Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Hilangkan Kedaulatan Rakyat
Perpanjangan masa jabatan kepala daerah dinilai lebih baik daripada mengangkat penjabat kepala daerah. Sebab, tidak bisa dipastikan bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah oleh pemerintah itu bebas dari politisasi.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pada akhir 2022, total ada 101 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya. Hingga pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak pada 2024, jabatan gubernur akan diisi penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh Presiden, sedangkan penjabat bupati/wali kota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Pengangkatan penjabat kepala daerah dinilai mengukuhkan kedaulatan rezim dan menghilangkan kedaulatan rakyat.
Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, masa jabatan kepala daerah yang habis pada 2022 dan 2023 sebaiknya diperpanjang hingga Pilkada 2024. ”Kenapa diperpanjang masa jabatannya sampai pilkada tahun 2024? Karena mereka itu dipilih oleh rakyat. Itu mereka menjadi gubernur, wali kota, bupati itu adalah daulat rakyat, kalau diganti oleh Presiden dan Mendagri (Menteri Dalam Negeri) menjadi daulat rezim yang sekarang ini,” ujar Azyumardi dalam diskusi ”Politisasi Desa dalam Perspektif Etika Pemerintahan” yang berlangsung secara daring, Sabtu (9/4/2022).
Setidaknya ada lima gubernur dan wagub yang masa jabatannya berakhir pada Mei, yakni Gubernur dan Wagub Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Papua Barat, termasuk Banten dan Sulawesi Barat. Perpanjangan masa jabatan kepala daerah dinilai lebih baik dilakukan daripada mengangkat penjabat kepala daerah. ”Yang jelas siapa pun yang diangkat oleh Presiden adalah menandai berakhirnya daulat rakyat pada tingkat otonomi daerah,” ujarnya.
Seiring banyaknya usulan yang menginginkan agar penjabat kepala daerah bukan berasal dari kalangan TNI/Polri aktif, pemerintah pusat juga tak tegas menyatakan sikap.
Hal ini juga akan memicu resentralisasi dan surutnya otonomi daerah. ”Otonomi daerah itu bukan perjuangan yang mudah, tapi kemudian sekarang tiba-tiba dipangkas, dihilangkan daulat rakyat itu, diulang diganti dengan daulat pemerintah dalam hal ini daulat Presiden dan daulat wakilnya dalam representasi, dalam hal ini Mendagri,” ucap Azyumardi.
Di sisi lain, seiring banyaknya usulan yang menginginkan agar penjabat kepala daerah bukan berasal dari kalangan TNI/Polri aktif, pemerintah pusat juga tak tegas menyatakan sikap. ”Tapi, kan, dari Presiden enggak ada respons, dari Mendagri juga enggak ada, begitu juga untuk tingkat kabupaten/kota itu juga enggak ada respons yang diharapkan,” katanya.
Selain itu, menurut dia, pemerintah juga tidak bisa memastikan bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah bebas dari politisasi. ”Nah, kalau misalnya yang diangkat itu, siapa pun dia yang pro-pemerintah, pro-Jokowi, bisa kita bayangkan apa yang terjadi, politisasilah terjadi, politisasi kepala daerah,” katanya.
Politisasi, menurut Azyumardi, juga telah jelas-jelas terjadi terkait dengan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Terakhir wacana tersebut digulirkan dalam acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Silatnas Apdesi) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022).
”Ini jelas politisasi dalam upaya untuk perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi apakah dua tahun, tiga tahun, ataukah mungkin melalui amendemen konstitusi Undang-undang Dasar 1945. Mungkin satu periode lagi, periode ketiga, ya, dari itu jelas-jelas sekali,” ucap Azyumardi.
Ketentuan undang-undang
Silatnas Apdesi yang menyatakan dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi selama tiga periode ini melanggar Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 29 huruf g dan huruf c. Menurut UU, kepala desa dilarang ikut terlibat di dalam kampanye pemilu dan pilkada. ”Jelas kampanye itu dalam rangka tiga kali masa jabatan presiden ataupun perpanjangan jabatan Presiden Jokowi,” ujarnya.
Gerakan yang dilakukan Apdesi juga dinilai melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain dilarang turut serta dalam kegiatan kampanye, kepala desa juga tidak boleh mengambil keputusan atau langkah-langkah yang berpihak pada kelompok politik tertentu, figur politik tertentu, ataupun partai politik tertentu.
Selain itu, para kepala desa juga melanggar fatsun atau etika politik serta telah mencuri start kampanye. Kegiatan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut bagian dari kampanye politik dan bukan sekadar upaya menghargai jasa Presiden Jokowi dalam membangun desa.
”Rekayasa politik dan menurut saya ini akan terus terjadi walaupun Presiden bilang supaya menteri-menteri berhenti membicarakan itu. Yang membicarakan soal perpanjangan masa jabatan atau menunda pemilu dihentikan pembicaraan, tapi, kan, Presiden Jokowi enggak bilang suruh menghentikan manuver, kan enggak. Hentikanlah manuver-manuver seperti mengumpulkan kepala desa, itu kan enggak,” kata Azyumardi.
Azyumardi juga meminta publik mengantisipasi manuver-manuver dari elite politik yang akan terus berlanjut. ”Karena yang dilarang oleh Presiden Jokowi itu hanya membicarakannya, mungkin membicarakannya di depan publik, ya, kan. Tapi di belakang? Silakan saja melakukan manuver, sedang secara di bawah tanah silakan saja, kan, enggak ada larangan,” tuturnya.
Apalagi, Presiden Jokowi juga tidak menyatakan tidak bersedia untuk menjabat yang ketiga kali karena tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Presiden Jokowi juga tidak menegaskan bahwa dia menolak amendemen UUD 1945. Ketidaktegasan inilah yang antara lain memunculkan semakin tajamnya polarisasi dan konflik di masyarakat.
Dalam diskusi tersebut, Guru Besar Universitas Terbuka Prof Dr Hanif Nurcholis menyoroti peran dan struktur mental kepala desa yang cenderung tak berubah sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu cenderung menjadi kaki tangan penguasa. ”Konkretnya adalah pelaksana proyek melalui dana desa, enggak lebih dari itu, ya sama dengan zaman Belanda dengan zaman Mataram (kerajaan),” katanya.
Menurut Hanif, berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014, desa termasuk administrasi negara primitif dalam tubuh administrasi negara modern NKRI. Desa cenderung hanya sebuah komunitas orang kecil, bukan badan hukum komunitas sebagai bagian badan hukum publik. Kepala desa juga diatur dengan syarat tidak boleh berpolitik dengan tugas utama menarik pajak, menjaga keamanan, dan melaksanakan kebijakan proyek.
Peran dan struktur mental kepala desa yang cenderung tak berubah sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu cenderung menjadi kaki tangan penguasa.
”Model relasi kuasa itu, penguasa, kepala desa, rakyat desa, yang feodal sudah seperti itu, ya, yang sudah tertanam ratusan tahun membentuk mentalitas kepala desa sebagai penghamba dan penjilat penguasa, ini sudah terbentuk. Bukan sebagai pelayan dan pembela kepentingan rakyat,” ujar Hanif.
Para kepala desa yang bersedia dimobilisasi oleh penguasa untuk melawan norma konstitusi dan mendukung presiden tiga periode dinilai tergolong sebagai mereka yang masih terus mengukuhi budaya feodal. Sementara para kepala desa yang teguh pada prinsip pemerintahan modern demokrasi konstitusional adalah mereka yang sudah tercerahkan.