Magnet Politik Baru Bernama Gibran
Sejak dilantik sebagai Wali Kota Surakarta, elite politik silih berganti sowan ke rumah dinas Gibran Rakabuming Raka. Menggunakan kultur politik Jawa, mereka mendekati putra Joko Widodo untuk mencuri perhatian Presiden.
Bagaikan magnet, kehadiran Gibran Rakabuming Raka ke gelanggang politik telah menarik elite dari berbagai aliran untuk mendekat kepadanya. Antrean untuk sowan ke rumah dinas Wali Kota Surakarta Jawa Tengah itu tak pernah surut selama setahun terakhir. Apa yang membuat politisi muda itu begitu menarik?
Pesan balasan yang ditunggu-tunggu Ahmad Sahroni akhirnya masuk ke akun Instagramnya pada Sabtu (23/4/2022). Meski hanya terdiri dari satu kalimat, pesan itu membawa keceriaan di akhir pekan Bendahara Umum Partai Nasdem itu. ”Silakan Pak Roni ditunggu,” demikian bunyi pesan tersebut.
Satu kalimat itu mengubah seluruh prasangka Sahroni terhadap si pengirim pesan yang tak lain adalah Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, Gibran Rakabuming Raka. Sejak lama, ia hanya mengetahui sosok putra sulung Presiden Joko Widodo itu melalui media massa. Ia ingin mengenalnya secara langsung sehingga memberanikan diri mengirim pesan lewat Instagram sehari sebelum pesan balasan itu tiba.
”Itu di luar ekspektasi. Saya pikir Mas Gibran tidak akan membalas, (ternyata) malah sebaliknya langsung respons dengan cepat. Wow, amazing,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (28/4/2022) pagi.
Keduanya sepakat untuk bertemu di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Surakarta, pada Kamis malam. Sahroni yang baru kembali dari Arab Saudi untuk menjalankan ibadah umrah kemudian bertolak dari Jakarta menuju Solo. Dalam pertemuan itu, ia berencana untuk bersilaturahmi, minum kopi, makan malam, hingga curhat colongan.
Sahroni mengklaim, tidak ada satu pun agenda politik yang dibahas dalam pertemuan. Termasuk terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024. Sebelumnya, Sahroni kerap disebut sedang disiapkan oleh Nasdem untuk berkontestasi dalam Pilkada DKI Jakarta. Ia pun sempat mengatakan, akan maju ke Pilkada DKI asalkan Gibran juga mengikuti kontestasi.
Setibanya di Loji Gandrung, keduanya bertemu dalam persamuhan tertutup selama lebih kurang dua jam. Ketika pertemuan usai, dua politisi yang sama-sama mengenakan celana jins gelap, kemeja lengan pendek warna warni, dan sepatu kets itu mengaku akan maju bersama dalam Pilkada 2024. Namun, tidak ada penjelasan lebih yang dimaksud dengan maju bersama. ”Ngobrol biasa, ya mungkin ada momen kita bisa maju sama-sama, misalnya begitu, tapi, ya, nanti kita lihat. Maju, kan, gampang. Maju di mana saja nanti kita sampaikan,” kata Sahroni.
Baca juga: Peluang Anak Presiden Menjadi Presiden
Gibran menambahkan, ini merupakan pertemuan pertama di antara keduanya. Soal maju bersama sebagai pasangan atau menjadi kompetitor di Pilkada 2024 masih perlu dilihat nanti. Meski mengaku tidak ada tawaran yang disampaikan Sahroni, ia tidak memungkiri bahwa pertemuan ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk berkontestasi bersama. ”Sudah jelas tadi, kodenya sudah jelas,” ujarnya.
Berbeda dengan Sahroni yang terus tersenyum dan sesekali melempar tawa, Gibran terlihat tenang, jawaban-jawabannya datar tanpa ekspresi. Menurut dia, situasi ke depan akan sangat dinamis karena waktu menuju 2024 masih panjang. Pertemuan keduanya adalah momen bersantai sambil menyantap sate buntel dan tengkleng khas Solo. ”Untuk orang spesial ya dikasih menu spesial,” kata Gibran.
Sowan bergantian
Sejak dilantik sebagai Wali Kota Surakarta pada akhir Februari 2021, politisi berusia 34 tahun itu seolah menjadi magnet yang menarik elite dari berbagai aliran untuk mendekatinya. Sebut saja Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Terbaru, ia juga dikunjungi oleh Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani, Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Menurut Sahroni, wajar jika para politisi, termasuk dirinya, seperti mengantre untuk bertemu Gibran. Mengingat posisinya sebagai wali kota dan juga putra presiden. Gibran pun membuktikan diri sebagai tokoh yang terbuka dan ramah pada semua orang.
Sebagai salah satu pihak yang paling awal memulai sowan itu, Fahri Hamzah menilai bahwa Gibran merupakan sosok yang sedang diberi kesempatan oleh sejarah. Tidak hanya karena dia merupakan salah satu wali kota termuda yang memimpin sebuah kota yang sudah tua dan memiliki sejarah panjang, tetapi dia juga adalah putra presiden yang masih menjabat.
Meski demikian, kata Fahri, kesempatan itu tidak akan bisa dipertahankan jika tak pandai memanfaatkannya. ”Apa pun yang datang sekarang kepada dia itu sifatnya sementara karena momennya sedang ada. Tetapi sekali lagi, itu belum tentu bisa dipertahankan lama karena momentum akan berubah menemukan obyektivitasnya,” kata Fahri, Kamis.
Kultur politik Jawa
Profesor di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bambang Hudayana, melihat, maraknya politisi yang mendekati Gibran bisa dipahami dengan kacamata kultur politik Jawa. Tidak bisa dimungkiri, kultur ini masih dominan dalam percaturan politik nasional. ”Karena kuatnya kultur Jawa, maka pemain-pemain politik harus pandai mengelola kultur itu,” katanya.
Dalam tradisi kekuasaan Jawa, terdapat kultur senioritas untuk meminta restu. Namun, kedatangan para elite kepada Gibran bukan dalam konteks meminta restu, melainkan meminangnya sebagai mitra atau patron. ”Di Jawa ada politik meminang. Tradisinya kalau meminang untuk merebut atau meminta kuasa diawali dengan menyanjung. Sanjungan itu tidak gratis,” ujar Bambang.
Ketertarikan pada Gibran pun tidak terlepas dari modal kultural yang ia warisi dari Jokowi sebagai sosok pemimpin yang merakyat dan suka blusukan. ”Hal itu (merakyat dan blusukan) jadi seperti hak milik Jokowi, modal kultural yang diwariskan kepada anaknya,” kata Bambang.
Di Jawa ada politik meminang, tradisinya kalau meminang untuk merebut atau meminta kuasa diawali dengan menyanjung. Sanjungan itu tidak gratis.
Masyarakat juga mengenal konsep satrio piningit atau ratu adil yang akan membawa perubahan keadilan. Konsep ini selalu dimunculkan dalam masa transisi kepemimpinan atau era ketika pemimpin yang lama sudah mulai surut. Namun, satrio piningit biasanya tidak muncul secara jelas sehingga ia harus dicari. Adapun berbagai pendekatan kepada Gibran, kata Bambang, merupakan bagian dari proses pencarian tersebut.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menambahkan, hilir mudiknya para politisi mendatangi Gibran merupakan bahasa komunikasi politik untuk mencuri perhatian presiden. Ini terkait dengan langgam politik Jawa yang memiliki tradisi bahwa untuk mendekati seorang elite, tak hanya tokoh yang bersangkutan yang harus didekati, tetapi juga keluarganya. Mereka berharap mendapatkan insentif positif dari Jokowi untuk kepentingan saat ini atau di 2024 nanti.
”Gibran adalah pintu masuk ke Presiden, sebagai satu-satunya anak yang dipersiapkan untuk masuk ke dunia politik dan melanjutkan tradisi politik Jokowi,” ujarnya.
Baca juga: Partai Politik Prioritas Usung Kader di Pilgub DKI 2024
Menurut Adi, tanpa predikat sebagai anak presiden yang masih menjabat, Gibran bukan siapa-siapa. Sebagai kepala daerah, pengalaman kerjanya belum terukur sehingga belum ada yang bisa dibanggakan. Apalagi, ia langsung menghadapi pandemi Covid-19 ketika menjabat. ”Kepemimpinannya lebih banyak terisi dengan stagnasi ketimbang prestasi. Itu juga berlaku hampir ke semua kepala daerah,” katanya.
Secara persona, kata Adi, usia Gibran juga masih terlalu muda sehingga kewibawaan pada dirinya belum muncul secara penuh. Kemampuannya berpidato juga belum optimal menggugah masyarakat.
Oleh karena itu, bagi Gibran, berbagai pertemuan dengan elite saat ini jangan dianggap bisa diakumulasi sebagai bekal untuk berkontestasi di pilkada serentak 2024. Sebab, ketika pilkada diselenggarakan nanti, statusnya sebatas anak mantan presiden. Sangat mungkin elite yang saat ini mendekat akan mulai menjauh. ”Tradisi politik di Indonesia bukan politik perkawanan. Artinya, ketika menjadi anak elite menjadi rebutan, tetapi kalau sudah tidak menjadi apa-apa bisa dicampakkan begitu saja,” ujar Adi.