Gerakan Berlanjut, Mahasiswa Diharap Jaga Napas Panjang Mengontrol Pemerintah
Setelah demonstrasi pada 11 April lalu, mahasiswa akan kembali menggelar aksi massa pada Kamis (21/4/2022). Aksi mahasiswa harus punya napas panjang agar bisa mengkritik pemerintah, terutama terkait ekonomi rakyat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan mahasiswa yang bermula menyuarakan penolakan terhadap wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden masih berlanjut. Setelah menggelar demonstrasi secara serentak di sejumlah wilayah pada 11 April lalu, aksi massa akan digelar kembali pada Kamis (21/4/2022) besok.
Salah satunya diinisiasi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). ”Kami akan laksanakan (demonstrasi) di Patung Kuda pukul 11.00 dengan membawa tujuh tuntutan,” kata Theo Nicolas, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI, yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (20/4/2022).
Ia menambahkan, demonstrasi didasarkan pada polemik yang terjadi di berbagai lini kehidupan masyarakat. Salah satunya wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang disampaikan oleh para menteri di Kabinet Indonesia Maju. Tidak hanya itu, persoalan seperti kenaikan harga bahan pokok dan ketimpangan ekonomi juga terjadi sebagai akibat dari ketidaktegasan dan ketidaktepatan kebijakan, serta tata kelola pemerintahan yang semrawut.
Untuk itu, aksi yang disebut sebagai ”Sidang Rakyat: Habis Gelap Terbitlah Terang” itu tidak hanya melibatkan mahasiswa. BEM UI dalam publikasi daringnya juga menyerukan kepada masyarakat untuk turut serta turun ke jalan. ”Mari, seluruh rakyat Indonesia. Kita bersama-sama berkoalisi untuk turun dan kritisi kondisi negaramu,” tulis BEM UI dalam akun instagram @bemui_official.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Abdul Musawir Yahya dalam diskusi daring ”Mengukur Napas Gerakan Mahasiswa Indonesia” yang diselenggarakan Partai Gelora, Rabu sore, mengatakan, hampir tiga tahun gerakan mahasiswa terkungkung karena adanya pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19. Selama itu pula, permasalahan negara yang diamati sebatas menjadi pembicaraan dan keluhan di ruang-ruang informal.
Persoalan kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), penundaan pemilu, presiden tiga periode, itu hanya instrumen pembuka. Sebenarnya banyak persoalan yang lebih besar dari itu yang terjadi selama ini.
Akan tetapi, saat ini, ketika pandemi Covid-19 mulai dapat dikendalikan, dan persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak semakin banyak bermunculan, semangat untuk menyuarakannya tidak bisa lagi dibendung. ”Persoalan kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), penundaan pemilu, presiden tiga periode, itu hanya instrumen pembuka. Sebenarnya banyak persoalan yang lebih besar dari itu yang terjadi selama ini,” kata Abdul.
Menurut Abdul, mahasiswa sudah berulang kali menyuarakan keresahannya dalam beberapa bulan terakhir. Presiden Joko Widodo pun dinilai telah menjawab salah satunya dengan menegaskan bahwa Pemilu 2024 akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang disepakati pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akan tetapi, itu bukan satu-satunya persoalan. Masalah lainnya, kelangkaan minyak goreng dan BBM yang berdampak pada kenaikan harga.
”Selama masalah yang ada di masyarakat itu masih ada, selama itu pula mahasiswa sebagai kaum intelektual akan memenuhi panggilannya untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” katanya.
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Arjuna Putra Aldino menambahkan, ini merupakan waktu yang tepat bagi gerakan mahasiswa untuk melakukan refleksi kritis terhadap kondisi bangsa dan negara. Persoalan mendasar yang saat ini terasa, yakni kenaikan harga bahan pokok, tidak semata-mata terjadi karena adanya korupsi ataupun pengaruh situasi global. Hal itu juga terjadi karena struktur ekonomi politik Indonesia tidak dibuat secara adil, tetapi dikuasai oleh oligarki. Namun, hal fundamental itu tidak pernah dilihat oleh pemerintah.
Persoalan mendasar yang saat ini terasa, yakni kenaikan harga bahan pokok, tidak semata-mata terjadi karena adanya korupsi ataupun pengaruh situasi global. Hal itu juga terjadi karena struktur ekonomi politik Indonesia tidak dibuat secara adil, tetapi dikuasai oleh oligarki. Namun, hal fundamental itu tidak pernah dilihat oleh pemerintah.
”Mahasiswa berkewajiban melakukan gerakan moral agar nilai luhur konstitusi itu dilaksanakan oleh pemerintah. Kalau pemerintah mulai bergeser, perlu kita ingatkan. Itu tugas sejarah yang tidak bisa kami tolak,” kata Arjuna.
Baik Arjuna maupun Abdul menekankan, gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral yang bebas dari politik praktis. Berbagai persoalan yang disuarakan berdasarkan pada pengamatan mahasiswa sebagai kaum intelektual, bukan titipan dari pihak tertentu. Selain itu, demonstrasi juga tidak dilakukan dalam rangka menjatuhkan kekuasaan. ”Kami hadir bukan untuk mendongkel kekuasaan, kami menghindari politik praktis, tetapi melakukan refleksi kritis,” ujar Arjuna.
Jangka panjang
Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta memprediksi, Indonesia akan akan menghadapi krisis dalam waktu panjang. Dimulai dari pandemi Covid-19 yang memunculkan krisis ekonomi, lalu berlanjut pada krisis sosial dan politik. Berbeda dengan krisis multidimensi 1998 yang dipicu krisis mata uang, saat ini krisis terjadi secara sistematis di seluruh negara sebagai imbas adanya perang antara Rusia dan Ukraina.
Menurut Anis, saat ini Indonesia masih berada pada fase krisis ekonomi. Akan tetapi, kehadiran gerakan mahasiswa merupakan alarm yang memberi tanda bahwa negara akan tiba pada fase berikutnya, yakni krisis sosial dan politik. Di tengah konteks tersebut, pemerintah belum juga menunjukkan terobosan untuk bisa keluar dari situasi itu. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa membutuhkan napas panjang untuk terus mengingatkan pemerintah akan tugas-tugasnya.
Kehadiran gerakan mahasiswa merupakan alarm yang memberi tanda bahwa negara akan tiba pada fase berikutnya, yakni krisis sosial dan politik. Di tengah konteks tersebut, pemerintah belum juga menunjukkan terobosan untuk bisa keluar dari situasi itu. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa membutuhkan napas panjang untuk terus mengingatkan pemerintah akan tugas-tugasnya.
Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan, gerakan mahasiswa merupakan variabel konstan dalam gerakan sosial. Banyak pihak kerap meragukan otentisitas gagasan yang dikemukakan dan mengira dapat menunggangi mereka. Namun, hal itu terbantah dengan konsistensi gerakan yang selalu muncul pada setiap fase penting negara.
Oleh karena itu, konsistensi dan napas panjang gerakan mahasiswa tidak perlu dipertanyakan. ”Napas mereka (mahasiswa) panjang karena tersambung dengan napas rakyat, napas rakyat panjang karena tersambung dengan napas zaman, dan napas zaman tersambung dengan napas alam semesta,” kata Rocky.