Ancaman Maritim, dari Kantong Plastik sampai Kapal Selam
Wilayah laut Indonesia memiliki rentang ancaman maritim yang semakin luas. Tak hanya kapal dan senjata canggih, plastik berisi barang berbahaya juga menjadi ancaman karena dapat diselundupkan melalui laut.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
Penemuan kantong plastik berisi kokain senilai Rp 1,25 triliun di perairan Selat Sunda, Provinsi Banten, tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menggambarkan betapa rentannya wilayah laut Indonesia. Padahal realitanya, luas laut yang harus dijaga mencapai 3.257.357 kilometer persegi, dengan batas laut teritorial dari garis dasar kontinen sejauh 12 mil. Ini belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif.
Berbeda dengan daratan, laut tidak bisa diduduki. Oleh karena itu, dalam dunia pertahanan maritim dikenal istilah Kekuatan Laut, yaitu seberapa mampu sebuah negara mengendalikan lautnya. Khusus untuk Indonesia, bukan saja laut teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang sangat luas, tetapi juga lautan Indonesia berada di antara belasan ribu pulau-pulau yang juga bisa menjadi tempat persembunyian.
Kemampuan Indonesia menguasai laut teritorial juga belum kuat. Jumlah kapal yang menjaga laut teritorial baik sipil maupun militer belum cukup. Untuk TNI, walaupun Menteri Pertahanan Prabowo Subianto depan DPR mengatakan dalam dua tahun mendatang Indonesia akan memiliki 50 kapal perang siap tempur, postur anggaran yang ada tidak menunjang pernyataan tersebut. Bahkan dalam anggaran Kemhan tahun 2022, alokasi anggaran banyak ditujukan untuk perbaikan kapal.
Ditemukannya kokain terbungkus plastik pada 8 Mei 2022 di perairan dekat Pelabuhan Merak, Banten, menunjukkan bahwa laut Indonesia yang terbuka sangat rentan. Sebuah bungkusan plastik bisa menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia karena berisi 179 kilogram kokain.
Pertanyaanya, bagaimana mendeteksi ancaman yang ukurannya sekantong plastik? Sebuah kantong plastik berisi kokain saja, jika lolos dari penangkapan, bisa berakibat buruk bagi banyak orang. Bagaimana jika kantong plastik yang ditemukan itu berisi bahan kimia atau kuman penyakit?
Modus baru
Kantong plastik berisi kokain tak sengaja ditemukan oleh empat prajurit TNI AL yang tengah melakukan patroli di Selat Sunda. Saat memantau arus balik Lebaran di Pelabuhan Merak, 8 Mei lalu, empat prajurit itu melihat empat kantong plastik hitam dan sebuah pelampung mengambang di permukaan laut.
Mereka kemudian membawa keempat kantong plastik itu ke kapal patroli. Saat dibuka, bungkusan yang dikemas rapi itu ternyata berisi kokain yang kemudian diketahui beratnya mencapai 179 kilogram.
Penyelundupan narkotika melalui jalur laut sebenarnya sudah jamak terjadi. Namun, penyelundupan dengan cara menghanyutkan narkotika di laut merupakan modus baru.
Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Ahmadi Heri Purwono, Senin (9/5/2022), lalu menyinyalir, penyelundup sengaja melemparkan bungkusan dengan disertai pelampung untuk kemudian diambil sindikatnya di koordinat tertentu. Kemungkinan lain, sindikat narkoba ini telah mengetahui data aliran arus sehingga bisa membuat perkiraan. Dengan data arus dan pasang surut yang tepat, bisa dihitung akan ke mana bungkusan tersebut hanyut. ”Atau (ada) alat bantu sinyal di dalam bungkusan,” ucapnya.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Banten Brigjen (Pol) Hendri Marpaung mengatakan, jumlah penemuan kokain itu tergolong spektakuler. Selama ini biasanya penemuan kokain jumlahnya tidak sampai 1 kg.
Penyelundup sengaja melemparkan bungkusan dengan disertai pelampung untuk kemudian diambil sindikatnya di koordinat tertentu. Kemungkinan lain, sindikat narkoba ini telah mengetahui data aliran arus sehingga bisa membuat perkiraan. Dengan data arus dan pasang surut yang tepat, bisa dihitung akan ke mana bungkusan tersebut hanyut.
Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah wilayah laut Indonesia sebagai transit ataukah tujuan. Namun yang pasti ada tiga sumber kokain dunia, yaitu kawasan segitiga emas di Myanmbar, sabit emas di Afghanistan, dan merak emas di Amerika latin. ”Dan yang kami tahu penyelundupan narkoba itu 85 persen lewat laut,” kata Deputi Berantas BNN Irjen (Pol) Kennedy.
Info yang dikumpulkan Kompas, tidak ada alat pemancar di dalam bungkusan yang ditemukan itu. Oleh karena itu, modus yang saat ini diduga kuat adalah bungkusan plastik itu dijatuhkan pada saat dan tempat yang telah dijanjikan sebelumnya antara pengirim dan penerima. Hal yang juga menarik adalah penemuan itu bisa dikatakan kebetulan. Selain itu, kapal yang digunakan untuk patroli adalah Kapal AL yang panjangnya sekitar 20 meter.
Perang fisik
Sementara di sisi lain, negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik sedang berlomba mempersiapkan diri menghadapi perang fisik yang kemungkinan akan terjadi. Tidak tertutup Indonesia akan terseret perang fisik akibat konflik di Laut China Selatan.
Salah satu senjata yang paling penting disiapkan untuk menghadapi perang fisik itu adalah kapal selam. Pasalnya, kapal selam bisa masuk ke daerah lawan tanpa ketahuan dan membawa rudal jarak jauh yang bisa menyerang obyek-obyek vital.
Marcus Hellyer dari Australian Strategic Policy Institute (ASPI) mengatakan, ke depan, operasi kapal selam dan antikapal selam akan semakin meningkat. Apalagi di kawasan Asia Pasifik yang diwarnai oleh kompetisi antara AS dan China.
Menurut dia, untuk wilayah negara kepulauan yang mendominasi di Asia Pasifik, kapal selam yang kecil pun masih efektif. Pasalnya, banyak wilayah antarpulau untuk bisa bersembunyi. Di sisi lain, kapal selam kecil harganya relatif lebih murah sehingga banyak negara di Asia Pasifik bisa memilikinya. ”Permintaan, kondisi strategis dan pasar yang sehat akan membuat lebih banyak negara yang beli kapal selam,” kata Marcus.
Dalam diskusi Kamis yang diadakan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia dan Alumni RSIS, April lalu, Panglima Komando Gabungan Kewilayahan I Laksdya Muhammad Ali mengatakan, kemampuan peperangan bawah laut TNI belum sesuai yang diharapkan. Saat ini, Indonesia memiliki empat kapal selam, beberapa kapal frigate dan corvete yang punya kemampuan antikapal selam, heli dan maritime patrol dan ranjau laut. ”Tenggelamnya KRI Nanggala menjadi pemicu dan pemacu untuk mengadakan aset dan organisasi serta kemampuan perang bawah laut,” kata Ali.
Hal senada disampaikan Edy Prasetyono dari UI bahwa saat ini Indonesia belum banyak melakukan pengadaan kemampuan peperangan bawah laut. Padahal, hal ini harus dilakukan karena Indonesia berada di tengah kompetisi bawah laut ini. ”Kita punya tiga ALKI. Kita ada tanggung jawab internasional. Anggaran pertahanan harus cukup, kalau cuman 0.9 GDP ya gak dapat apa-apa. Kapal satu aja 5 triliun.” kata Edy.
Luasnya rentang ancaman maritim dari kantong plastik sampai kapal selam harus diatasi dengan kondisi Indonesia yang serba tidak cukup. Ada kebutuhan untuk bisa mengawasi seluruh laut, termasuk ancaman nirmiliter yang dari sisi ukuran walaupun kecil bisa menimbulkan efek besar. Namun, pada saat yang sama, kekuatan maritim Indonesia membutuhkan senjata canggih dan mahal seperti kapal selam dan seluruh perlengkapannya.