Masyarakat Sipil dan Tantangan Berat Konsolidasi Demokrasi
Masyarakat sipil didera banyak tantangan untuk mengonsolidasikan diri untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memperjuangkan aspirasi publik. Padahal, masyarakat sipil berperan penting menjaga kualitas demokrasi.
Masyarakat sipil berperan besar menjaga kesehatan dan kualitas demokrasi. Namun, dalam perjalanan konsolidasi demokrasi sejak tahun 1998, masyarakat sipil juga menghadapi tantangan tidak mudah, mulai dari akses pendanaan, kolaborasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan, hingga ruang kebebasan sipil yang menyempit.
Dalam forum Indonesia Civil Society Forum (ICSF) 2022 yang digelar oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Rabu-Kamis (30-31/4/2022), terungkap banyak persoalan terkini yang dihadapi masyarakat sipil. Masyarakat sipil didera banyak tantangan untuk mengonsolidasikan diri untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memperjuangkan aspirasi publik.
Akbarudin Arif dari Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip) Solo, misalnya, mengatakan, walaupun demokrasi sudah berjalan hampir 24 tahun sejak reformasi 1998, tetapi masih ada kesan relasi antara masyarakat sipil, swasta, dan pemerintah yang tidak setara. Pola relasi yang tidak setara itu akhirnya menjadi penghambat ketiganya untuk berkolaborasi dan bekerja bersama.
Masyarakat sipil didera banyak tantangan untuk mengonsolidasikan diri untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memperjuangkan aspirasi publik.
Kompip Solo adalah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga untuk menyusun musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) agar sesuai aspirasi mereka. Menurut Akbarudin, sejauh ini, untuk menyetarakan relasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, organisasi masyarakat sipil (OMS) terus mencari terobosan. OMS juga memberi edukasi kepada pemangku kepentingan terkait pentingnya kolaborasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
”Memang OMS harus terus merapatkan barisan, mengubah rencana strategik bersama agar kolaborasi untuk memperbaiki demokrasi ini bisa berjalan secara berkelanjutan. Batasan-batasan yang menghambat harus diatasi bersama,” kata Akbarudin.
Baca juga: Ujian Demokrasi Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Bersinergi
Salah satu cara yang dilakukan Kompip Solo adalah membuat laboratorium di kelurahan sebagai eksperimen bersama antara pemerintah dan jaringan rakyat di akar rumput. Di dua kelurahan itu akses masyarakat terhadap program pemerintah daerah masih minim. Tugas dari OMS adalah membuka dan menghubungkan akses kepada masyarakat akar rumput tersebut. Dengan kegigihan dan keuletan bekerja, akhirnya program dari pemerintah lebih bisa lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Direktur LinkLSM Anik Khamim Tohari menambahkan secara umum, peran masyarakat sipil dalam perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia terus meningkat. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana masyarakat sipil mengesampingkan ego sektoral, membuat konsorsium bersama untuk meningkatkan efektivitas advokasi.
Baca juga: Kritik Cenderung Tak Terdengar, Masyarakat Sipil Butuhkan Pendekatan Baru
Dari sisi pemerintah sendiri, sebenarnya juga sudah muncul payung hukum untuk membuka ruang dan mengakomodasi peran masyarakat sipil dalam pembangunan. Misalnya, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang memberikan ruang kepada organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk masuk sebagai penyedia barang dan jasa. Ini dinilai sebagai langkah maju untuk menjadikan OMS sebagai mitra setara bagi pemerintah.
”Pemerintah sebenarnya sudah sangat mendukung OMS dengan payung hukum itu. Sekarang OMS sendiri yang harus memperbaiki syarat-syarat administrasi agar payung hukum itu bisa diimplementasikan secara efektif di lapangan,” kata Anik.
Dari diskusi tersebut dihasilkan rekomendasi bahwa OMS harus memperkuat konsolidasi melalui gerakan yang intensif. OMS juga perlu memperluas jaringan dan konstituennya agar tercipta relasi yang adil dan setara dengan pemerintah dan swasta. Selain itu, OMS juga perlu beranjak dari zona nyaman dengan mengoptimalkan teknologi informasi untuk mempromosikan produk dan layanan.
Represi digital
Di sisi lain, dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-12 Maret 2022, terungkap bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat sipil adalah represi atau pembungkaman kebebasan berekspresi di dunia maya. Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto saat dihubungi mengatakan, isu yang sama juga menjadi perhatian dalam acara Indonesia Civil Society Forum (ICSF 2022).
Damar menuturkan, tantangan yang dihadapi oleh pembela HAM, terutama untuk mendorong pemajuan dan advokasi HAM, adalah represi di ranah digital. Dalam lima tahun terakhir, serangan digital terhadap pembela HAM di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan pantauan SAFEnet, misalnya, setidaknya terjadi 193 insiden serangan digital pada tahun 2021.
Jumlah ini meningkat 38 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada 2020 (147 insiden). Hal ini menandakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, masyarakat sipil saat ini menghadapi tingkat ancaman yang lebih kompleks dan semakin perlu mendapat perlindungan.
”Sejalan dengan Deklarasi Majelis Umum PBB tahun 1998 tentang Pembela Hak Asasi Manusia seharusnya pentingnya pekerjaan para pembela hak asasi manusia dilegitimasi. Kebutuhan mereka akan perlindungan yang lebih baik juga harus dipenuhi,” ujar Damar.
Menurut Damar, Resolusi Majelis Umum PBB baru-baru ini juga menyerukan kepada negara-negara untuk mengambil langkah yang tepat untuk mencegah segala bentuk kekerasan, intimidasi, ancaman, dan serangan terhadap pembela hak asasi manusia di internet. Pembela HAM termasuk perempuan pembela HAM perlu dilindungi dari ancaman pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Hak mereka dalam mengungkapkan kebebasan berekspresi pun harus dilindungi.
Oleh karena itu, menurut Damar, ke depan OMS juga perlu mendesak agar negara menjamin kerja-kerja pembela HAM dan para aktivis. Mereka perlu dilindungi agar tidak menjadi target dari aktivitas digital yang merepresi kerja mereka dalam memajukan kondisi HAM di Indonesia.
Resiliensi
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, pihaknya meyakini masyarakat sipil masih memiliki resiliensi di tengah situasi yang tidak mudah saat ini. Kalangan masyarakat sipil, termasuk jurnalis, memainkan peranan strategis dalam memandu jalannya demokratisasi.
Resiliensi itu masih ada sepanjang masyarakat sipil berkomunikasi atau bekerja sama lintas isu. Sebagai contohnya, LP3ES yang konsen di demokrasi, membangun komunikasi antarmasyarakat sipil lintas isu dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Misalnya, dengan masyarakat sipil yang memerjuangkan masyarakat adat, atau gerakan perlawanan terhadap kerusakan lingkungan, dan jenis gerakan lain. (Wijayanto)
Namun, diakui Wijayanto, ada cara-cara represi yang harus dihadapi oleh masyarakat sipil. Seperti kekerasan terhadap jurnalis, serta doxing untuk menyerang situs-situs atau media yang melakukan kritik. Demikian pula dengan normalisasi kehidupan kampus yang saat ini mulai dirasakan. Faktor lainnya yang juga memberikan dampak ialah adanya aktivis yang mendukung pemerintahan.
Kendati dalam situasi tidak mudah, menurut Wijayanto, resiliensi itu masih ada di kalangan masyarakat sipil. Selalu ada orang-orang progresif di dalam kalangan masyarakat sipil. Sebagai contohnya tagar panjang umur perjuangan yang muncul di kalangan masyarakat sipil, utamanya ketika Fathia dan Haris Azhar ditetapkan sebagai tersangka.
”Resiliensi itu masih ada sepanjang masyarakat sipil berkomunikasi atau bekerja sama lintas isu. Sebagai contohnya, LP3ES yang konsen di demokrasi, membangun komunikasi antarmasyarakat sipil lintas isu dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Misalnya, dengan masyarakat sipil yang memperjuangkan masyarakat adat, atau gerakan perlawanan terhadap kerusakan lingkungan, dan jenis gerakan lain,” katanya.
LP3ES meyakini orang-orang yang berkecimpung di kalangan masyarakat sipil ini selalu memiliki energi resiliensi, progresif, dan bisa diajak berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk dengan orang-orang progresif di dalam parpol.
”Perlawanan selalu terjadi. Dalam riset kita, manipulasi opini publik untuk mendukung kebijakan pemerintah yang bermasalah itu selalu ada, tetapi selalu ada kontranarasi. Sekalipun secara volume kalah besar daripada pemerintah,” ujarnya.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, sekalipun resiliensi itu masih ada, tetapi ada beberapa hal yang harus pula diperhitungkan. Pertama, tidak serta-merta masyarakat sipil yang berbeda fokus itu disatukan dalam satu kepentingan. Mereka bagaimana pun secara alamiah memiliki fokus isu yang berbeda-beda, sehingga fragmentasi itu muncul secara naluriah berdasarkan pengalaman dan fokus masing-masing.
Ada persoalan lain yang dihadapi oleh masyarakat sipil, yakni soal keterbatasan dana. Untuk mengatasi itu, masyarakat sipil mulai banyak mengubah mekanisme penggalangan dana. Kini, mulai banyak masyarakat sipil yang menggalang dana dengan crowdfunding atau pembiayaan bersama dengan gotong-royong antarwarga masyarakat. Beberapa juga berusaha melakukan penguatan diri dengan memproduksi berbagai barang atau merchandise yang memberikan pemasukan bagi gerakan.
Peristiwa reformasi 1998, menurut Aditya, dapat menjadi momentum bagi bersatunya berbagai kepentingan yang terfragmentasi tersebut. Sekalipun setelah reformasi, masyarakat sipil kembali terpecah dalam fokus masing-masing.
Kendati demikian, untuk memperkuat resiliensi itu, masyarakat sipil dapat memberikan perhatian pada dunia digital atau media sosial. Sekalipun pasti menghadapi serangan yang kencang dari buzzer, ruang di medsos adalah potensi yang dapat dimaksimalkan.
Aditya mengatakan, ada persoalan lain yang dihadapi oleh masyarakat sipil, yakni soal keterbatasan dana. Untuk mengatasi itu, masyarakat sipil mulai banyak mengubah mekanisme penggalangan dana. Kini, mulai banyak masyarakat sipil yang menggalang dana dengan crowdfunding atau pembiayaan bersama dengan gotong royong antarwarga masyarakat. Beberapa juga berusaha melakukan penguatan diri dengan memproduksi berbagai barang atau merchandise yang memberikan pemasukan bagi gerakan.
”Resiliensi itu memang ada. Setiap organisasi masyarakat sipil menyadari ini dan mereka bergulat dengan segala persoalan yang harus mereka hadapi, termasuk soal pendanaan,” katanya.
Terlepas dari pergulatan tidak mudah yang dihadapi masyarakat sipil, keberadaan mereka adalah pilar penentu bagi lestarinya demokrasi. Sejalan dengan pergulatan demokrasi, masyarakat sipil juga melebur di dalam pergulatan itu sebagai bagian tak terpisahkan dari elemen demokrasi.