Haluan Negara Diusulkan Tanpa Amendemen, Akhiri Kegaduhan Penundaan Pemilu
Kajian mengenai haluan negara sudah selesai. Rapat pleno Badan Pengkajian MPR menyepakati bentuk hukum haluan negara diatur melalui undang-undang, bukan amendemen UUD 1945.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menyepakati bentuk hukum haluan negara diatur melalui undang-undang dan tidak perlu mengamendemen konstitusi. Amendemen terbatas dihindari karena bisa memunculkan kotak pandora dan rentan disusupi kepentingan lain. Kesepakatan ini mendapat respons positif dari sejumlah fraksi di MPR.
Ketua Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Djarot Saiful Hidayat mengatakan, kajian mengenai haluan negara sudah selesai. Pada intinya, haluan negara tetap penting dan dibutuhkan untuk arah pembangunan jangka panjang. Haluan negara berperan sebagai peta jalan Indonesia 25 tahun ke depan dan menjadi terjemahan pertama dari Undang-Undang Dasar 1945 yang harus menjadi rujukan bagi siapa pun pemimpin bangsa.
Dalam rapat pleno Badan Pengkajian MPR pertengahan bulan ini, 45 anggota yang terdiri dari seluruh fraksi partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah menyepakati bentuk hukum haluan negara diatur melalui undang-undang. Sementara itu, substansi haluan negara masih akan dibahas satu hingga dua pertemuan lagi. Pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat dan semua fraksi secara bulat sepakat untuk saat ini menghindari amendemen karena berbahaya.
”Semua anggota Badan Pengkajian MPR telah menyepakati bahwa haluan negara tanpa melakukan amendemen,” ujar Djarot saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/4/2022).
Ia menuturkan, pada awalnya ada tiga opsi bentuk hukum haluan negara. Pertama, haluan negara dimasukkan dalam UUD 1945, diatur melalui Ketetapan MPR, atau diatur dengan UU. Meskipun kekuatan hukumnya lebih kuat dan ideal jika haluan negara diatur dalam UUD 1945 dan Tap MPR, kedua pilihan itu tidak mungkin diambil karena harus mengamendemen konstitusi.
Badan Pengkajian MPR sepakat untuk menghindari amendemen terbatas karena jika dilakukan sekarang akan membuka kotak pandora. Amendemen terbatas dikhawatirkan disusupi muatan-muatan liar di luar haluan negara. Oleh karena itu, keputusannya mengenai bentuk hukum haluan negara akhirnya mengerucut pada UU.
Apalagi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 segera habis dan perlu segera diperbarui. Maka, Badan Pengkajian MPR juga berencana bertemu pemerintah terkait penyusunan arah pembangunan jangka panjang itu agar ada kesepahaman dalam menyusun RPJP.
”Nantinya MPR akan memberikan rekomendasi berupa Keputusan MPR yang diberikan kepada pemerintah dan DPR sebagai kajian dan pedoman ketika akan menyusun UU RPJP,” tutur Djarot.
Sementara terkait substansi haluan negara, katanya, masih akan dibahas lebih lanjut. Dalam sejumlah pembahasan mengemuka usulan agar calon presiden dan calon wakil presiden membuat visi dan misi yang selaras dengan haluan negara, tetapi program dan kebijakan untuk mencapainya bisa bervariasi. Visi dan misi itu juga diusulkan ditetapkan melalui UU agar lebih mengikat dan DPR bisa ikut mengontrol, bukan melalui keputusan presiden seperti saat ini.
Setelah nantinya menuntaskan seluruh pembahasan, baik terkait bentuk hukum maupun substansi haluan negara, hasil kesepakatan rapat pleno Badan Pengkajian MPR akan diserahkan ke pimpinan MPR. Pimpinan kemudian melakukan rapat gabungan di MPR untuk pengambilan keputusan terhadap hasil rapat pleno tersebut.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengapresiasi keputusan bulat seluruh fraksi parpol dan kelompok DPD yang sepakat tidak mengamendemen UUD 1945 demi menghadirkan haluan negara. Sebab, itu juga yang menjadi sikap dan disuarakan PKS dan sejumlah fraksi lain agar haluan negara cukup diatur dalam UU tanpa perlu amendemen konstitusi.
”Sikap Badan Pengkajian MPR ini sudah sangat tepat, apalagi di tengah kondisi politik yang tidak kondusif yang menghadirkan kegaduhan publik. Itu juga untuk menutup kotak pandora amendemen UUD 1945 agar tidak ditunggangi segelintir orang untuk penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden,” katanya.
Hidayat meyakini pengambilan keputusan Pimpinan MPR nantinya akan sejalan dengan hasil kesepakatan di Badan Pengkajian MPR. Apalagi, mayoritas pimpinan MPR disebut juga sudah menegaskan MPR tidak memiliki agenda mengamendemen UUD 1945. ”Komitmen ini tentu perlu kita jaga bersama. Selain untuk menjawab tuntutan publik dan mahasiswa, itu juga untuk menutup peluang ditungganginya isu amendemen untuk perpanjangan masa presiden tiga periode,” tuturnya.
Kegaduhan penundaan
Dengan kesepakatan itu, ia menilai semestinya kegaduhan mengenai amendemen UUD 1945 untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden harus diakhiri. Sebab, pintu masuk amendemen sudah tertutup. Manuver dari segelintir pihak untuk memaksakan kehendak itu pun harus disudahi dan kembali fokus pada persiapan Pemilu 2024.
”Sudah tidak ada jalan untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden melalui amendemen UUD karena semua pihak di MPR sudah setuju untuk tidak melakukan amendemen UUD 1945,” ujar Hidayat.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan, kesepakatan di Badan Pengkajian MPR sesuai dengan keinginan Demokrat. Sejak awal, mereka menolak amendemen konstitusi dan ingin agar payung hukum haluan negara diatur dalam UU, sama seperti era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
”Cukup dengan UU seperti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP yang akan berakhir masa berlakunya,” tuturnya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, PPP menerima hasil rapat pleno tersebut. Ia juga optimis rekomendasi Badan Pengkajian MPR akan diterima oleh Pimpinan MPR saat rapat gabungan nantinya. Sebab, wakil dari seluruh fraksi parpol dan perwakilan DPD ada di Badan Pengkajian MPR yang membahas haluan negara tersebut.
”Soal substansi, perlu sinkronisasi dahulu. Jika pun Pokok-pokok Haluan Negara akhirnya diwadahi dalam bentuk UU, maka isinya DPR masuk pada arah kebijakan yang lebih teknokratik, tidak hanya kebijakan dasar saja, bisa agak detail,” ujar Arsul.