Masa kampanye Pemilu 2024 hendaknya diatur agar lebih efektif dan efisien. Selain memberi keleluasaan bagi partai politik, durasi kampanye tak perlu terlalu panjang untuk menghindari polarisasi seperti pada pemilu lalu.
Oleh
RINI KUSTIASIH, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pendapat mengenai durasi masa kampanye menjadi salah satu persoalan yang mengakibatkan aturan mengenai tahapan, program, dan jadwal Pemilihan Umum 2024 belum juga ditetapkan. Titik temu perlu segera didapat karena tahapan pemilu harus sudah dimulai paling lambat 20 bulan sebelum pemungutan suara yang jatuh pada Juni 2022.
Durasi kampanye perlu diatur sedemikian rupa agar efektif dan efisien. Tak hanya cukup bagi partai politik (parpol), tetapi juga memberi keleluasaan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkan teknis pelaksanaan pemilu. Penting pula mempertimbangkan durasi kampanye tak terlalu panjang untuk menghindari polarisasi masyarakat akibat dukung-mendukung parpol ataupun calon presiden-calon wakil presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, Jumat (15/4/2022), mengatakan, durasi kampanye akan menjadi fokus utama dalam pembahasan Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilu 2024. Sesuai dengan kesepakatan dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat Komisi II bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu, Rabu lalu, Rancangan PKPU itu akan dibahas dalam konsinyering di masa reses DPR.
Pembahasan secara intensif dalam rapat konsinyering diperlukan karena sampai saat ini masih ada perbedaan usulan mengenai lamanya kampanye. KPU mengusulkan kampanye dilaksanakan selama 203 hari, sedangkan pemerintah 90 hari. Sementara fraksi-fraksi di DPR mengusulkan masa kampanye digelar selama 120 hari, 75 hari, dan 60 hari.
”Pemerintah, DPR, dan KPU mencari titik temu dari pilihan kampanye 203 hari, 120 hari, 75 hari, dan 60 hari,” kata Saan.
Politikus Partai Nasdem itu menjelaskan, masa kampanye perlu diperpendek karena pertimbangan biaya serta mencegah terulangnya polarisasi masyarakat sebagaimana terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019.
Pemerintah, DPR, dan KPU mencari titik temu dari pilihan kampanye 203 hari, 120 hari, 75 hari, dan 60 hari
Meski fokus pembahasan sudah ditetapkan, Komisi II belum menjadwalkan kapan konsinyering akan digelar. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Syamsurizal mengatakan, kemungkinan konsinyering digelar setelah Lebaran. Alasannya, di masa reses banyak anggota DPR yang kembali ke daerah pemilihan masing-masing untuk menemui konstituen.
”Kemungkinan masih di masa reses, tetapi setelah Lebaran. Nanti akan kami bahas tiga hari tiga malam, semoga tuntas,” katanya.
Menanggapi rencana itu, peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Aqqidatul Izza Zain, mengatakan, sebaiknya konsinyering dilakukan secepat mungkin sehingga titik temu mengenai durasi kampanye dan tahapan lainnya bisa segera dicapai.
”Kami berharap waktu kampanye itu mencukupi bagi parpol, tetapi juga tidak terlalu lama sehingga tidak memicu polarisasi. Titik temu harus diperoleh dengan pembahasan detail sesegera mungkin,” katanya.
Kecukupan waktu
Dalam rapat dengan Komisi II DPR dan pemerintah, Rabu (13/4/2022), KPU mengusulkan agar kampanye dilaksanakan selama 203 hari. Usulan ini lebih lama daripada skenario yang pernah disimulasikan oleh KPU periode sebelumnya, yakni masa kampanye 120 hari.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, masa kampanye 203 hari diusulkan agar penyelenggara memiliki keleluasaan waktu untuk menyiapkan teknis pemungutan suara. KPU ingin memastikan semua logistik, terutama surat suara dan formulir-formulir tidak terlambat sampai di tempat pemungutan suara. Sebab, dua jenis logistik itu sangat menentukan keberlangsungan pemungutan suara.
Menurut dia, ada hal-hal teknis yang mesti dipikirkan oleh semua pihak. Salah satunya ialah ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan kampanye dilakukan tiga hari setelah penetapan daftar calon tetap (DCT).
Penetapan DCT menjadi acuan bagi berlangsungnya kampanye sekaligus penyediaan logistik dan distribusinya. Sebab, dalam sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka seperti yang dianut Indonesia, surat suara harus mencantumkan nama calon. Dengan penetapan DCT, KPU dapat mengetahui siapa saja calon yang akan dicantumkan di dalam surat suara.
Demikian halnya jika terjadi sengketa pencalonan, pencetakan surat suara harus menunggu sengketa itu selesai di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau pengadilan tata usaha negara. ”Karena itu, penetapan DCT juga menentukan penyediaan logistik, tidak hanya kampanye. Kecuali aturannya diubah di dalam UU Pemilu,” kata Hasyim.
Sementara terkait pengadaan logistik, Hasyim mengatakan, bisa saja dipercepat dengan mempermudah aturan pengadaan logistik. Namun, pemerintah harus membuat payung hukum berupa peraturan presiden (perpres).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta KPU menginventarisasi perpres atau keputusan menteri yang perlu diterbitkan untuk memperlancar pelaksanaan Pemilu 2024. Pada prinsipnya, pemerintah mendukung langkah-langkah penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan agenda konstitusional tersebut dengan baik. ”Nanti kami siapkan, dan diskusikan (Perpres dan Kepmen yang dibutuhkan KPU),” ucap Mahfud.