Agar Presiden Tak Terpenjara Kinerja Kabinet
Presiden Joko Widodo kembali menegur jajaran kabinetnya. Namun, publik menunggu apa yang akan dilakukan setelah teguran yang kesekian kalinya ini. Tanpa langkah lanjutan justru bisa berimbas buruk kepada Presiden.
Suasana Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/4/2022), yang dipimpin Presiden Joko Widodo terasa tegang. Untuk kesekian kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Presiden kembali mengungkapkan kegeramannya atas kinerja para menteri Kabinet Indonesia Maju. Kali ini, Presiden menilai menterinya tidak sensitif terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat akibat kenaikan inflasi, energi, dan harga beragam bahan pokok.
”Kalau kerja enggak detail, kerja enggak betul-betul, dilihat betul, dan kita ini semuanya enggak ada statement, hati-hati, dianggap kita enggak ngapa-ngapain, enggak kerja atau mungkin enggak ngapa-ngapain, enggak kerja. Sekali lagi, merumuskan kebijakan yang tepat melakukan langkah-langkah dan kepemimpinan yang cepat di lapangan dan memberikan sekali lagi pernyataan yang sangat berempati kepada rakyat,” ujar Presiden.
Presiden, misalnya, mempertanyakan harga minyak goreng yang sudah empat bulan naik dan sama sekali tidak ada penjelasan dari menteri terkait. ”Kenapa ini terjadi? Yang kedua, pertamax, menteri juga tidak memberikan penjelasan apa-apa mengenai ini. Hati-hati! Kenapa pertamax? Diceritain dong kepada rakyat, ada empati kita,” kata Presiden.
Presiden meminta seluruh kebijakan yang diambil berlandaskan sense of crisis yang tinggi. Para menteri harus memiliki kepekaan terhadap kesulitan rakyat. Apalagi, masyarakat telah merasakan dampak kenaikan inflasi, energi, dan harga bahan pangan sebagai imbas situasi ekonomi dunia yang tengah bergejolak.
Baca juga: Jubir Luhut: Luhut Patuh Arahan Presiden yang Minta Penundaan Pemilu Tak Lagi Disuarakan
”Terutama betul-betul saya minta ini yang berkaitan dengan kebutuhan pokok dirumuskan. Betul tidak hanya urusan minyak goreng tetapi dilihat satu per satu urusan beras seperti apa? Urusan kedelai seperti apa? Urusan gandum nanti akan seperti apa?” ucap Presiden Jokowi.
Urusan minyak goreng memang tak berkesudahan. Pada akhir 2021, harga mulai naik. Awal 2022, pemerintah sempat menetapkan harga eceran terendah tetapi minyak goreng langka di pasaran. Setelah harga minyak goreng kemasan sederhana dilepas di pasaran, harga langsung meroket menjadi dua kali lipat.
Harga bahan bakar minyak juga mulai naik. Harga pertamax, misalnya, naik per 1 April. Inflasi tak terelakkan jika semua harga-harga terus meningkat. Sementara, masyarakat tengah menjalani bulan Ramadhan dan merayakan Lebaran.
Rakyat sudah menjerit atas kenaikan harga-harga itu. Salah satunya seperti disampaikan Soni, penjual buah keliling di Kota Bogor. Ia mengeluhkan uang Rp 50.000 hanya bisa membeli dua liter minyak goreng. Sementara itu, penjualan buah tak selalu bisa mendapatkan untung Rp 50.000 setiap harinya.
”(Negara) Kita ini kan penghasil sawit terbesar ya, masak minyak goreng aja mahal,” keluh Soni.
Baca juga: Harga Minyak Serba Naik, Hidup Semakin Pelik
Komunikasi publik
Kembali ke teguran Presiden pada para menterinya terkait lemahnya komunikasi publik, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga melihat hal yang sama. Ia bahkan menyebut komunikasi publik yang diterapkan selama ini, dilakukan secara amatir.
Sebagai contoh, berulang kali Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan adanya mafia minyak goreng. Namun, tidak ada mafia minyak goreng yang diungkap. Akibatnya, publik melihat pemerintah tidak serius dengan tata kelola minyak goreng.
”Saya lihat ada banyak menteri yang tidak satu suara dan bahkan cenderung saling kontradiktif,” kata Bhima.
Dalam konteks BBM dan minyak goreng, akhirnya yang disalahkan adalah kondisi eksternal. Seolah-seolah pemerintah tidak dapat melakukan sesuatu dan masyarakat dipaksa menerima naiknya harga kedua komoditas itu.
”Jadi, tone-nya sama, (antara yang disampaikan terkait) energi dan pangan; bahwa terjadi perang di Ukraina, harga keekonomian meningkat tajam, kemudian juga terkait dengan masalah kita bergantung pada patokan harga internasional. Nah, ini terus diulang sehingga publik juga jadi jenuh,” katanya.
Padahal, kenaikan harga minyak goreng pernah terjadi pada 2011, tapi tidak berlarut terlalu lama. Harga CPO (minyak sawit mentah) sebagai bahan baku minyak goreng bukan satu-satunya penentu harga minyak goreng.
Komunikasi publik yang buruk dalam beberapa hal tersebut, lanjut Bhima, menjadikan narasi yang diucapkan pejabat publik cenderung tidak meyakinkan. Narasi yang tujuannya agar masyarakat tidak panik malah membuat masyarakat panik, misalnya memborong minyak goreng.
Tudingan bahwa kelangkaan minyak goreng disebabkan penimbunan masyarakat juga merupakan pendekatan yang tidak empatik. Terkesan masyarakat disalahkan, sebaliknya pengawasan pemerintah yang lemah atau permainan distributor tidak diatasi. Kondisi seperti ini memunculkan antipati.
Demikian pula ketika di satu sisi disampaikan sinyal bahwa pertalite dan elpiji tiga kilogram akan naik, tetapi di sisi lain juga ada bantahan mengenai hal tersebut.
Oleh karena itu perlu ada evaluasi komunikasi publik. Informasi yang disampaikan kepada publik pun harus sinkron. ”Sekretariat Kabinet bisa menyinkronkan informasi terkait kebijakan antarkementerian sehingga tidak saling kontradiksi, membingungkan masyarakat, dan seakan tidak solutif serta tidak empatik,” ujar Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan, komunikasi publik yang lemah akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap kapasitas dan kemampuan pemerintah mengelola perekonomian. Hal ini mestinya dihindari.
“(Hal ini) Kalau distrust terjadi, kejadian atau efek ikutannya bisa macam-macam. Salah satunya seperti di kasus minyak goreng kemarin adalah panic buying yang terjadi di mana-mana karena ketakutan akan kelangkaan bahan kebutuhan harian dan ketakutan harga akan terus meningkat sehingga mereka khawatir makin tidak mampu menjangkaunya,” tuturnya.
Kondisi tersebut menunjukkan arti penting pemerintah memberikan penjelasan alasan dan besaran kenaikan harga. Hal ini sekaligus memberikan kepastian dan jaminan bahwa stok masih tersedia dan ada langkah-langkah yang dilakukan pemerintah.
”Misalnya akan ada pengaduan, (masyarakat diarahkan) ke mana. Dan, pemerintah juga menyiapkan skema-skema bantuan entah BLT dan lain-lain yang bisa didapatkan di mana, caranya bagaimana, seperti apa, dan kapan,” katanya.
Faisal mengatakan hal-hal itu merupakan bagian dari kemampuan komunikasi pemerintah terhadap masyarakat dalam menghadapi kondisi tekanan ekonomi atau tekanan harga seperti sekarang. Setidaknya masyarakat akan lebih terbuka pemahamannya, walaupun pasti ada juga yang tidak dapat menerima kenaikan harga. Efek-efek psikologis yang tidak diinginkan pun dapat dihindari dengan adanya komunikasi yang baik.
Sanksi
Tak cukup sebatas mengevaluasi komunikasi publik, pengajar ilmu kebijakan publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menekankan pentingnya teguran Presiden disertai langkah lain yang bisa membuat menteri memperbaiki kinerjanya. Langkah lain ini seperti ancaman sanksi. Tanpa hal itu, menteri bisa saja menganggap angin lalu teguran Presiden.
Selain itu, jika hanya sebatas teguran, menurut Gitadi, bisa membuat sebagian publik berspekulasi bahwa ekspresi kemarahan dan teguran Presiden sebatas untuk pencitraan atau membangun citra seolah-olah Presiden berempati pada kesulitan publik.
Pengajar ilmu komunikasi Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menyepakati perlunya sanksi. Sanksi itu bisa dalam bentuk mengganti menteri yang kinerjanya buruk. ”Reshuffle adalah salah satu jalan terbaik. Sebab, setelah Presiden marah-marah, saya yakin ada keinginan di antara anggota kabinet untuk autopilot demi menyelamatkan jabatan masing-masing. Kalau demikian, bahaya negara ini,” tuturnya.
Penting bagi Presiden mencari sosok-sosok menteri yang baru yang bisa bekerja secara penuh, loyal, dan tidak memiliki agenda sendiri seperti menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan.
Baca juga: Moeldoko: Presiden Sudah Tegas, Jangan Jadi Bahan Gorengan
Bukan pertama
Ekspresi kemarahan Presiden dan teguran pada para menterinya bukan hanya terlihat saat sidang kabinet, Selasa. Akhir Maret lalu, Presiden juga menyampaikan kegeramannya pada sejumlah menteri yang lebih banyak menggunakan APBN untuk berbelanja produk luar negeri daripada produk dalam negeri.
Empat nama menteri bahkan disebut langsung dalam pidatonya di hadapan kepala daerah, direktur utama BUMN, dan para menteri di acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.
Presiden bahkan mengancam reshuffle kepada para menteri yang tak mengutamakan penggunaan produk dalam negeri dalam belanja modal kementeriannya. ”Itu bagian saya. Reshuffle,” ujarnya.
Baca juga: Murka Presiden Jokowi di Tengah Isu Pergantian Menteri
Berulangnya teguran tanpa sanksi ini, menurut Gitadi, juga menunjukkan kepemimpinan yang tidak efektif. Dalam sistem presidensiil, para menteri yang dimarahi adalah bagian dari Presiden sendiri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari juga melihat hal tersebut. Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 dan Undang-Undang Kementerian Negara, para menteri adalah pembantu Presiden. ”Seluruh kerja menteri berbasis pada perintah Presiden, nah kalau Presiden menyatakan menteri tidak peka berarti Presidennya juga tidak peka,” ujar Feri.
Senada dengan Gitadi dan Hendri, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya pun menilai perlu langkah lanjutan setelah teguran berulang dari Presiden.
”Kata kunci kalau Presiden mengeluh terus-menerus tanpa melakukan reshuffle, tanpa perombakan kabinet, lama-lama publik akan melihat titik lemahnya ada di Presiden, akan berakibat buruk pada image Presiden sendiri. Jadi, harus ada hal konkret yang dilakukan Jokowi,” katanya.
Jika tidak dengan reshuffle, langkah lanjutan konkret yang bisa dilakukan adalah mempublikasikan target kinerja menteri berikut capaiannya, sehingga kinerjanya bisa diketahui publik. Dengan demikian, biarkan publik yang ”menghukum” menteri-menteri yang kinerjanya tidak baik.
”Kalau orang memimpin mengeluh berkali-kali kan berarti ada yang salah di pemerintahannya dan anak buahnya. Jika mengeluh dan tak melakukan perombakan malah terlihat seperti terpenjara oleh kabinetnya,” ujarnya.
Jadi, tanpa langkah lanjutan yang konkret, jangan salahkan jika persepsi masyarakat akan menangkap bahwa teguran Presiden tersebut hanya sebatas untuk memenuhi pencitraannya. Bukan agar kinerja pemerintahan Jokowi-Wapres Ma'ruf Amin lebih baik di sisa sekitar 2,5 tahun masa pemerintahannya.