Pendapat Pemerintah Tidak Bulat, Revisi UU PPP Dipaksakan
Sekalipun di internal pemerintah berbeda pendapat, upaya lobi-lobi setengah kamar terus didesakkan mengejar pengambilan keputusan, sehingga RUU itu dijdwalkan masuk dalam rapat paripurna penutupan masa sidang hari ini.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Proses pembahasan revisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terkesan dipaksakan untuk dapat memenuhi target disahkan pada 14 April 2022. Dalam rapat panitia kerja, Rabu, sekalipun di internal pemerintah berbeda pendapat, upaya lobi-lobi setengah kamar terus dilakukan untuk mengejar pengambilan keputusan, sehingga RUU itu dapat dijadwalkan untuk masuk dalam rapat paripurna penutupan masa sidang, hari ini.
Hingga Rabu (13/4/2022) malam, proses pembahasan RUU PPP itu dikebut sekalipun beberapa kali harus diskors karena di internal pemerintah berbeda pendapat. Perdebatan yang mencuat antara lain mengenai siapa kementerian yang berhak mengundangkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, mengenai siapa yang mewakili pemerintah dalam pengujian UU di Mahkamah Konstitusi, dan peraturan di bawah UU di Mahkamah Agung.
Sedikitnya empat kali rapat harus diskors untuk memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk memvalidasai sikap mereka. Sebab, antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Benny Riyanto, dan Staf Ahli Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Elen Setiadi, kerap kali berbeda pendapat.
Diwarnai perdebatan
Perdebatan misalnya soal siapa yang mewakili pemerintah di dalam sidang MK dan MA, misalnya, Kemenkumham tidak berkeberatan jika tidak lagi disebut koordinator, melainkan bekerja menjalankan peran mewakili pemerintah dalam pengujian di MK dengan melibatkan kementerian lain. Namun, rumusan itu belum dapat diterima oleh wakil lainnya dari Kemenko Perekonomian, yang meminta agar disebutkan eksplisit bersama-sama menteri lain yang terkait.
Karena kedua kementerian tidak sependapat, maka pimpinan panja yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas meminta agar kedua pihak kementerian itu berkomunikasi lagi. Akhirnya dicapai kesepakatan agar rumusannya menyatakan penanganan pengujian terhadap UU di MK dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dan melibatkan menteri atau lembaga terkait.
Belum lama skors dibuka, setelah pedebatan selama lebih dari 1 jam untuk satu daftar inventarisasi masalah (DIM), kebuntuan kembali terjadi. Kali ini, internal pemerintah tidak bulat menyepakati siapa yang mengundangkan peraturan perundang-undangan. Di dalam DIM, pemerintah menginginkan agar pengundangan UU dan Peraturan Presiden (perpres) dilakukan oleh Sekretariat Negara. Hal itu berbeda dengan praktik selama ini yang menempatkan Kemenkumham sebagai kementerian yang mengundangkan suatu peraturan perundang-undangan.
“Setelah pertemuan itu, Pak Menteri menelepon saya mengatakan, telah ada kesepakatan, bahwa itu (pengundangan) tetap di bawah Kumham"
Soal ini, Dirjen PUU Kemenkumham Benny Riyanto juga berkeberatan. Ia menyebutkan, dalam pembicaraan terakhir antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dengan Mensesneg Pratikno bersama Presiden Joko Widodo. “Setelah pertemuan itu, Pak Menteri menelepon saya mengatakan, telah ada kesepakatan, bahwa itu (pengundangan) tetap di bawah Kumham,” katanya.
Namun, pernyataan itu disanggah oleh Staf Ahli Menko Perekonomian Elen Setiadi. Elen mengatakan, informasi terakhir yang diterimanya, pemerintah tetap pada DIM yang diajukan kepada DPR. Artinya, pemerintah tetap mengusulkan agar pengundangan dipindahkan kepada Setneg.
Perdebatan di internal pemerintah ini disayangkan oleh anggota Baleg, sebab lagi-lagi rapat harus diskors untuk dilakukan rapat setengah kamar. Pemerintah diminta untuk solid dalam satu suara terkait pandangan mereka.
“Siapa yang politisi di sini. Seharusnya kan kami politisi yang tidak setuju dengan Anda. Tetapi, malah perdebatan pendapat itu terjadi di antara pemerintah sendiri,” kata Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya.
“Siapa yang politisi di sini. Seharusnya kan kami politisi yang tidak setuju dengan Anda. Tetapi, malah perdebatan pendapat itu terjadi di antara pemerintah sendiri”
Pengundangan oleh Setneg
Rapat kembali diskors untuk mendapatkan kejelasan sikap dari pemerintah mengenai siapa yang mengundangkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pimpinan panja juga meminta masing-masing fraksi untuk mengemukakan pendapatnya terkait perbedaan sikapnya.
Pemerintah akhirnya sepakat memindahkan kewenangan pengundangan itu kepada Setneg, sesuai dengan DIM pemerintah. Untuk UU dan perpres, pengundangan ada di tangan Setneg, sedangkan untuk peraturan di bawahnya tetap di tangan Kumham.
“Kalau Bapak bertanya, mana sikap pemerintah, maka sikap pemerintah adalah seperti surat dan DIM yang dikirimkan kepada DPR,” kata Elen.
“Kalau Bapak bertanya, mana sikap pemerintah, maka sikap pemerintah adalah seperti surat dan DIM yang dikirimkan kepada DPR”
Sementara itu, Benny mengatakan, pihaknya menolak untuk dilakukan voting soal siapa yang berwenang mengundangkan peraturan perundang-undangan. Ia mengatakan bila di antara supremasi politik, ekonomi, dan hukum berbenturan, maka supremasi hukum yang selalu tertinggal di belakang.
“Saya pesan moral saja demi kemajuan bangsa. Mohon ke depannya berpikir lebih obyektif untuk mengambil suatu sikap demi mempertahankan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Karena kita negara hukum. Demi Bapak Presiden dan Bapak Menteri, kami rasa tidak perlu divoting,” ucapnya.
Perbedaan kembali terjadi saat pembahasan DIM siapa yang melakukan harmonisasi, sinkronisasi, dan pembulatan konsepsi. DPR mengusulkan agar kewenangan itu dijalankan oleh Kemenkumham. Namun, pemerintah dalam DIM meminta agar ketentuan itu dihapus. Namun, Kemenkumham keberatan dengan penghapusan ketentuan ini.
Akhirnya, internal pemerintah diminta berembuk kembali untuk menyatukan pandangan mereka. Ketentuan itu disepakati dengan kewenangan Kumham sebatas melakukan evaluasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, bukan harmonisasi, sinkronisasi, dan pembulatan konsepsi sebagaimana usulan awal.
Sekalipun sikap pemerintah beberapa kali tidak bulat, dan cukup alot, pembahasan diteruskan dengan skors beberapa kali. Pantauan terakhir, tim perumus hingga jelang maghrib sampai Rabu malam, masih merapikan redaksional.
“Seharusnya draf DIM dari pemerintah dikembalikan untuk disempurnakan, tidak dipaksakan. Keputusan terkait dengan pengundangan sebenarnya DPR tidak sepakat, tapi tiba-tiba disepakati tanpa ada argumentasi tambahan”
Supratman mengatakan, pihaknya mengupayakan agar RUU itu segera dapat disetujui, Rabu, sehingga Kamis ini dapat disahkan dalam rapat paripurna penutupan masa sidang.
Sekadar jadi landasan perbaikan
Apa yang terjadi dalam pembahasan RUU PPP ini, menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menunjukkan betapa pembahasan legislasi dilakukan dengan terburu-buru dan mengindahkan perbedaan pendapat yang terjadi. Kesan pembahasan RUU PPP ini dipaksakan untuk sekadar menjadi landasan bagi perbaikan UU Cipta Kerja pun semakin terasa.
“Seharusnya draf DIM dari pemerintah dikembalikan untuk disempurnakan, tidak dipaksakan. Keputusan terkait dengan pengundangan sebenarnya DPR tidak sepakat, tapi tiba-tiba disepakati tanpa ada argumentasi tambahan,” katanya.
Apapun hasil dari revisi UU PPP ini, menurut Fajri, menunjukkan problem mendasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak partisipatif, terburu-buru, dan dilakukan demi memenuhi kepentingan tertentu secara cepat. Perbaikan UU PPP pun tidak menyasar persoalan substantif soal pembentukan peraturan perundang-undangan yang dijalankan oleh lembaga yang terpencar-pencar, sehingga menimbulkan adanya egosektoral.