Penjabat Kepala Daerah Dievaluasi Setiap Tiga Bulan
Setiap tiga bulan penjabat kepala daerah pengganti kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban. Laporan menjadi bahan evaluasi pemerintah pusat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penjabat kepala daerah pengganti kepala-wakil kepala daerah yang telah berakhir masa jabatannya tak bisa main-main dalam menjalankan tugasnya. Setiap tiga bulan mereka diwajibkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban. Laporan menjadi bahan evaluasi sekaligus mekanisme pengawasan oleh pemerintah pusat.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian dalam pidatonya saat melantik lima penjabat gubernur, di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022), mengingatkan kewajiban para penjabat kepala daerah untuk membuat laporan pertanggungjawaban tersebut.
”Para penjabat wajib untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban tugas per tiga bulan sekali kepada Bapak Presiden melalui Mendagri, ini (untuk) konteks gubernur. (Sedangkan) bupati/wali kota (melaporkan) kepada Mendagri melalui gubernur. Demikian mekanismenya,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kelima penjabat gubernur yang dilantik adalah Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar, Penjabat Gubernur Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin, dan Penjabat Gubernur Sulawesi Barat Akmal Malik. Kemudian, Penjabat Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer dan Penjabat Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw.
Hingga 2023, total 271 kepala-wakil kepala daerah berakhir masa jabatannya. Penjabat kepala daerah akan memimpin ratusan daerah itu hingga Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional 2024 melahirkan pimpinan definitif.
Laporan pertanggungjawaban itu, kata Tito, sekaligus sebagai mekanisme kontrol agar para penjabat melaksanakan tugasnya sesuai dengan mandat yang diberikan. Masa jabatan penjabat selama satu tahun dapat diperpanjang oleh orang yang sama atau orang yang berbeda berbasis evaluasi kinerja tiga bulanan. ”Nanti kita akan lihat apa yang dia kerjakan, sampai kita menerima masukan di lapangan nanti,” ujar Tito.
Ia pun mengajak masyarakat, juga DPR dan DPD, untuk mengawasi para penjabat.
Fokus pada tugas
Selain itu, Tito juga meminta para penjabat fokus menjalankan tugasnya sebagai penjabat kepala daerah. Adapun tugas para penjabat di instansi masing-masing akan diserahkan kepada aparatur sipil negara lain. Mereka akan ditunjuk sebagai pelaksana tugas atau pelaksana harian.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman menekankan pentingnya Kemendagri memiliki kerangka pemonitoran dan evaluasi dengan variabel dan indikator penilaian yang berfokus pada lima dimensi. Kelimanya adalah tata kelola perencanaan, penganggaran, perancangan dan implementasi kebijakan, kelembagaan, serta pelayanan publik.
”Kerangka monitoring dan evaluasi itu perlu dikuatkan oleh regulasi teknis sehingga pemerintah dan publik punya kerangka yang sama,” ujarnya.
Metode evaluasi tiga bulanan pun diharapkannya melibatkan multi-pemangku kepentingan, seperti DPRD, masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan dunia usaha. ”Kemendagri juga perlu melakukan pengawasan melalui platform digital. Ini memberikan kesempatan pada semua komponen memberikan masukan,” ujarnya.
Cukup demokratis
Mengenai figur yang dipilih sebagai penjabat, Tito menyatakn bahwa proses pemilihannya tak semata diputuskan oleh Presiden dan Mendagri. Jauh sebelum diputuskan, pemerintah telah menyerap aspirasi publik.
”Presiden kemudian melakukan sidang Tim Penilai Akhir yang diikuti oleh sejumlah menteri dan kepala lembaga untuk menentukan. Mekanisme melalui sidang itu cukup demokratis,” katanya.
Dengan kata lain, proses itu dianggap tak menyimpang dari apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 67 Tahun 2021 sehingga penunjukan para penjabat dinilai tidak cacat hukum. Apalagi, menurut Tito, tak ada kata yang mewajibkan pemerintah menyusun peraturan teknis penunjukan penjabat dalam pertimbangan ataupun amar putusan MK itu.
Artinya, menjadi bagian dari diskresi pemerintah, apakah perlu membuat peraturan teknis itu atau tidak. (DEA/INA)