Demi Demokrasi Sehat, Parpol Perlu Libatkan Publik dalam Tentukan Capres
Parpol memiliki otoritas untuk menentukan capres dan cawapres yang akan berkontestasi dalam Pilpres 2024. Namun, sering kali tokoh yang dipilih belum sesuai dengan keinginan publik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik didorong untuk menggelar pemilihan pendahuluan dalam menentukan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung pada Pemilu 2024. Pelibatan publik bisa menggerus dominasi elite partai dalam memutuskan tokoh yang akan bertarung dalam pemilihan presiden. Namun, diperlukan desain yang tepat agar mekanisme pemilihan pendahuluan tidak menghabiskan energi dan membuka ruang politik uang sebelum kontestasi benar-benar dilakukan.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan, keinginan publik terkait tokoh yang akan maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 sudah terekam lewat survei berbagai lembaga selama ini. Tidak hanya berdasarkan temuan sekali survei, tetapi juga lewat survei berkala dan longitudinal atau dilakukan pada masa yang relatif lama untuk mengetahui karakter tertentu. Akan tetapi, aspirasi itu belum tentu mewujud dalam ajang elektoral karena pemegang otoritas pencalonan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah partai politik (parpol).
Mengacu Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, parpol merupakan pihak yang berwenang untuk merekrut warga negara untuk menjadi bakal capres dan cawapres. Dengan kewenangan itu, parpol bisa memutuskan tokoh mana pun yang akan dicalonkan meskipun belum tentu sesuai dengan keinginan masyarakat.
Oleh karena itu, kata Abbas, gagasan untuk mengurangi dominasi parpol dalam menentukan capres/cawapres perlu didukung. ”Otoritas parpol yang terlalu besar seperti itu tidak sehat untuk demokrasi,” katanya dihubungi dari Jakarta, Selasa (19/4/2022).
Sebelumnya, empat warga mengajukan uji materi Pasal 29 Ayat (1) huruf c dan d, serta Pasal 29 Ayat (2) UU No 2/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana yang digelar MK, Senin (18/4/2022), pemohon yang didampingi Dixon Sanjaya meminta MK memberi tafsir pada pasal-pasal tersebut. Para pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena sistem demokrasi Indonesia tidak melaksanakan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Melalui pasal-pasal tersebut, yang terjadi justru aspirasi dari partai, oleh partai, dan untuk oligarki. Sebab, rakyat seolah-olah memiliki hak untuk memilih capres/cawapres, tetapi dalam pelaksanaannya, pilihan sudah disediakan oleh parpol.
Abbas melanjutkan, untuk melibatkan publik dalam penentuan capres/cawapres, ide untuk melaksanakan rembuk nasional, seperti yang dilakukan Partai Nasdem dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bisa jadi alternatif. Berbeda dengan metode konvensi yang melibatkan pemilih secara umum, rembuk nasional umumnya diikuti oleh tokoh masyarakat dari berbagai kalangan. Ketokohan mereka diharapkan membawa visi kebangsaan untuk memberi pertimbangan terhadap tokoh yang layak diusung untuk 2024.
Otoritas parpol yang terlalu besar seperti itu tidak sehat untuk demokrasi.
”Cara ini berpotensi menggerus dominasi oligarki dalam penentuan capres. Jika dirancang dengan baik, rembuk nasional itu bisa jadi wahana eksperimentasi demokrasi deliberatif yang cukup penting,” katanya. Hal itu tidak hanya bermanfaat memberikan legitimasi kepada tokoh yang didukung, tetapi juga meningkatkan kredibilitas parpol dalam membentuk koalisi.
Meski demikian, Abbas mengingatkan agar rembuk nasional yang dilakukan tidak sebatas melibatkan pengurus partai karena akan mendistorsi makna demokrasi deliberatif. Legitimasi dan kredibilitas forum tidak akan sekuat jika rembuk melibatkan tokoh nasional non-parpol dari berbagai golongan dan wilayah.
Pemilihan pendahuluan di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, konvensi capres juga pernah dilakukan Partai Golkar dan Partai Demokrat. Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri hal itu justru menguras stamina dan logistik para tokoh sebelum berkontestasi. Bahkan, ajang tersebut juga disebut-sebut membuka ruang politik uang.
Untuk menghindari itu, kata Abbas, forum memerlukan desain untuk tidak memilih siapa yang unggul berdasarkan pemilihan suara. Forum justru semestinya fokus untuk mencapai kemufakatan tentang kriteria dan nama yang bisa memenuhinya. Nama-nama yang dipilih juga hendaknya dibatasi berdasarkan referensi temuan survei nasional dari beberapa lembaga yang otoritatif. ”Nama yang dinominasikan diberi kesempatan memperkenalkan diri ke masyarakat. Lalu, hasil kerja mereka diuji melalui survei jelang waktu pencalonan,” katanya.
Masih berjalan
Sementara itu, proses rembuk nasional yang diselenggarakan sejumlah partai masih terus berjalan. Salah satunya PSI dengan program ”Rembuk Rakyat Mencari Penerus Jokowi”. Melalui situsnya, PSI menyodorkan sembilan sosok hasil jajak pendapat para kader PSI bersama tokoh masyarakat di seluruh Indonesia. Kesembilan tokoh itu di antaranya Bupati Trenggalek Emil Dardak, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Selain itu ada Menkopolhukam Mahfud MD, Panglima TNI Jenderal (TNI) Andika Perkasa, Mendagri Tito Karnavian, jurnalis Najwa Shihab, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Warganet bisa mengikuti jajak pendapat untuk memilih satu dari sembilan tokoh tersebut secara daring.
Pantauan Kompas, hingga Selasa malam, jajak pendapat di situs PSI masih terus berjalan. Hasil sementara, Ganjar Pranowo unggul dengan perolehan suara 43,9 persen, disusul Erick Thohir (29 persen), Ridwan Kamil (5,6 persen), Andika Perkasa (5,1 persen), dan Najwa Shihab (5 persen). Sementara perolehan suara sosok lain masih di bawah 5 persen.
Ketua Umum PSI Giring Ganesha dalam situs tersebut mengatakan, polling tersebut masih akan dibuka hingga November mendatang. ”Masa sembilan bulan ke depan akan kami gunakan untuk mendengarkan sebanyak mungkin suara masyarakat tentang sembilan kandidat. Selama sembilan bulan ke depan, kami akan membuka ruang bagi sukarelawan pendukung, akademisi, tokoh masyarakat, anak muda, dan rakyat luas untuk urun rembuk memberikan pendapat melalui diskusi daring,” kata Giring.
Selain jajak pendapat, pihaknya juga membedah satu per satu tokoh melalui diskusi daring yang melibatkan tokoh masyarakat sebagai narasumber. Senin lalu, diskusi digelar untuk membahas Najwa Shihab. Sosok Andika Perkasa, Erick Thohir, Ridwan Kamil, dan Ganjar Pranowo juga sudah pernah dikupas.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya juga mengatakan, pihaknya akan menggelar ”Rembuk Nasional” untuk memilih tiga tokoh yang akan didukung dalam Pilpres 2024. Tiga nama itu akan diumumkan pada Rapat Kerja Nasional Nasdem pertengahan Juni mendatang. Adapun proses pemilihan nama capres dimulai sejak April hingga pertengahan Juni dengan memadukan dua pendekatan. Pertama, pandangan dari struktur partai. Kedua, pendekatan ilmiah, yakni hasil survei nasional dari lembaga-lembaga yang kredibel.