
Kekhawatiran akan mencuatnya pengulangan persoalan pengangkatan personel aktif TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah memang tak dapat dimungkiri tanpa adanya kejelasan mekanisme pengawasan dan payung aturan, termasuk saat adanya peralihan aparat aktif ke dalam posisi jabatan lembaga sipil untuk kemudian diangkat menjadi penjabat kepala daerah.
Terkait itu, Kemendagri juga telah menjelaskan ketersediaan pejabat tinggi di kalangan ASN masih mencukupi kebutuhan mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Berdasarkan data yang dihimpun, setidaknya saat ini ada sekitar 622 jabatan pimpinan tinggi madya (untuk penjabat gubernur) dan tak kurang dari 4.626 jabatan pimpinan tinggi pratama (untuk penjabat bupati/wali kota).

Bagaimanapun, keyakinan masyarakat atas kemurnian proses pengangkatan penjabat terus menguat menjadi tonggak kepercayaan rakyat kepada pemimpin daerah. Di samping transparansi dan menjamin proses tetap berada pada prinsip demokrasi yang bersih, pandangan dan sikap kritis publik juga perlu mendapatkan ruang untuk memperkaya pertimbangan para elite dalam mengangkat penjabat kepala daerah.