Pengaduan terkait dugaan konflik kepentingan dalam rencana pernikahan Ketua MK dengan adik Presiden Jokowi. Selain itu, karena hukum acara uji formil dianggap diubah secara sepihak oleh hakim MK saat pengujian UU IKN.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Poros Nasional Kedaulatan Negara atau PNKN berencana untuk mengadukan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ke Dewan Etik MK pada Senin (9/5/2022). Pengaduan tersebut dilakukan atas dugaan konflik kepentingan dalam rencana pernikahan Anwar dengan adik kandung Presiden Joko Widodo.
Selain itu, pengaduan juga dilakukan atas adanya perubahan hukum acara uji formil yang dilakukan oleh hakim konstitusi secara sepihak pada saat sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Bahkan, perubahan hukum acara yang dilakukan tersebut bertentangan dengan putusan MK sebelumnya, putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan Nomor 79/2019, MK menegaskan bahwa waktu paling lama 60 hari sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dirasa cukup untuk menyelesaikan pengujian formil sebuah UU. Akan tetapi, dalam sidang yang dipimpin Anwar Usman pada 21 April lalu, MK menyatakan bahwa batas waktu 60 hari tersebut bukan dihitung sejak perkara dicatat dalam BRPK, melainkan sejak Presiden dan DPR memberikan keterangan pada sidang terakhir (21 April).
Salah satu kuasa hukum PNKN dalam uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), Viktor Santoso Tandiasa, saat dihubungi Rabu (4/5/2022) mengatakan, pihaknya sudah bertemu dengan Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah perihal perubahan hukum acara tersebut. Pihaknya mempertanyakan keputusan tersebut mengingat MK mengabaikan putusannya sendiri.
”Tapi jawaban dari mereka bahwa itu merupakan kebiasaan MK bahwa hakim mengubah hukum acara. Saya bilang kepada mereka dengan mengutip pendapat Pak Wahid (Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams) kita ini mau membenarkan yang biasa atau membiasakan yang benar. Kalau mau membiasakan yang benar, ya putusan MK itu tidak bisa diubah kecuali dengan putusan MK juga. Kalau seperti ini, nanti para pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang akan mencontoh MK. Artinya, tidak perlu menaati putusan MK,” kata Viktor.
Pada Senin (9/5/2022) mendatang, Viktor dan timnya akan melaporkan perubahan hukum acara dan dugaan konflik kepentingan Anwar Usman ke Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Terkait dengan pernikahan Anwar, pihaknya tidak mempersoalkan pernikahan yang akan digelar. Pihaknya mempersoalkan adanya pembatasan terhadap jabatan sebagai Ketua MK, yaitu bahwa ada prinsip etik yang tidak bisa dilanggar, yaitu konflik kepentingan.
”Konflik kepentingannya itu terlihat dengan adanya kejanggalan-kejanggalan yang ada. Untuk mengatakan adanya konflik kepentingan, harus ada indikasi-indikasi. Indikasinya ini dalam hal hukum acara yang menjadi tidak sesuai dengan relnya. Ini merupakan indikasi adanya dugaan permainan atas adanya konflik kepentingan itu,” kata Viktor.
Terkait dengan pernikahan Ketua MK, Juru Bicara MK sekaligus Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, seandainya memang terjadi perkawinan antara Ketua MK Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi, hal tersebut merupakan urusan privat.
MK sebagai lembaga peradilan dalam membuat putusan tidak dapat dikendalikan oleh orang-perseorangan, termasuk ketua. Sebab, putusan MK harus diambil oleh hakim bersembilan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) sebagai forum tertinggi. Setiap putusan diambil berdasarkan keyakinan setiap hakim yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Mahakuasa sebagaimana irah-irah dalam setiap putusan MK: Demi Keadilan Berdasar Tuhan YME.
”Oleh karena itu, berkaitan dengan perkara UU IKN, MK tidak boleh melarang Ketua MK sebagai bagian dari yang menyelesaikan perkara karena semua hakim MK berpegang pada Kode Etik ”Prinsip Ketidakberpihakan”. Terlebih sidang MK selalu terbuka untuk umum, tidak ada yang disembunyikan dalam proses beracara,” ujar Enny saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Khusus mengenai UU IKN, Enny mengungkapkan statusnya sama dengan UU yang lainnya. Selama ini, untuk seluruh uji UU di MK, Presiden sebagai pemberi keterangan tidak pernah hadir sendiri. ”Seluruhnya dikuasakan. Sehingga tidak ada persoalan, apalagi pengujian UU adalah kewenangan lembaga bukan urusan hubungan privat. Dan UU adalah produk hukum nasional yang disusun berdasarkan prolegnas,” tambahnya.
Hanya saja, saat ini Dewan Etik MK berada dalam status yang tinggal beranggotakan satu orang. Sebelumnya, MK memiliki Dewan Etik yang terdiri dari tiga tokoh yang berasal dari luar MK untuk menangani setiap pengaduan dan laporan dugaan pelanggaran etik oleh masyarakat. Namun, pada saat ini, Dewan Etik tersebut bisa dikatakan mati suri karena anggotanya tinggal satu orang, yaitu Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Sudjito. Dua anggota lainnya, yaitu Achmad Sodiki yang berasal dari unsur mantan hakim MK dan Ahmad Syafii Maarif dari unsur tokoh masyarakat, sudah berakhir tugasnya pada 2021. Sejak saat itu, tidak ada pengisian lagi keanggotan Dewan Etik lagi.
Sementara itu, dalam UU MK terbaru, khususnya Pasal 27A ayat (2) UU No 7/2020 tentang MK mengatur, untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan satu hakim konstitusi (aktif), satu anggota Komisi Yudisial, dan seorang akademisi berlatar belakang bidang hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan MKMK diatur melalui Peraturan MK.
”Kami tetap melapor ke Dewan Etik, tapi juga membuat tembusan ke MKMK. Tujuannya untuk bisa melihat itikad baik atau political will dari MK,” kata Viktor.
Posisi Saldi Isra
Selain itu, Viktor mengkhawatirkan posisi hakim konstitusi Saldi Isra yang jika mengacu pada keputusan presiden (keppres) pengangkatannya seharusnya berakhir pada 11 April lalu. Seperti diketahui, pengangkatan Saldi menggunakan ketentuan UU MK lama yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan.
Namun, dalam ketentuan peralihan di UU MK terbaru disebutkan bahwa hakim yang menjabat saat ini langsung mengikuti regulasi terbaru, yaitu pensiun di usia 70 tahun atau paling lama menjabat selama 15 tahun.
Viktor mengaku belum mengetahui apakah sudah ada keppres baru untuk Saldi Isra sebagai hakim konstitusi sesuai ketentuan UU MK terbaru. Sebab, menurut dia, secara legal formal Saldi Isra sudah demisioner.
”Harus dikeluarkan keppres baru supaya jangan sampai keberlanjutannya nanti dipersoalkan. Kami khawatir posisi Prof Saldi yang juga punya hak suara untuk memutus UU IKN. Biasanya terhadap perkara cacat formil, Prof Saldi hakim yang kenceng. Kalau tidak bisa memutus, kan, kami kehilangan hak suara. Nah kalau yang memutus hanya delapan hakim, otomatis posisi ketua MK jadi dua suaranya,” katanya.
Seperti diketahui, apabila putusan MK diambil oleh delapan hakim konstitusi dan suaranya sama, putusan yang berlaku adalah putusan di mana ada suara ketuanya.
”Kalau nanti tidak diterbitkan (keppres), ya, kita gugat PMH (perbuatan melawan hukum) ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena itu merugikan kita sebagai pihak yang beperkara,” kata Viktor.