26 Tahun Otonomi Daerah, Daerah Masih Terus Bergantung pada Pusat
Sudah 26 tahun otonomi daerah berjalan, tetapi masih ada daerah yang memiliki pendapat asli daerah di bawah 20 persen. Artinya, daerah-daerah itu bergantung pada pemerintah pusat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menginjak 26 tahun pelaksanaan otonomi daerah, separuh dari total provinsi di Indonesia belum mandiri secara fiskal dan bergantung pada dana transfer pemerintah pusat. Persoalan yang tak kunjung selesai ini menunjukkan fondasi otonomi daerah di Indonesia masih keropos. Para kepala daerah diharapkan lebih kreatif dan inovatif untuk menggenjot pendapatan asli daerah mereka.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku prihatin dengan kondisi keuangan beberapa daerah yang masih bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mencerminkan filosofis dari tujuan otonomi daerah belum sepenuhnya mencapai hasil yang diharapkan setelah 26 tahun berlalu.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro, yang membacakan sambutan Mendagri dalam acara puncak peringatan Hari Otonomi Daerah Ke-26, di Gedung Kemendagri, Jakarta, Senin (25/4/2022). Acara tersebut dihadiri secara daring oleh gubernur, bupati/wali kota, serta forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Suhajar mengatakan, selama kurun waktu 26 tahun, terdapat beberapa daerah yang memiliki pendapat asli daerah (PAD) di bawah 20 persen. Artinya, daerah-daerah tersebut menggantungkan keuangannya kepada pemerintah pusat melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
”Hal ini tentunya menjadi sangat ironis mengingat kewenangan telah diberikan kepada daerah, sementara keuangan masih bergantung pada pemerintah pusat,” ujar Suhajar menyampaikan sambutan Tito.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, terdapat tiga provinsi atau 8,82 persen dari 34 provinsi di Indonesia yang rasio PAD terhadap pendapatan daerah tidak mencapai 20 persen. Ketiga provinsi tersebut adalah Papua Barat (7,47 persen), Papua (13,84 persen), dan Aceh (19.23 persen).
Namun, jika dilihat dari sisi kapasitas fiskal daerahnya, terdapat 17 provinsi yang kapasitas fiskalnya masuk kategori rendah dan sangat rendah. Kemudian, ada 9 provinsi yang masuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Sisanya, 8 provinsi masuk kategori sedang.
Menggali potensi daerah
Tito mengimbau daerah-daerah yang PAD-nya masih rendah agar melakukan terobosan dan inovasi untuk menggali berbagai potensi yang dapat memberikan nilai tambah serta meningkatkan PAD bahkan melebihi TKDD. Semua itu tentu dilakukan tanpa melanggar hukum dan norma yang ada serta tidak memberatkan rakyat.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, terdapat tiga provinsi atau 8,82 persen dari 34 provinsi di Indonesia yang rasio PAD terhadap pendapatan daerah tidak mencapai 20 persen. Ketiga provinsi tersebut adalah Papua Barat (7,47 persen), Papua (13,84 persen), dan Aceh (19.23 persen).
”Di sinilah ujian sekaligus pembuktian kemampuan leadership atau kepemimpinan dan entrepreneurship atau kewirausahaan untuk menangkap peluang yang ada oleh seluruh kepala daerah di Indonesia,” kata Tito.
Di samping itu, Tito mengapresiasi daerah-daerah otonomi baru yang justru telah berhasil meningkatkan PAD dan kemampuan fiskalnya. Peningkatan tersebut diharapkan agar dimanfaatkan untuk program-program pembangunan dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan konektivitas, serta akses infrastruktur yang baik.
Selain itu, kepada daerah yang kemampuan PAD dan fiskalnya baik, tetapi skor IPM-nya masih rendah, angka kemiskinan masih cukup tinggi, dan akses infrastruktur belum baik, Tito mengingatkan perlunya evaluasi. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan penyusunan program dan kegiatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah tepat sasaran, efektif, serta efisien.
Kalau kita melihat kondisi seperti itu, kita bisa katakan, fondasi otonomi daerah di Indonesia ini masih keropos, dalam arti belum bisa benar-benar mandiri. (Herman N Suparman)
Persoalan berulang
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman juga prihatin pada persoalan kemandirian fiskal daerah ini yang terus disinggung oleh Mendagri pada setiap perayaan otonomi daerah. Hal ini menunjukkan ada persoalan serius yang harus segera dicari jalan keluarnya karena ketergantungan daerah kepada pusat sudah begitu besar.
”Artinya, memang kalau kita melihat kondisi seperti itu, kita bisa katakan, fondasi otonomi daerah di Indonesia ini masih keropos, dalam arti belum bisa benar-benar mandiri,” kata Suparman.
Dengan situasi seperti itu, Suparman menilai, untuk jangka pendek, pertama, pemerintah daerah perlu memperhatikan soal reformasi administrasi perpajakan. Artinya, daerah harus mulai memanfaatkan platform digital untuk proses pemungutan pajak dan retribusi daerah yang lebih efektif dan efisien.
”Jangan sampai masih mengandalkan pola lama, manual. Jadi perlu pembenahan sistem terutama dalam administrasi perpajakan di daerah, itu untuk optimalisasi pemungutan,” ujar Suparman.
Kedua, dibutuhkan kepala daerah yang memiliki komitmen meningkatkan PAD. Dengan beberapa kebijakan saat ini, misalnya, ada ketentuan insentif pajak dan kemudahan berusaha, seharusnya para kepala daerah dapat memanfaatkan kebijakan itu untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah. Dengan begitu, perekonomian daerah juga bisa ikut terdongkrak.
”Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dan keterbatasan kebijakan yang ada, pemimpin-pemimpin daerah harus bisa putar otak untuk terus berinovasi. Dalam arti, dia bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang inovatif, yang bisa mempercepat peningkatan PAD atau memperluas sumber-sumber pendapatan,” tutur Suparman.