Persiapkan Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi di Masa Sidang Selanjutnya
Selama tidak ada pembahasan RUU PDP di masa sidang kali ini semestinya waktu bisa digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk menyiapkan materi-materi pembahasan yang masih mengganjal sehingga ada titik temu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berharap pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP segera dilanjutkan di masa sidang selanjutnya. Kekosongan pembahasan di masa sidang kali ini mestinya dimanfaatkan pemerintah untuk menyiapkan materi pembahasan terkait lembaga pengawas agar segera menemukan titik temu jika berkomitmen tetap ingin menuntaskan pembahasan RUU PDP.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, RUU PDP yang masih masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2022 tetap bisa dibahas pada masa sidang selanjutnya. Sebab, masih ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan RUU tersebut.
”Sepanjang belum di-drop dari Prolegnas Prioritas 2022, RUU PDP masih bisa dibuka proses pembahasannya,” ujarnya, Jumat (1/4/2022).
Adapun pembahasan RUU PDP di DPR tidak dilanjutkan di masa persidangan saat ini, yaitu masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022. Komisi I DPR masih menunggu kesiapan pemerintah untuk membahas pasal-pasal krusial dalam RUU tersebut, di antaranya lembaga otoritas pengawas perlindungan data pribadi.
Jika pemerintah betul-betul berkomitmen menyelesaikan RUU PDP, menurut dia, mestinya bisa mengambil sikap untuk menyiapkan materi pembahasan dengan otoritas lembaga pengawas PDP yang kuat, yakni lembaga yang independen.
Sejauh ini, DPR menginginkan agar otoritas perlindungan data pribadi itu berdiri sebagai lembaga independen karena kebocoran data pribadi terjadi di institusi swasta ataupun pemerintah. Sebaliknya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menginginkan lembaga otoritas tersebut berada di bawah Kominfo.
Selama tidak ada pembahasan di masa sidang kali ini, lanjut Wahyudi, semestinya waktu bisa digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk menyiapkan materi-materi pembahasan yang masih mengganjal sehingga ada titik temu. Pemerintah, khususnya, mesti menyiapkan materi tentang otoritas lembaga pengawas PDP untuk dijadikan rujukan dalam pembahasan selanjutnya. Dengan demikian, pembahasan bisa dilakukan lebih cepat saat dilakukan di masa sidang mendatang. Adapun masa sidang V tahun sidang 2021-2022 dimulai pada 17 Mei.
Jika pemerintah betul-betul berkomitmen menyelesaikan RUU PDP, menurut dia, mestinya bisa mengambil sikap untuk menyiapkan materi pembahasan dengan otoritas lembaga pengawas PDP yang kuat, yakni lembaga yang independen. Presiden perlu berkomunikasi dengan Pimpinan DPR untuk mempercepat pembahasan dengan menegaskan sikap terhadap otoritas lembaga pengawas yang selama pembahasan di beberapa masa sidang belum menemukan titik temu.
”Menkominfo sebagai utusan Presiden harus mengikuti perintah dari Presiden terkait sikap dalam menentukan otoritas lembaga pengawas PDP agar tidak terus-terusan mengusulkan keinginan Kominfo dengan keinginan mayoritas fraksi di DPR,” kta Wahyudi.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pihaknya berharap pembahasan RUU PDP yang tidak dilakukan di masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022 dapat segera dilanjutkan di masa persidangan selanjutnya. Diskusi mengenai substansi RUU PDP sesuai daftar inventarisasi masalah agar dilakukan dalam forum formal rapat Panitia Kerja RUU PDP antara pemerintah dan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembahasan secara formal di rapat panja harus dilakukan agar dapat mencapai kesepakatan, bukan perdebatan di media yang bisa membingungkan masyarakat. ”Kementerian Kominfo berharap rapat panja dapat segera dilanjutkan kembali agar RUU PDP dapat segera disahkan menjadi UU PDP sebagai payung hukum perlindungan data pribadi yang lebih komprehensif,” ujarnya.
Di samping berusaha menuntaskan pembahasan RUU PDP, lanjut Johnny, Kominfo juga terus berupaya untuk menjaga kepentingan kedaulatan, kepentingan negara, serta kepentingan pemenuhan hak-hak masyarakat melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Setidaknya terdapat 48 peraturan perundang-undangan di sejumlah sektor yang mengatur data pribadi, seperti sektor kesehatan, perdagangan, perbankan, dan kependudukan.
Kementerian Kominfo berharap rapat panja dapat segera dilanjutkan kembali agar RUU PDP dapat segera disahkan menjadi UU PDP sebagai payung hukum perlindungan data pribadi yang lebih komprehensif.
Di sektor kesehatan, ketentuan data pribadi diatur oleh Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sementara di sektor perdagangan, ketentuan pelindungan data pribadi transaksi e-dagang diatur dalam Pasal 58 dan 59 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Johnny menuturkan, saat ini, perlindungan data pribadi serta amanat pengawasannya secara umum diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta peraturan perubahannya serta peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
”Regulasi yang ada mewajibkan penyelenggara sistem elektronik, baik publik maupun privat, untuk mematuhi prinsip pelindungan data pribadi dalam penyelenggaraan sistem elektroniknya,” katanya.
Dari sejumlah regulasi yang ada, lanjutnya, sepanjang awal 2022 hingga Maret 2022, Kominfo telah melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran PDP sebanyak 51 kasus. Adapun 10 kasus yang melibatkan penyelenggara sistem elektronik di antaranya telah dikenai sanksi sesuai peraturan perundangan. Penyelenggara sistem elektronik lain yang diperiksa diberikan rekomendasi pembenahan tata kelola data pribadi dalam sistem elektronik yang diselenggarakannya.
”Isu arus data berkaitan erat dengan kedaulatan data dan kedaulatan digital sehingga perlu dikawal. Pelindungan data pun harus ditangani secara hati-hati dan benar karena sifatnya adalah lintas batas,” ujar Johnny.
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi menilai, RUU PDP merupakan salah satu produk legislasi yang populis. Oleh karena itu, biasanya parpol terus mendorong agar RUU PDP bisa segera disahkan karena bisa berdampak pada citra parpol kepada publik. Parpol yang mempunyai kader di DPR dan pemerintahan mestinya bisa menyinkronkan suara agar tidak ada kadernya yang justru menghambat pembahasan RUU ini.
”RUU PDP sangat populis, terutama bagi generasi muda yang literasi digitalnya cukup tinggi dan peduli terhadap privasi serta data pribadi,” katanya.