Malam-malam Panjang di Balik Progresivitas Aksi Mahasiswa
Gerakan mahasiswa dinilai hadir di saat yang tepat. Selama ini, isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden kerap dikritisi oleh masyarakat sipil, tetapi tidak pernah ada respons serius dari Istana.
Beratap langit malam Rawamangun, Jakarta, Kamis (7/4/2022), puluhan presiden mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM SI berkumpul untuk mengonsolidasikan rencana unjuk rasa. Mereka yang datang dari berbagai penjuru Indonesia sudah siap untuk memobilisasi massa, memenuhi area Gedung Parlemen pada 11 April 2022. Namun, belum sempat konsolidasi dilakukan, beberapa orang tak dikenal turut serta memenuhi area terbuka tempat mereka berkumpul, yakni Plaza Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Kehadiran orang-orang tak dikenal membuat mereka waswas dan membubarkan diri. ”Kami memperkirakan akan ricuh, konsolidasi dikhawatirkan tidak efektif, maka kami putuskan untuk berkonsolidasi secara daring,” kata Koordinator Pusat BEM SI Kaharuddin, yang berstatus mahasiswa di Universitas Riau, dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/4/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kala itu, Kaharuddin yang beberapa jam sebelumnya terbang dari Riau menuju Jakarta merasa perlu untuk menenangkan mahasiswa lain yang juga datang dari luar Ibu Kota. Pertemuan tatap muka pengganti direncanakan pada hari berikutnya. Namun, lokasi harus digeser sekitar 45 kilometer dari UNJ, yakni ke Institut Tazkia di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jumlah peserta dibatasi, dua orang per kampus, untuk mempermudah identifikasi identitas.
Sekitar 30 anggota berkumpul di Bogor, Sabtu (9/4/2022) dini hari. Tanpa menghiraukan kantuk dan lelah, mereka mulai membahas teknis demonstrasi, juga mendiskusikan makalah setebal 227 halaman berjudul ”#JOKOWILASTSEASON”. Makalah merupakan hasil pengkajian situasi politik, ekonomi, dan sosial beberapa bulan terakhir.
Kajian terakumulasi pada enam tuntutan, di antaranya mendesak Presiden Joko Widodo tegas menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, mengkaji ulang Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN), serta menstabilkan harga bahan pokok. Selain itu, juga terkait desakan mengusut mafia minyak goreng, menyelesaikan berbagai konflik agraria, dan meminta Jokowi-Ma’ruf Amin untuk menuntaskan janji kampanye di sisa masa jabatan mereka.
Keenam isu itu yang mempersatukan mereka berunjuk rasa di depan Istana Merdeka pada 28 Maret 2022. Akan tetapi, tuntutan yang mereka ajukan tidak diterima langsung oleh Presiden dan tidak ditindaklanjuti. ”Karena itu, kami menyerukan bahwa akan ada aksi lanjutan 14 hari setelahnya atau pada 11 April,” kata Kaharuddin.
Antisipasi penyusup
Dengan kajian dan tuntutan yang sama, BEM SI berencana kembali berdemonstrasi di Istana Merdeka. Akan tetapi, pengalaman kedatangan orang tak dikenal saat konsolidasi serta banyaknya informasi yang diterima terkait dengan rencana penyusupan segelintir pihak untuk mendelegitimasi unjuk rasa, mendorong mereka memindahkan lokasi aksi ke Gedung DPR secara rahasia dan baru mengumumkan sehari sebelumnya.
Namun, pada Minggu (10/4/2022) atau sehari sebelum aksi besar-besaran digelar, Presiden dalam rapat terbatas kabinet di Istana Bogor mengatakan, pemilu akan tetap dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Hal itu, menurut Presiden, perlu dijelaskan agar jangan sampai muncul spekulasi, pemerintah sedang berusaha menunda pemilu.
Baca juga: Berjalan Cukup Tertib, Aksi Mahasiswa Disambangi Pimpinan DPR dan Kapolri
Walaupun sejalan dengan tuntutan, pernyataan presiden itu tak membuat mahasiswa mundur. ”Jadi, seakan-akan dengan jawaban itu, kami mau membatalkan aksi, tetapi, kan, tidak. Karena tuntutan kami bukan hanya tentang penundaan pemilu, melainkan juga masa jabatan (presiden) tiga periode dan beberapa yang lainnya,” kata Kaharuddin.
Demonstrasi besar pun berlangsung di kawasan Gedung Parlemen sesuai rencana. Mahasiswa berhasil membawa tiga Wakil Ketua DPR, yakni Sufmi Dasco Ahmad, Rachmat Gobel, dan Lodewijk F Paulus, serta Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo ke tengah massa aksi untuk menerima tuntutan mereka. Akan tetapi, saat demo usai dan mahasiswa berangsur pulang, kericuhan terjadi. Dosen Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, yang hadir memantau demo sejak pagi menjadi korban amuk massa yang belakangan terungkap bukan mahasiswa.
Sehari setelahnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan apresiasi terhadap gerakan mahasiswa.
Sehari setelahnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan apresiasi terhadap gerakan mahasiswa. “Pemerintah senang mendengar aspirasi itu disampaikan dengan baik, pemerintah tidak akan pernah menghalangi, karena itu lah dulu yang kita perjuangkan. Aspirasi anda sudah kami dengar sesudah anda sampaikan secara terbuka dan pimpinan DPR juga sudah menjanjikan untuk menindaklanjuti sesuai dengan aspirasi para mahasiswa,” kata Mahfud.
Ia pun mengajak semua pihak untuk mengawal penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Presiden sudah melantik anggota KPU dan Bawaslu 2022—2027. “Semuanya menyatakan siap bekerja menyiapkan pemilu dan pilkada 2024 dengan sebaik-baiknya,” kata Mahfud.
Terus dikawal
Mahasiswa di Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) dan BEM se-Bandung Raya tetap meragukan pernyataan Presiden. Bagi mereka, pernyataan itu hanya dilakukan untuk memastikan tanggal pemilu, tetapi tidak menjawab persoalan presiden tiga periode. “Jika UUD 1945 diamendemen untuk menambah masa jabatan presiden, maka Jokowi bisa saja mencalonkan diri untuk ketiga kalinya pada Pemilu 2024,” kata Reza Rahmaditio, Menteri Koordinator Sosial Politik Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB).
Menurut dia, pernyataan Jokowi perlu dikawal dan tak bisa dipercaya begitu saja. Merujuk beberapa kasus, pernyataannya kerap bertolak belakang dengan kebijakan yang diambil. “Dilihat dari rekam jejaknya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengatakan tidak ingin menjadi presiden, namun pada akhirnya menjadi presiden. Termasuk janjinya ingin memperkuat KPK, namun justru membiarkan KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK,” ujarnya.
Oleh karena itu, pernyataan Jokowi tak serta merta meredam demonstrasi yang sudah disiapkan. Apalagi, PRMB juga sudah menggelar aksi awal pada 1 April. Beberapa hari setelahnya, konsolidasi aliansi yang lebih luas pun dilakukan. Bertemu di sejumlah warung kopi di sudut Kota Bandung, mereka menghabis malam dan menjemput Subuh di sana. Pembacaan situasi nasional membuat mereka terjaga dalam malam-malam panjang.
Bergelas-gelas kopi habis diseruput sambil membahas isu nasional. Dari begitu banyak, mereka sepakat pada lima persoalan yang sekaligus akan menjadi tuntutan kepada negara. Sepanjang diskusi, tak ada perdebatan berarti, karena semua pihak sepakat dengan masalah tersebut.
Lihat juga : Unjuk Rasa Mahasiswa di DPR
Pertama, sanksi untuk para menteri yang terbukti mendukung wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden; desakan agar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif menolak wacana itu; dan tuntutan agar pemerintah menyetabilkan harga bahan pokok. Selain itu, mereka juga meminta berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), konflk agraria, dan penggusuran di Jawa Barat diselesaikan. Juga agar ada peninjauan kembali sejumlah undang-undang (UU) yang bermasalah, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), UU IKN, dan UU Cipta Kerja.
“Keputusan untuk turun ke jalan didasarkan dari concern setiap BEM atas permasalahan negara hari ini. Concern tersebut yang kemudian disatukan dalam forum PRMB untuk disarikan menjadi lima tuntutan,” kata Reza.
Lima tuntutan mengikat PRMB dan BEM dari 20 universitas untuk berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (11/4). Mereka long march hampir 2 kilometer dari Lapangan Ganyang menuju kompleks kantor Gubernur Jawa Barat itu. Hujan tak mengehentikan demonstrasi. Namun, tak ada perwakilan pemerintah dan DPRD menemui massa aksi. “Aksi ini bukanlah akhir, melainkan sebuah permulaan. ITB dan aliansi mahasiswa di Kota Bandung akan melanjutkan perjuangan hingga tuntutan aksi (11/4) dipenuhi,” ujarnya.
Bergerak di hari yang sama dengan tuntutan yang beririsan tak membuat gerakan mahasiswa terhubung satu sama lain. Setiap aliansi memiliki agenda yang terfragmentasi sedemikian rupa.
Terpecah
Bergerak di hari yang sama dengan tuntutan yang beririsan tak membuat gerakan mahasiswa terhubung satu sama lain. Setiap aliansi memiliki agenda yang terfragmentasi sedemikian rupa. Di Sumatera Barat (Sumbar), misalnya, kelompok mahasiswa yang berunjuk rasa pada 11 April di gedung DPRD Sumbar menuntut agar Jokowi memecat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan karena diduga menginisiasi operasi politik perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu
BEM UI, pada Kamis (12/4), berdemonstrasi di dalam kampus, mengkritisi hadirnya Luhut dalam kuliah umum yang juga dihadiri Rektor UI Ari Kuncoro. Saat menemui Luhut, mahasiswa menuntut dia menunjukkan mahadata 110 juta warganet yang diklaim mendukung penundaan pemilu. Namun Luhut menolak, sehingga terjadi perdebatan.
Keterpecahan gerakan tak dimungkiri mahasiswa. “Dirasakan ada kebutuhan bagi gerakan mahasiswa untuk bersatu, agar rangkaian aksi dan materi tuntutan yang dibawa dapat saling tersambung dan menguatkan. Meski berbeda hari dan metode, harapannya, dalam satu aliansi nanti bisa saling mendukung untuk tujuan yang sama,” kata Reza.
Upaya menghimpun kekuatan sebenarnya telah dilakukan oleh BEM UI lewat Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI). Hingga saat ini, sudah ada sekitar 100 BEM yang bergabung dan masih akan terus bertambah. Aliansi ini sempat berdemo menyuarakan penolakan presiden tiga periode pada 10 April di kawasan Patung Kuda, Jakarta, atau sehari sebelum demo besar-besaran di lokasi lainnya berlangsung.
“Betul (terpecah). Kami sedang membangun komunikasi satu sama lain untuk bagaimana bisa menurunkan ego masing-masing,” kata Ketua BEM UI Bayu Satria Utomo dalam diskusi daring LP3ES, Rabu (13/4/2022).
Baca juga : Peserta Gelap Unjuk Rasa Mahasiswa di Jakarta Diantisipasi
Inisiasi AMI, kata Bayu, didasarkan pada otokritik. Sejak gerakan mahasiswa muncul kembali pada 2019, ketika merespons revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, hingga saat ini, gerakan yang muncul cenderung reaksioner. Gerakan masih sekadar menanggapi peristiwa yang muncul ke permukaan di setiap wilayah, bukan hal fundamental yang menjadi akar masalah. “Mahasiswa saat ini tidak punya grand design perjuangan yang berkelanjutan,” katanya.
Untuk itu, pihaknya berencana menggelar kongres rakyat pada 18 April sebelum turun ke jalan pada 21 April. Lagi-lagi pernyataan Presiden, bahkan pelantikan anggota KPU dan Bawaslu 2022—2027, dan pembahasan rancangan Peraturan KPU terkait tahapan pemilu di Komisi II DPR tidak menghentikan rencana aksi mahasiswa. Dari dua agenda itu, diharapkan, mahasiswa dan masyarakat sipil dapat membangun gambar besar gerakan, mengidentifikasi isu fundamental sebagai landasan perjuangan berkelanjutan.
“Gerakan hari ini akan menjadi penentu corak gerakan mahasiswa di 2023 dan 2024. Fase 2024 harus bisa jadi titik balik dengan memanfaatkan momentum pesta demokrasi. Gerakan masyarakat sipil jangan hanya memberikan cek kosong kepada pemimpin terpilih, tetapi harus bisa membaca situasi sosial politik yang terjadi,” kata Bayu.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES sekaligus pengajar FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Wijayanto, mengatakan, gerakan mahasiswa perlu diapresiasi karena hadir pada saat yang tepat. Selama ini, isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden kerap dikritisi oleh masyarakat sipil, tetapi tidak pernah ada respons.
Gerakan moral
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES sekaligus pengajar FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Wijayanto, mengatakan, gerakan mahasiswa perlu diapresiasi karena hadir pada saat yang tepat. Selama ini, isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden kerap dikritisi oleh masyarakat sipil, tetapi tidak pernah ada respons yang serius dari Istana. “Kami sudah sering mengatakan bahwa Presiden perlu tegas. Tetapi ketegasan itu baru muncul menjelang aksi mahasiswa,” kata Wijayanto.
Adapun pembelahan yang terjadi di internal gerakan, itu juga merepresentasikan fragmentasi gerakan masyarakat sipil. Secara historis, gerakan mahasiswa juga kerap kali terpecah atas berbagai alasan, baik yang natural maupun hasil intervensi penguasa. Hal itu merupakan catatan yang semestinya menjadi bahan refleksi.
Meski demikian, selalu ada masa yang akan mempertemukan mahasiswa dalam satu tuntutan yang sama. Kali ini, kesamaan itu adalah penolakan terhadap penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Oleh karena itu, menurut Wijayanto, menyatukan mahasiswa ke dalam satu aliansi dengan isu yang sama sebenarnya tidak wajib dilakukan. Bukan tanggung jawab mahasiswa juga untuk memikirkan peta jalan kehidupan bernegara selama beberapa tahun ke depan. “Yang terpenting dari gerakan mahasiswa adalah gerakan moralnya, karena mereka bukan koalisi parpol. Gerakan harus jujur, memakain akal sehat, dan nurani,” ujarnya.