Rencana Perpres untuk Percepat Pengadaan Logistik Pemilu Jangan Abaikan Akuntabilitas
Pengadaan logistik pemilu memakan anggaran yang besar. Jangan sampai hanya ingin mempercepat pengadaan demi mempersingkat durasi kampanye Pemilu 2024, lantas aspek transparansi dan akuntabilitas diabaikan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabar Presiden Joko Widodo bersedia menerbitkan peraturan presiden untuk mempercepat pengadaan dan lelang logistik pemilu disokong sejumlah pihak. Namun, aspek transparansi serta akuntabilitas harus tetap diperhatikan.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan kampanye 203 hari, sedangkan pemerintah 90 hari. Adapun fraksi-fraksi di DPR ada yang mengusulkan masa kampanye digelar selama 120 hari, 75 hari, dan 60 hari.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pertengahan April lalu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan, KPU mengusulkan kampanye 203 hari karena mempertimbangkan aspek logistik, yaitu pencetakan surat suara pemilu. Formulir surat suara baru bisa dicetak apabila sudah ada kepastian nama di daftar calon tetap. Terkait pengadaan logistik, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pernah menyampaikan bahwa Presiden Jokowi siap menerbitkan peraturan presiden untuk mempercepat pengadaan logistik pemilu.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, pengadaan dan lelang menjadi persoalan paling krusial dalam penyediaan logistik untuk pemilu. Mengingat prosesnya yang makan waktu, memang dibutuhkan aturan baru, semisal dalam bentuk peraturan presiden (perpres) untuk bisa mempercepat proses pengadaan. ”Substansi pengaturannya seperti syarat lembaga yang ikut lelang, jangka waktu pengadaan lelang, hingga pengesahan pengadaan lelang,” kata Ihsan saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/5/2022).
Selain itu, lanjut Ihsan, perlu diperjelas pendekatan untuk logistik yang disampaikan oleh pemerintah apakah akan tetap mengadakan lelang atau menggunakan sistem penunjukan untuk pengadaan logistik.
Menurut Ihsan, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap persoalan logistik agar dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Di antaranya, KPU baru dapat mencetak surat suara ketika daftar calon tetap sudah final dan inkrah. Dalam hal ini, tidak ada upaya sengketa yang diajukan oleh pihak mana pun ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Mahkamah Agung. Jika masih terdapat sengketa, KPU belum dapat mencetak surat suara.
”Ini bisa disesuaikan dengan komitmen Bawaslu dan MA melakukan penyelesaian sengketa secara bersamaan dan cepat. Alhasil, terdapat putusan yang bisa ditindaklanjuti oleh KPU,” katanya.
Regulasi pengadaan barang dan jasa yang ada pada pemerintah serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) juga berpengaruh. Perlu ada regulasi khusus terkait pengadaan logistik pemilu dari biasanya untuk mempercepat dan tidak berbelit-belit. Namun, pengawasan tetap perlu dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan pengadaan.
Selain itu, waktu yang singkat berdampak juga pada pendistribusian logistik yang akan semakin cepat. Pasalnya, wilayah Indonesia yang luas memberikan tantangan pada pendistribusian logistik. Menurut Ihsan, perlu disimulasikan dari daerah terjauh dengan tempat logistik yang memakan banyak waktu agar tidak terjadi keterlambatan.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah antisipasi logistik rusak, kurang, hilang, atau tertukar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dengan kerumitan pemilu lima kotak dan waktu yang singkat. Potensi logistik rusak, kurang, hilang, atau tertukar akan sangat besar.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berharap, perpres tersebut mengatur kerangka waktu yang lebih ringkas dibandingkan prosedur biasa yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah.
Akan tetapi, ia mengingatkan, pengadaan barang dan jasa pemilu melibatkan anggaran yang sangat besar. Jangan sampai hanya demi mempersingkat durasi kampanye, jadi mengabaikan aspek transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa. ”Kita perlu belajar dari pemilu-pemilu terdahulu di mana pernah terjadi praktik koruptif dalam pengadaan logistik pemilu yang membuat sejumlah anggota KPU terlibat masalah hukum dan bahkan menjadi terpidana,” kata Titi.
Ia menambahkan, waktu yang terlalu pendek dalam pengadaan logistik dengan hari pemungutan suara apabila tidak tersimulasikan dan terkelola dengan baik, akan berpotensi menimbulkan masalah dan kegaduhan di lapangan. Sebab, kalau sampai logistik pemilu atau perlengkapan pemungutan suara tidak tersedia pada hari pemungutan suara, jumlahnya kurang, rusak, atau tidak sesuai spesifikasi bisa berdampak pada ketidakpuasan peserta pemilu dan publik. Hal itu berdampak pada gugatan hukum yang bisa mengganggu kredibilitas dan legitimasi pemilu.
Distribusi juga menjadi persoalan yang cukup berat dalam pengadaan logistik pemilu. Sebab, kondisi geografis Indonesia yang besar, luas, dan tantangan yang luar biasa. Hal itu juga harus diperhitungkan dengan baik oleh penyelenggara pemilu.
Karena itu, kata Titi, bukan hanya menyediakan instrumen hukum yang bisa mempercepat, melainkan akuntabilitas dan integritas pengadaan logistik juga harus dijamin. Jangan sampai justru menimbulkan proses yang bermasalah dan bisa berdampak buruk pada legitimasi pemilu serta kredibilitas penyelenggara pemilu.