Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terkesan Parsial
Hingga Senin (11/4/2022) malam, belum ada kepastian dari Baleg DPR untuk melanjutkan rapat panitia kerja revisi UU PPP. Lobi-lobi dengan perwakilan pemerintah masih dilakukan untuk mencari titik temu.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang saat ini dibahas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terkesan parsial. Sejumlah persoalan penting di dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan luput dari perhatian pembentuk UU, yang dinilai hanya fokus pada penciptaan landasan hukum bagi perbaikan UU Cipta Kerja sebagai dampak atas putusan Mahkamah Konstitusi.
Saat ini, proses pembahasan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) itu masih berlangsung di DPR. Dalam pembahasan terakhir, akhir pekan lalu, ada dua persoalan yang masih mengganjal sehingga belum dapat diambil keputusan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU PPP.
Di internal pemerintah masih ada perbedaan pendapat terkait ketentuan mengenai siapa yang berwenang mengundangkan suatu peraturan perundang-undangan, apakah Sekretariat Negara ataukah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pihak Kemenkumham menilai kementeriannya yang berwenang mengundangkan, sesuai dengan UU No 12/2011. Namun, pendapat sebaliknya diungkapkan dalam draf yang diajukan pemerintah, yang mengusulkan agar kewenangan diberikan kepada Setneg. Pandangan DPR pun terbelah.
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam ketentuan mengenai siapa yang berwenang mewakili pemerintah dalam sidang pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemenkumham menilai kementeriannya yang berhak mewakili pemerintah, sedangkan pemerintah dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) mengusulkan agar kejaksaan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dapat juga menjadi koordinator perwakilan pemerintah dalam persidangan di MK.
Baca juga : Revisi UU PPP Bukan ”Jalan Tol” untuk Legitimasi Omnibus Law
Karena belum ada kesepakatan di internal pemerintah, rapat diputuskan untuk dilanjutkan, Senin (11/4/2022). Namun, hingga Senin malam, belum ada kepastian dari Badan Legislasi DPR apakah rapat lanjutan Panja RUU PPP itu akan diteruskan. Lobi-lobi dan pertemuan informal masih dilakukan dengan perwakilan pemerintah untuk mencari titik temu dari ketentuan-ketentuan yang masih menjadi perdebatan.
Parsial
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, perbedaan pendapat terkait dua ketentuan itu menunjukkan revisi UU PPP tidak menyelesaikan persoalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selama ini, tidak ada kejelasan bisnis proses dan alur pembahasan UU. Sebab, perencanaan, harmonisasi, dan pengusulan dapat dilakukan oleh kementerian atau lembaga yang berbeda-beda.
Selama ini, tidak ada kejelasan bisnis proses dan alur pembahasan UU. Sebab, perencanaan, harmonisasi, dan pengusulan dapat dilakukan oleh kementerian atau lembaga yang berbeda-beda.
”Untuk perencanaan UU, kita ada BPHN. Lalu untuk persiapan UU ada di kementerian dan lembaga terkait. Adapun untuk harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, kita ada di Kemenkumham. Jadi, tidak ada dalam satu lembaga yang sama, dan ini membuat persoalan sebagaimana dihadapi dalam revisi UU PPP sekarang,” kata Fajri, Senin, di Jakarta.
Muncul perdebatan di antara pemerintah sendiri siapa yang menjadi wakil pemerintah, siapa yang mengharmonisasi UU, dan siapa yang mengundangkan suatu peraturan perundang-undangan. ”Ini menunjukkan revisi UU PPP masih parsial karena tidak menyentuh persoalan sebenarnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga persoalan ini akan terus muncul,” katanya.
Baca juga : Fasilitasi Perbaikan UU Cipta Kerja, Baleg DPR Percepat Revisi UU PPP
Dalam menghadapi situasi ini, menurut Fajri, sebaiknya revisi UU PPP tidak semata-mata dilakukan untuk merespons putusan MK atau menjadi alas bagi perbaikan UU Cipta Kerja. Namun, revisi UU PPP harus holistik menyasar persoalan mendasar dalam proses pembentukan UU di Tanah Air selama ini. Revisi yang terburu-buru dan hanya untuk mengakomodasi bagi mekanisme perbaikan UU Cipta Kerja pun sangat disayangkan karena tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya.
Kalaupun revisi itu ditujukan untuk merespons putusan MK, menurut Fajri, substansi RUU PPP belum mencerminkan hal itu. Sebab, partisipasi publik yang menjadi penekanan MK justru belum tergambarkan di dalam draf tersebut. Partisipasi publik hanya dibatasi pada masyarakat yang terkait langsung dengan suatu peraturan perundang-undangan. Padahal, partisipasi publik seharusnya dimaknai luas, bukan hanya yang terdampak langsung dengan suatu UU atau peraturan.
Lobi-lobi
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya masih berusaha melakukan konsolidasi dan lobi-lobi atau rapat setengah kamar untuk mencapai titik temu terkait dua ketentuan yang masih buntu. Beberapa fraksi setuju dengan pemerintah, yakni untuk menggeser kewenangan pengundangan ke Setneg. Namun, mayoritas fraksi setuju agar kewenangan itu tetap berada di Kemenkumham.
Baca juga : MK Menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil
”Kalau untuk ketentuan siapa yang mewakili pemerintah di MK dan MA, kita sudah mulai sepakat bahwa itu sebaiknya tetap dikoordinasikan oleh Kemenkumham. Namun, tidak tertutup kemungkinan Presiden menunjuk kementerian yang lain sekalipun tetap yang harus mengoordinasikan adalah Kemenkumham,” kata Supratman.
Jika tercapai kesepakatan mengenai dua hal itu, rapat akan dilanjutkan pada Senin pukul 20.30. Namun, jika tidak juga tercapai kesepakatan, konsolidasi dan lobi-lobi akan terus dilakukan. Sebab, sesuai dengan rencana, RUU PPP akan diusulkan untuk disahkan di dalam rapat paripurna penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 pada 14 April 2022.
Mengenai revisi UU PPP yang terkesan hanya melegitimasi kesalahan dalam UU Cipta Kerja, Supratman membantahnya. ”Ini bukan legitimasi UU Ciptaker (Cipta Kerja) dan abaikan putusan MK. UU Ciptaker akan kita perbaiki. Tetapi, yang paling penting kita sikapi UU PPP itu terkait dengan partisipasi publiknya sehingga nanti bisa dikualifikasikan secara jelas terhadap siapa saja partisipasi itu diserap dan formatnya seperti apa,” ujar anggota Fraksi Partai Gerindra ini.
Mengenai revisi UU PPP yang terkesan hanya melegitimasi kesalahan dalam UU Cipta Kerja, Supratman membantahnya.
Kesalahan teknis
Selain dua ketentuan yang masih buntu, ada hal krusial yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR. Salah satunya ialah perbaikan kesalahan teknis RUU setelah disetujui dalam rapat paripurna. Di dalam draf yang diajukan DPR, perbaikan itu dilakukan oleh pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) yang membahas UU tersebut bersama dengan perwakilan pemerintah yang membahas UU itu.
Jika RUU yang telah disetujui di dalam rapat paripurna sudah dikirim ke Presiden, perbaikan akan dilakukan oleh Setneg bersama dengan kementerian terkait yang membahas UU tersebut serta melibatkan pimpinan AKD yang membahas UU itu.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta, mengatakan, revisi UU PPP harus mengatur jelas pembatasan terhadap perbaikan teknis yang dimaksudkan itu. Apakah itu meliputi tanda baca, huruf kapital dan huruf kecil, atau kekeliruan redaksional lainnya. Definisi mengenai pembatasan itu dapat diterangkan di dalam penjelasan UU.
”Jangan sampai ini dimaknai liar karena tidak ada pembatasan yang jelas mengenai apa itu perbaikan teknis. Apakah itu menyangkut perubahan titik koma, huruf besar dan kecil, atau penggunaan bahasa asing yang harus diganti. Harus ada batasan sehingga bukan soal-soal substantif yang diubah,” katanya.
Persoalan substantif sudah diputuskan di dalam rapat paripurna sehingga seharusnya tidak dapat diubah-ubah lagi, baik oleh AKD maupun pemerintah. Perubahan terhadap substansi sama halnya dengan mengambil kewenangan yang diputuskan di dalam rapat paripurna.
Mengenai pembatasan soal perbaikan teknis itu, Supratman mengatakan akan diusulkan dalam pembahasan panja. Namun, ia memastikan perubahan teknis itu tidak mengutak-atik substansi UU yang sudah disetujui di dalam rapat paripurna.
”Ada usulan agar waktu pengiriman UU usai disetujui di paripurna ditambah menjadi 14 hari, bukan 7 hari seperti sekarang. Itu untuk memastikan tidak ada kekeliruan terkait salah tik, titik dan koma, serta huruf besar atau kecil. Namun, prinsipnya perubahan itu tidak mengutak-atik substansi yang telah disepakati di dalam paripurna,” ucapnya.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pembatasan mengenai perbaikan teknis itu memang diperlukan supaya tidak ada perubahan di dalam materi yang sifatnya substantif. Hal itu akan ditegaskan lagi dalam pembahasan bersama pemerintah.
”Ya, memang harus ada pembatasan supaya tidak terjadi penyimpangan yang ada di dalam substansi. Batasannya berupa kesalahan teknis soal titik dan koma, selain juga mempertimbangkan memorie van toelichting atau persoalan apa yang diperdebatkan di dalam rapat,” ucapnya.