Bangun Mekanisme Transparansi Anggaran Keuangan Daerah
Mekanisme transparansi penggunaan anggaran keuangan daerah diperlukan agar publik dapat memonitor. Pengawasan kolektif semacam ini bisa menjadi mekanisme pembanding bagi hasil audit lembaga resmi pemerintah.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suap untuk mendapatkan status keuangan wajar tanpa pengecualian atau WTP yang diduga melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin menunjukkan kian perlunya mekanisme transparansi anggaran keuangan daerah dilakukan. Artinya, mekanisme audit dan pengecekan oleh lembaga negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, tidaklah menjadi jaminan suatu laporan keuangan daerah itu bebas dari potensi korupsi melalui celah administrasi.
Mekanisme transparansi penggunaan anggaran keuangan daerah itu diperlukan agar publik luas dapat ikut memonitor. Pengawasan kolektif semacam ini dapat menjadi mekanisme pembanding bagi hasil audit atau pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga resmi seperti BPK.
Pasalnya, hasil audit BPK ternyata tidak terlepas dari potensi suap, sebagaimana terjadi dalam kasus Bupati Bogor Ade Yasin yang diduga menyuap auditor BPK untuk mendapatkan status WTP bagi daerahnya tahun 2021.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Yanuar Prihatin, mengatakan, saat ini yang harus dibangun adalah transparansi dan kejujuran penggunaan anggaran di daerah.
”Kejujuran itu penting sebagai landasan moral bahwa pemanfaatan anggaran yang dilaporkan sesuai apa adanya, tanpa rekayasa, tanpa manipulasi dan kebohongan,” kata Yanuar, yang juga calon pengganti Luqman Hakim sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR, Minggu (1/5/2022) di Jakarta.
Ade Yasin sebelumnya tertangkap tangan oleh KPK, Selasa (26/4) malam. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi pemberian suap terhadap jajaran pemeriksa BPK Perwakilan Jawa Barat untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) TA 2021 Pemerintah Kabupaten Bogor untuk tujuan meraih predikat WTP.
Selain Ade Yasin, pernah juga ada kasus serupa yang menimpa Kemendes PDTT pada 2017. Inspektur Jenderal Kementerian Desa PDTT didakwa menyuap Auditor Utama Keuangan Negara III BPK dan Kepala Subauditorat III Auditorat Keuangan Negara sebesar Rp 240 juta untuk pemberian opini WTP. Selain itu, KPK juga mendapati uang sebesar 3.000 dollar AS dan Rp 1,145 miliar di ruangan eselon I BPK.
Yanuar mengatakan, transparansi anggaran di daerah diperlukan dalam rangka memudahkan banyak pihak untuk mengawasi, menilai, dan memberikan opini yang obyektif. Jika perlu, penggunaan semua anggaran itu diumumkan dalam website resmi pemda masing-masing agar publik mudah mengaksesnya. ”Tranparansi adalah mekanisme yang bagus untuk terjadinya check dan recheck penggunaan anggaran daerah,” katanya.
Terjadinya korupsi, manipulasi, KKN, dan kebohongan lainnya soal penggunaan anggaran di daerah, menurut Yanuar, mencerminkan tranparansi dan kejujuran itu belum terbangun dalam soal anggaran. Laporan akuntansi yang menjadi obyek pemeriksaan BPK atau BPKB hanya mencerminkan ukuran-ukuran kuantitatif-material yang datanya belum tentu valid. Laporan itu sekadar menganggap cukup angka, data dan informasi keuangan yang didukung oleh bukti administratif yang otentik.
Di samping tentu, kata dia, laporan tersebut hanya memeriksa prinsip-prinsip pokok akuntansi keuangan, apakah sudah memenuhi standar sebagaimana mestinya, terutama soal posisi keuangan, hasil usaha, arus kas, dan sebagainya. ”Penilaian WTP semuanya berbasis semacam itu yang mencerminkan kewajaran informasi terhadap laporan keuangan yang disajikan,” katanya.
Namun, dari model pemeriksaan dan pelaporan semacam itu muncul persoalan. Sebab, sekalipun status pemeriksaannya WTP, tetapi tetap saja muncul korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah. ”Ini artinya status WTP nya berarti akal-akalan saja, tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya,” kata Yanuar.
Kongkalingkong antara pejabat daerah dan oknum pemeriksa keuangan sangat dimungkinkan terjadi. Sebab, prinsip kejujuran dan transparansi belum menjiwai perilaku keuangan daerah.
”Saya kira Kementerian Dalam Negeri harus mulai serius mengatasi problem ini. Bukan saja pada aspek pengawasan atas pemeriksaan keuangan daerah. Lebih dari itu, Kemendagri harus menciptakan kebijakan yang memaksa agar prinsip kejujuran dan transparansi keuangan daerah bisa diterapkan,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan mengatakan, selain menggambarkan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik, status WTP juga bisa menjadi alat untuk memuluskan kepentingan para kepala daerah, salah satunya untuk mendapatkan dana insentif daerah (DID) dari pemerintah pusat. Selain itu, status WTP juga bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan kepala daerah.
Agar opini BPK tidak menjadi celah korupsi dan kongkalikong pejabat publik, Fitra mengingatkan, pemeriksaan itu hanya bersifat administratif dan tidak menjamin bebas dari penyimpangan. ”Masyarakat jangan mau dibodohi dengan opini WTP palsu. Yang dibutuhkan masyarakat justru akuntabilitas dan efektivitas anggaran yang tepat sasaran. Bisa dirasakan oleh masyarakat miskin dan rentan. Banyak daerah yang mendapat opini WTP, tetapi tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi, termasuk Kabupaten Bogor,” katanya.
Di satu sisi, integritas pejabat BPK harus diperkuat. BPK harus mulai ’bersih-bersih’ terhadap pejabatnya di pusat ataupun daerah yang mudah menerima suap atau sengaja meminta suap kepada pemerintah atau pemda dan instansi yang menjadi obyek audit.
BPK harus menguatkan mekanisme kontrol kualitas ( quality control) dan keterjaminan kualitas ( quality assurance), serta membuka ruang supaya proses audit BPK bisa transparan dan tidak dimonopoli salah satu bagian atau auditor saja. Dengan demikian, tidak ada ruang gelap yang berpotensi menjadi celah korupsi atau suap. ”KPK juga sebaiknya mengaudit ulang (audit investigatif) daerah-daerah yang berpotensi melakukan tindakan yang sama dengan pemerintah kabupaten Bogor,” ucap Misbah.
Senada dengan Yanuar, Misbah sepakat agar dibuka ruang bagi pengawasan oleh masyarakat (audit sosial) terhadap proyek-proyek pemerintah dan pemerintah daerah. Pada kenyataannya, banyak proyek yang tidak jelas kemanfaatannya bagi masyarakat, tetapi secara administratif dinyatakan baik.