”Orkestra” Kepala Desa di Panggung Politik Indonesia
Lontaran perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi Presiden Jokowi pada Silatnas Apdesi dinilai karena ada pihak-pihak yang mengorkestrasi. Patut diingat, aspirasi mesti cerdas politik dan tak merusak konstitusi.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pengantar sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/4/2022), memerintahkan para menterinya jangan lagi menyuarakan urusan penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden. Selain meminta jangan menimbulkan polemik di masyarakat, para menteri juga diminta fokus bekerja dalam penanganan kesulitan yang kini tengah dihadapi.
Gejolak ekonomi dunia menjadikan situasi ekonomi sekarang tidak mudah. Harga pertamax, misalnya, terpaksa dinaikkan sebagai imbas harga bahan bakar minyak. Demikian pula harga barang kebutuhan pokok yang beranjak naik. Kepala Negara pun meminta semua menteri fokus mencermati kondisi ini serta mengambil kebijakan tepat.
Pernyataan Presiden Jokowi ini mengisi satu babak dari panggung depan politik Indonesia yang bergerak cepat. Sebelumnya, ramai lontaran perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode bagi Presiden Jokowi pada Silaturahmi Nasional (Silatnas) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi di panggung belakang politik kepala desa?
“Saya kebetulan adalah pengarah dari pelaksanaan Silatnas. Silatnas itu kami persiapkan sudah lama. Dan itu adalah kegiatan tahunan sesungguhnya karena (pada tahun) 2019 dilakukan. (Tahun) 2020, 2021 tidak dilakukan karena Covid-19,” kata Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Apdesi di bawah pimpinan Surta Wijaya, Muhammad Asri Anas dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk “Siapa di Balik Ulah Kepala Desa” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (6/4/2022) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu diikuti sejumlah narasumber lainnya, yakni Arifin Abdul Majid selaku pimpinan Apdesi dari kubu berbeda, pengamat hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, dan pengamat politik Mochtar Pabottingi. Diskusi juga diikuti Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi.
Baca juga: Moeldoko: Presiden Sudah Tegas, Jangan Jadi Bahan Gorengan
Asri menuturkan silatnas adalah bagian program Apdesi dalam rangka mengakumulasi suara dari Sabang sampai Merauke yang terdiri 74.961 desa. Waktu itu sebenarnya ada 12 tuntutan atau harapan yang disampaikan ke Presiden Jokowi. Dari seluruh masukan itu ada enam poin yang disepakati oleh Presiden Jokowi. Enam poin itu dirasakan oleh pemerintahan desa selama ini.
Asri menuturkan silatnas adalah bagian program Apdesi dalam rangka mengakumulasi suara dari Sabang sampai Merauke yang terdiri 74.961 desa.
Menurut Asri bukan domainnya untuk menanggapi pernyataan Presiden agar para menteri tidak berkomentar soal penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Domain Apdesi adalah memperjuangkan agar UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berjalan dengan baik.
“Dan, siapa yang bisa menggolkan apresiasi, permintaan, kemudian permohonan, (dan) tuntutan dari kepala desa? Ya Presiden. Kalaupun kemudian, riak-riaknya ada, misalnya (lontaran) tiga periode di acara silatnas, mana ada Apdesi mengeluarkan pernyataan mendukung presiden tiga periode? Kan, tidak ada,” kata Asri.
Deklarasi 3 periode
Terkait kabar akan adanya deklarasi setelah Lebaran, Asri menuturkan bahwa deklarasi tiga periode itu tidak ada. “Jadi gini, pascalebaran akan ada rapim (rapat pimpinan). Rapim ini akan membahas usulan-usulan karena di internal itu ada yang menyatakan melanjutkan, ada yang menyatakan tiga periode. Tahu enggak kenapa ada istilah tiga periode? Kepala desa itu logikanya lurus aja. Kami ini kepala desa tiga periode, kok presiden enggak bisa tiga periode?,” ujarnya.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait acara setelah Lebaran tersebut – yakni apakah dukungan tiga periode untuk Presiden Jokowi akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal atau bagaimana – Asri menuturkan pihaknya akan melihat perkembangan. “(Hal) yang pasti, gini, akan ada rapim. Rapat pimpinan nasional. Ada rakorda nanti akan meminta masukan. Diminta masukan-masukan dari DPD dan DPC. Kalau Apdesi ini, kan, sudah ada di 33 provinsi. Dan kami sudah (ada di) hampir 400 kabupaten/kota dari total 461 (kabupaten/kota di Indonesia),” katanya.
Baca juga: Aroma Rekayasa Silaturahmi Kepala Desa untuk Presiden Jokowi Tiga Periode
Menurut Asri, secara organisasi, dinamika para kepala desa kemarin agak menarik. “Siapa sih yang tidak butuh kepala desa? Semua orang tahu. Orang mau jadi bupati saja datang ke kepala desa. Orang mau jadi gubernur datang ke kepala desa. Dan politisi-politisi yang ada di Senayan itu, anggota DPR, datang ke kepala desa. Termasuk partai politik,” katanya.
Asri menuturkan tugas Apdesi adalah menjaga agar kepala desa sesuai dengan Undang-undang Desa. UU No 6/2014 menyebutkan kepala desa tidak boleh berpartai politik. “(Kepala desa) bisa berpolitik karena kepala desa melalui proses politik. Mereka itu (melalui proses) pemilihan. Itu adalah tahapan politik, ada panitianya, ada proses politiknya. Yang tidak boleh menurut undang-undang, ini pandangan kami, adalah ikut menjadi anggota partai politik,” katanya.
Kepala desa, menurut UU Pemilu, juga dilarang ikut mengampanyekan salah satu calon ketika sudah masuk tahapan. “Jadi ruang-ruang apresiasi, misalnya ke presiden, itu dalam pandangan kami wajar-wajar saja,” kata Asri.
Ditanya sikap Apdesi kalau Presiden Jokowi mengatakan tidak usah ngomong soal penundaan atau tiga periode, Asri menuturkan siapa yang dapat melarang orang memberikan suara dan aspirasi. “Itu kan aspirasi. Menurut kami, kami tidak pada posisi untuk menanggapi, mendesak, kepada Presiden,” katanya.
Baca juga: Istana Tegaskan Tak Ada Anggaran untuk Isu Jokowi Tiga Periode
Sementara itu, sebagai pimpinan Apdesi dari kubu berbeda, Arifin menuturkan bahwa Apdesi itu independen. “Apdesi kami, jelas-jelas, kami memiliki sebuah integritas organisasi yang memberikan dukungan kepada kami melakukan sesuatu, action. Suatu pernyataan harus melalui sebuah musyawarah. Jadi, pada intinya, kami akan fatsun kepada pemerintah melalui presiden. Bapak Presiden itu taat konstitusi. Apdesi kami taat konstitusi. Itu pada intinya,” katanya.
Ditanya apakah artinya Apdesi yang dipimpinnya tidak akan ikut dalam deklarasi dukungan presiden tiga periode, Arifin mengatakan bahwa hal itu jelas tidak ada dalam program Apdesi. “Apdesi yang beranggotakan kepala desa dan perangkat desa, baik yang aktif maupun purnabakti, memiliki komitmen, integritas, terhadap organisasi dalam sebuah (wadah) independen yang selalu mengutamakan kepentingan kepala desa dan masyarakat desa,” kata Arifin.
Bivitri menyampaikan, perlu dibedakan antara hal yang sudah terjadi dengan pernyataan Presiden Jokowi yang baru saja melarang para menteri bicara penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan. Pernyataan yang disampaikan Presiden Jokowi juga harus dilihat dengan jeli, yakni bahwa pihak yang dilarang adalah para menteri.
Baca juga: Jubir Luhut: Luhut Patuh Arahan Presiden yang Minta Penundaan Pemilu Tak Lagi Disuarakan
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut tidak dapat menjangkau jauh sampai ke organisasi masyarakat atau organisasi lainnya yang tak berada langsung di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan. “Banyak hal yang barangkali tidak bisa kita bongkar malam ini, dalam forum ini, karena di balik layarnya itu saya kira banyak cerita yang sebenarnya sudah mulai terungkap,” kata Bivitri.
Menurut Bivitri hal yang perlu disoroti adalah cara-cara dulu, terutama saat Orde Baru, yang digunakan untuk menggalang kekuatan massa untuk menyatakan dukungan terhadap penguasa. Hal itu kini terulang kembali.
Orkestrasi
Menurut Bivitri hal yang perlu disoroti adalah cara-cara dulu, terutama saat Orde Baru, yang digunakan untuk menggalang kekuatan massa untuk menyatakan dukungan terhadap penguasa. Hal itu kini terulang kembali. “Saya cukup yakin semua pernyataan (terkait dukungan) ini tidak akan terjadi tanpa adanya orkestrasi. Di beberapa media massa sebenarnya sudah terungkap, pertemuan apa saja yang terjadi, dan lain sebagainya,” katanya.
Berorganisasi, Bivitri menuturkan, sebenarnya sudah berpolitik. Secara organisasi, terkait Apdesi, berpolitik seharusnya dijalankan untuk kepentingan desa atau nasib kepala desa. “(Dukungan soal tiga periode) ini sudah jauh melampaui itu. Kita harus cermati, tidak mungkin ada asap tanpa ada api,” katanya.
Lontaran perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode mesti dilihat dalam konteks lebih besar. “Kita harus melihat bahwa apa yang kemarin terjadi itu tidak berdiri sendiri. Jangan lupa bahwa sebelum ada pertemuan Apdesi, sudah ada beberapa pernyataan-pernyataan sikap dari beberapa kelompok,” katanya.
Bivitri juga menyoroti kegagalan dari dewan-dewan di Apdesi yang keanggotaannya juga dari menteri-menteri. “Kan sudah dijelaskan bahwa ternyata ada berbagai menteri di situ yang menurut saya perlu kita soroti. Bahwa, mereka juga telah gagal menjelaskan. Pertama, apa hubungannya antara pemerintahan desa dengan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan, yang sebenarnya agak jauh hubungannya. Kedua, kegagalan dalam menjelaskan bagaimana sesungguhnya konstitusi Republik Indonesia mengatur pembatasan kekuasaan,” katanya.
Baca juga: "Sejarah Terulang" dan Upaya agar Indonesia Tak Kembali ke Titik Nol Demokrasi...
Menurut Bivitri, lontaran soal tiga periode di acara Apdesi merupakan bagian dari puzzle besar bahwa ini bukan sesuatu yang semata-mata dapat dikatakan secara polos sebagai spontanitas. Melihat fakta bahwa begitu banyak dalam dewan pembina dan struktur lainnya ternyata duduk menteri-menteri dan orang-orang yang semestinya tahu bahwa konstitusi membatasi kekuasaan, menjadi terlalu naif apabila melihat hal itu sebagai fenomena yang berdiri sendiri dan spontan.
Bivitri mengatakan pula bahwa apa yang digelontorkan kepada desa adalah amanah dari sebuah UU dan bukan produk dari Presiden Jokowi sendiri. Menurut UUD 1945 pasal 20, UU adalah produk dari DPR dan pemerintah. UU Desa sudah dibuat agak lama dan harus dieksekusi oleh pemerintah.
“Kita harus mengingatkan para kepala desa yang menonton ini, misalnya, berhentilah bermimpi bahwa apa yang selama ini didapatkan, 7 tahun terakhir ini, adalah hadiah dari Pak Jokowi sehingga ia harus diteruskan. (Hal) Yang dilakukan Pak Jokowi sebagai kepala pemerintahan adalah melaksanakan Undang-undang Desa yang memang dibuat tidak seketika oleh satu orang saja,” kata Bivitri.
Bagi pemerintah, menurut Budi, pernyataan Presiden Jokowi yang melarang para menterinya bicara soal penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden merupakan bentuk sense of crisis (kepekaan terhadap krisis) terhadap kondisi yang ada di masyarakat. “Ibaratnya adalah ambeg paramarta (bersikap adil). Jadi, skala prioritas saat ini adalah bagaimana pemerintah fokus dalam mengamankan berbagai kebutuhan pokok masyarakat di tengah kenaikan harga-harga yang tinggi,” katanya.
Budi menuturkan jangan dipandang rendah upaya mengeksekusi UU No 6/2014. Komitmen Presiden Jokowi dalam mengeksekusi dan menjalankan UU Desa tersebut adalah bentuk keberpihakan.
Baca juga: Mendamba Birokrasi Peka Krisis...
Budi menuturkan jangan dipandang rendah upaya mengeksekusi UU No 6/2014. Komitmen Presiden Jokowi dalam mengeksekusi dan menjalankan UU Desa tersebut adalah bentuk keberpihakan. “Banyak sekali UU kita ada, tapi tidak dijalankan. Jadi, jangan dianggap komitmen Pak Jokowi terhadap pembangunan desa dan terukur betul setiap tahun kemajuan-kemajuannya, itu dianggap sebagai pekerjaan sederhana. Itu komitmen dari seorang pemimpin yang bernama Jokowi,” katanya.
Tugas kepala desa, Budi menuturkan, adalah mengeksekusi seluruh program prioritas nasional. Program tersebut adalah mengatasi kemiskinan ekstrem, tengkes, membangun ketahanan pangan, badan usaha milik desa, dan desa digital. “Jadi, bagaimana desa membangun Indonesia. Bukan Indonesia membangun desa,” katanya.
Terkait permintaan kepala desa soal tiga periode yang disebutkan sebagai aspirasi, pengamat politik Mochtar Pabottingi berpandangan bahwa aspirasi pun sejatinya harus cerdas politik. “Aspirasi harus cerdas politik. Aspirasi, itu apakah merusak konstitusi atau tidak? Tidak boleh kita menggunakan konstitusi untuk merusak konstitusionalisme. Tidak boleh kita menggunakan konstitusi untuk merampas kedaulatan rakyat,” kata Mochtar.
Ketika ditanya apakah ada yang bermain dalam aspirasi soal tiga periode tersebut, Mochtar memperkirakan banyak yang bermain. “Saya kira banyak yang bermain. Ya, orang-orang, menteri-menteri Presiden sendiri juga. Menurut saya, gitu,” katanya.
Mochtar berpendapat hal yang mesti menjadi sentral adalah mengurusi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. “Tidak ada bagusnya sama sekali menunda pemilu. (Penundaan pemilu) Ini suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kita tidak hanya mementingkan kepala desa, tetapi mementingkan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Mochtar pun mewanti-wanti ada risiko yang membahayakan ketika isu penundaan pemilu terus berlanjut. “Pemilu reguler adalah momen kedaulatan rakyat. Meniadakan regularitas itu tiada bedanya dengan merampas kedaulatan itu (rakyat). Jadi ini pasti tidak akan diterima oleh puluhan juta, mungkin lebih barangkali, bisa seratusan juta orang Indonesia, yang menginginkan pembatasan kekuasaan dan pergiliran pemerintahan,” ujarnya.
Pemilu reguler adalah momen kedaulatan rakyat. Meniadakan regularitas itu tiada bedanya dengan merampas kedaulatan rakyat.
Menurut Mochtar pemilu merupakan hal yang esensial dalam demokrasi. Penundaan pemilu merampas kedaulatan rakyat. “Esensi dari konstitusionalitas adalah kedaulatan rakyat. Begitu (pemilu) itu ditunda, apalagi kalau sampai tiga tahun, itu sungguh-sungguh perampasan hak kedaulatan rakyat yang luar biasa. Akan terjadi bahaya, yang terjadi bisa suatu ledakan konfrontasi horizontal dan vertikal yang mengerikan,” katanya.
Baca juga: Pesan Tak Bersayap dari Presiden Bisa Akhiri Wacana Jokowi Tiga Periode
Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar para menteri tidak berbicara soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan dinilai Mochtar tidak cukup. “Tidak cukup. (Hal) Yang saya harapkan dari presiden adalah mengemukakan betapa berbahayanya bicara mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden) tiga periode. Sudah saya katakan beberapa waktu lalu bahwa ini bisa merupakan jalan tol menuju negara gagal,” kata Mochtar.