Kerja parpol dan kadernya di pemerintahan dan legislatif tak timbulkan signifikansi positif terhadap persepsi publik. Golkar, contohnya, bersaing dengan PKB dan Gerindra. Diduga ini akibat kuatnya personalisasi politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja-kerja partai politik dan kadernya di pemerintahan dan legislatif tak menimbulkan signifikansi positif terhadap persepsi publik. Diduga, suara partai menjadi tidak terdengar dan tidak mampu mengubah persepsi publik karena personalisasi politik yang kuat. Situasi itu tergambarkan pada hasil survei nasional yang dirilis Populi Center.
Survei yang dilakukan secara tatap muka pada 21-29 Maret 2022 itu memproyeksikan enam parpol lolos ambang batas penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold ), yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (19,3 persen), Gerindra (11,6 persen), Golkar (11,3 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (6,8 persen), Partai Demokrat (6,7 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (5,1 persen).
Tiga partai yang saat ini eksis di parlemen, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam survei tersebut tidak tercantum sebagai partai yang diproyeksikan lolos ambang batas parlemen 4 persen suara. Golkar yang pada Pemilu 2019 duduk di peringkat kedua, kini diperkirakan ada di peringkat ketiga, bersaing ketat dengan Gerindra.
Hasil survei itu dipaparkan oleh Deputi Direktur Eksekutif Populi Center Rafif Pamenang Imawan, Minggu (25/4/2022). Hadir sebagai penanggap adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti dan Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Emanuel Melki Laka Lena.
Apa pun yang dilakukan oleh parpol ternyata tidak menimbulkan signifikansi positif terhadap persepsi publik. Golkar, salah satunya, harus bersaing ketat dengan PKB dan Gerindra.
Menanggapi proyeksi enam parpol yang lolos ambang batas parlemen, Melki mengatakan, hasil survei tersebut seolah tidak menggambarkan kerja-kerja kepartaian yang dilakukan oleh parpol. Apa pun yang dilakukan oleh parpol ternyata tidak menimbulkan signifikansi positif terhadap persepsi publik. Golkar, salah satunya,harus bersaing ketat dengan PKB dan Gerindra.
”Parpol yang kerja pada kondisi Covid-19 ini mestinya bisa memberikan kontribusi yang bagus pada parpol tersebut. Kan, mestinya ada persepsi positif dalam survei publik tersebut,” katanya.
Menurut Melki, perlu ada pendalaman dalam survei-survei selanjutnya tentang bagaimana peran parpol dalam penanganan pandemi dan isu-isu terkait dengan kepentingan masyarakat, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, dan kelangkaan minyak goreng. Itu dapat berpengaruh pada persepsi publik.
Hal senada diungkapkan oleh Ramlan. Ia juga mempertanyakan tidak adanya Nasdem dalam enam parpol yang diproyeksikan lolos ambang batas parlemen. Sebab, Nasdem pada Pemilu 2019 masuk lima besar.
Ramlan menduga, suara-suara partai itu menjadi tidak terdengar dan tidak mampu mengubah persepsi publik, lantaran personalisasi politik yang semakin kuat. ”Partai tidak kedengaran suara atau sikapnya sehingga publik tidak mengetahui sikap partai. Yang muncul adalah personalisasi sikap kader-kader partai,” katanya.
Perkuat kelembagaan partai
Hal itu menunjukkan juga kelembagaan partai yang melemah. Partai tidak berkutik dan tidak dapat berbuat apa-apa dengan sistem pemilu yang menitikberatkan pada personalisasi individu tokoh politik.
”Usulan saya ke depan, peserta pemilu itu kan partai politik. Oleh karena itu, sebaiknya ke depan ada kesempatan bagi parpol-parpol itu berdebat atau menyuarakan sikapnya tentang suatu hal. Dengan demikian, dia benar-benar menjadi peserta pemilu,” ujarnya.
Adanya kesempatan bagi parpol untuk mengungkapkan pendapatnya atas suatu kebijakan, lanjut Ramlan, akan memberi ruang bagi publik mengetahui visi-misi parpol. Tidak semata-mata visi-misi calon presiden, atau calon anggota legislatif yang diusung oleh parpol. ”Biar publik juga tahu apa sih sikap partai, bukan orang per orang kadernya,” ungkap Ramlan.
Sependapat dengan Ramlan, menurut Melki, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu memikirkan debat antarparpol di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Dengan demikian, publik mengetahui sikap parpol akan suatu persoalan. ”Kalau caleg kan hanya urus dirinya sendiri,” ujarnya.
Survei juga menemukan mayoritas responden, yani 64,4 persen tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden. Hanya 27,6 persen yang setuju.
Survei juga menemukan mayoritas responden, yakni 64,4 persen tidak setuju perpanjangan masa jabatan presiden. Hanya 27,6 persen yang setuju. Demikian pula untuk penundaan Pemilu 2024 , 74,3 persen responden tidak setuju dan 15,6 persen responden setuju. Hasil ini selaras dengan temuan survei-survei lainnya yang menyatakan mayoritas responden tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu.
Rafif mengatakan, hal ini menunjukkan publik menginginkan suksesi kepemimpinan tetap dilakukan setiap lima tahun. ”Parpol-parpol pun masih memiliki kesempatan untuk konsolidasi, setidaknya meraih 4 persen suara,” ujarnya.