Baleg DPR merencanakan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan langsung digelar di akhir pekan ini. Pemerintah dan DPR diingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi menuntut perbaikan UU Cipta Kerja, bukan UU PPP.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
NIKOLAUS HARBOWO
Suasana rapat Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/4/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebelum masa persidangan DPR saat ini berakhir, 14 April 2022. Rapat pembahasan revisi bahkan dimintakan agar dapat dilakukan segera pada akhir pekan ini.
Namun, pemerintah dan DPR diingatkan agar tidak hanya fokus pada perbaikan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bukan soal UU PPP, melainkan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Jangan sampai perbaikan UU PPP hanya menjadi sarana legitimasi atau pembenaran terhadap kekeliruan yang dilakukan oleh pembentuk UU dalam menyusun dan membahas UU Cipta Kerja.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya akan meminta izin pimpinan DPR agar pembahasan revisi UU PPP dapat dilakukan pada Jumat (8/4/2022) dan Sabtu (9/4/2022), bahkan Minggu (10/4/2022). Percepatan pembahasan itu dinilai dapat dilakukan karena tidak banyak ketentuan atau poin pembahasan dalam revisi UU PPP. Pada dasarnya pemerintah dan DPR sepakat untuk mengatur mengenai metode omnibus law sebagai metode penyusunan UU dalam revisi UU PPP tersebut.
”Kami akan minta izin sidang Jumat, Sabtu, dan kemungkinan Minggu. Sebab, kami kejar RUU ini agar segera diselesaikan. Dan tidak ada persoalan yang terlalu mendasar terkait dengan perdebatan-perdebatan yang mungkin akan terjadi dalam pembahasan RUU ini,” kata politikus Partai Gerindra ini saat memimpin rapat kerja membahas revisi UU PPP dengan pemerintah, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Di dalam raker itu, pemerintah antara lain diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Keamanan Yasonna H Laoly.
Baleg saat ini juga sedang menyusun anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PPP. Setiap ketua kelompok fraksi diminta menyerahkan nama-nama anggota panja tersebut secepatnya. Bahkan, nama-nama diminta telah sampai di meja pimpinan, Jumat, sehingga Sabtu dapat dimulai rapat panja. Pemerintah pun telah menyerahkan nama-nama anggota panja kepada DPR.
”Mudah-mudahan kalau memungkinkan sebelum masa sidang ini ditutup, kita upayakan dapat dituntaskan. Karena itu, saya meminta kesediaan teman-teman dari fraksi masing-maisng untuk sesegera mungkin menyerahkan nama anggota panja. Jadwalnya nanti tentatif, tergantung kapan nama-nama anggota panja itu diserahkan oleh fraksi-fraksi,” katanya.
Baleg memperkirakan ada sekitar 80 poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah yang akan dibahas dalam rapat panja. Sebab, dari 362 poin DIM yang diajukan oleh pemerintah, sebanyak 210 poin DIM merupakan DIM tetap yang disetujui oleh pemerintah sehingga tinggal ditetapkan. Selain itu, 24 poin DIM berisikan perubahan substansi, 17 DIM substansi baru, 47 DIM diusulkan untuk dihapus, dan 64 DIM perubahan redaksional.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Anggota Badan Legislasi DPR saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
”Dari 362 DIM pemerintah, 210 DIM merupakan DIM tetap. Ada 64 DIM terkait perubahan redaksional yang akan kita serahkan kepada tim perumusan (timus). Sehingga yang akan kita bahas ialah 17 DIM baru, 47 DIM yang diusulkan untuk dihapus, dan 24 DIM perubahan substansi. Sekitar 80 DIM yang akan kita perdebatkan di dalam pembahasan,” tutur Supratman.
Melihat jumlah DIM yang tidak terlalu banyak, Supratman meyakini pembahasan bisa dipercepat hingga sebelum penutupan masa sidang.
15 ketentuan
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya, yang mewakili DPR dalam menyampaikan penjelasan atas RUU PPP kepada pemerintah, mengatakan, ada perubahan terhadap 15 ketentuan di dalam batang tubuh UU PPP. Perubahan itu meliputi sejumlah ketentuan, antara lain masuknya definisi metode omnibus law ke dalam UU, perencanaan pembentukan UU dengan metode omnibus law, perbaikan UU dengan metode omnibus law, serta perbaikan teknis terhadap RUU yang telah diserahkan kepada presiden ataupun yang belum diserahkan kepada presiden.
Sebelumnya, dalam pembahasan draf RUU PPP, Baleg menyepakati agar definisi omnibus law diatur di dalam UU sehingga dapat menjadi landasan bagi pembentukan UU dengan metode tersebut. Di dalam putusan MK mengenai cacat formil UU No 11/2022 tentang Cipta Kerja, MK antara lain memberikan catatan tentang metode penyusunan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan di dalam UU PPP.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terkait gugatan uji materi UU Cipta Kerja nomor perkara 91 dan perkara 95 secara virtual, Kamis (12/11/2020).
Selain itu, RUU PPP juga mengatur dibolehkannya perbaikan teknis dan redaksional dilakukan terhadap draf RUU yang telah disepakati bersama antara DPR dan pemerintah. Perbaikan itu dapat dilakukan oleh DPR dan kementerian yang terkait dalam pembahasan.
Ketentuan perbaikan teknis ini sebelumnya tidak diatur di dalam UU PPP. Seusai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, 2021, publik menyoal terjadinya perubahan tanda baca, serta penghapusan sejumlah redaksional pasal yang dianggap keliru di dalam UU Cipta Kerja. Menurut ketentuannya, ketika RUU telah disahkan menjadi UU, tidak boleh ada perubahan apa pun terhadap UU tersebut karena tidak ada aturan mengenai hal itu di dalam UU PPP.
Terhadap sejumlah poin perubahan UU PPP, pemerintah sebagian besar dapat menerima. Hanya saja, ada sejumlah catatan perbaikan redaksional dan penempatan pasal yang diungkapkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
”Batasan pengertian definisi metode omnibus law yang dimuat di Pasal 1 Angka 2A, pemerintah dapat menerima. Tetapi, pemerintah meminta untuk dapat dipindahkan ketentuan itu ke Pasal 64 Ayat 1 B dengan pertimbangan metode omnibus law tidak perlu dicantumkan dalam ketentuan umum, untuk menampung kebutuhan hukum ke depan yang lebih lentur atau fleksibel,” kata Airlangga.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pemerintah juga meminta agar pembahasan revisi UU PPP itu dapat dilakukan secepat mungkin agar putusan MK mengenai UU Cipta Kerja dapat segera ditindaklanjuti. Menurut Airlangga, di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, dan isu global yang dipicu oleh konflik Rusia dengan Ukraina, membuat pemulihan ekonomi menjadi semakin penuh tantangan.
”Oleh karena itu, terobosan diperlukan untuk mendorong investasi, menciptakan lapangan kerja, antara lain dengan melakukan perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan perbaikan UU Cipta Kerja,” ucapnya.
Sebanyak 210 DIM tetap yang diajukan pemerintah, menurut Airlangga, dapat segera disetujui. Demikian pula dengan poin-poin DIM lainnya yang perlu pembahasan agar dapat dilakukan segera. Sebab, perbaikan UU PPP akan menjadi dasar dalam penyelesaian perbaikan UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja
Pengajar hukum tata negara (HTN) Universitas Andalas, Charles Simabura, mengingatkan, putusan MK pada dasarnya menginginkan agar dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja. UU tersebut dinilai tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana diatur di dalam UU PPP. Oleh karena itu, seharusnya fokus perbaikan dilakukan kepada UU Cipta Kerja, bukan UU PPP.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, Senin (24/2/2020).
”Yang dinyatakan cacat formil oleh MK adalah UU Cipta Kerja, bukan UU PPP. Tetapi, kenapa ini yang diperbaiki adalah UU PPP. Kesannya, perbaikan UU PPP ini hanya untuk melegitimasi atau membenarkan proses pembuatan UU Cipta Kerja yang dinyatakan keliru karena tidak sesuai dengan UU sebelum perbaikan. Jadi, seolah UU PPP direvisi agar sesuai dengan proses penyusunan UU Cipta Kerja,” kata Charles.
Logika tersebut, lanjut Charles, tidak tepat. Sebab, sekalipun mahkamah menyoal tentang tidak adanya metode omnibus law yang dipakai dalam menyusun UU Cipta Kerja itu di dalam UU PPP yang ada, bukan berarti UU PPP harus diubah agar sesuai dengan proses yang keliru tersebut. Kalaupun perbaikan UU PPP itu dirasa perlu dilakukan, itu adalah sebagian kecil saja dari pemahaman atas pertimbangan MK.
Namun, hal yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah dan DPR seharusnya ialah memperbaiki UU Cipta Kerja. Perbaikan itu dilakukan dengan memastikan pembahasan UU Cipta Kerja mengikuti asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
”Perbaikan UU PPP ini tidak akan serta-merta menjadikan UU Cipta Kerja konstitusional. Sebab, ada asas-asas penyusunan UU yang belum dipenuhi oleh pembuat UU dalam membahas UU Cipta Kerja. Penyusunan UU Cipta Kerja bukan saja tidak memedomani UU PPP, tetapi juga tidak sesuai dengan konstitusi,” katanya.