Annas Maamun, Pengampunan dari Presiden Jokowi, dan Jeratan Kedua dari KPK
Di usia yang menginjak 81 tahun, bekas Gubernur Riau Annas Maamun kembali ditahan KPK karena perkara dugaan korupsi. Dalam perkara berbeda, ia sempat menjalani hukuman penjara dan mendapat grasi dari Presiden Jokowi.
Bekas Gubernur Riau, Annas Maamun, ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari kasus ini, KPK seolah ingin memberikan pesan bahwa usia tua tidak bisa dijadikan alasan untuk terbebas dari jerat hukum.
Annas Maamun (81) tak bisa mengelak lagi setelah tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatroni rumahnya di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/3/2022). Ia ditangkap karena dinilai tidak kooperatif untuk hadir memenuhi panggilan tim penyidik saat ingin diperiksa terkait kasus dugaan korupsi pengesahan R-APBD tahun 2014 dan R-APBD tahun 2015 Provinsi Riau.
Jauh sebelum ini, Annas juga pernah terlibat korupsi. Annas dinyatakan oleh pengadilan terbukti menerima suap untuk merevisi kawasan hutan. Tujuannya agar perkebunan sawit milik penyuap ditetapkan berada di luar kawasan hutan.
KPK menangkap dan menjebloskannya ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, atas perkara suap alih fungsi lahan kebun kelapa sawit, pada 2014. Ia divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim tingkat pertama, kemudian diperberat menjadi 7 tahun di tingkat kasasi.
Belum tuntas menjalani pidana penjaranya, sekitar Oktober 2019, Annas mendapatkan pengampunan atau grasi dari Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan kesehatan. Setelah itu, Annas bebas pada 21 September 2020.
Ketika itu Presiden Jokowi menjelaskan, pemberian grasi kepada Annas sudah melalui berbagai pertimbangan. Tak hanya dari Mahkamah Agung, Presiden juga mendapat masukan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. ”Dari sisi kemanusiaan, umurnya memang juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus sehingga dari kacamata kemanusiaan itu (grasi) diberikan,” kata Presiden Jokowi (Kompas.id, 28/11/2019).
Grasi diberikan setelah Presiden Jokowi menerima permohonan pengurangan hukuman dari pihak Annas. Alasan yang disampaikan Annas ialah usia sudah 78 tahun dan mengidap penyakit, seperti lambung, hernia, dan sesak napas.
Baca juga: Soal Grasi Koruptor Annas Maamun, Mahfud MD Enggan Berkomentar
Namun, udara bebas itu tak bisa terlalu lama dihirup Annas. Selang dua tahun, KPK mengantongi alat bukti yang cukup untuk mengadili kembali bekas politikus Golkar itu atas kasus dugaan korupsi pengesahan R-APBD tahun 2014 dan R-APBD tahun 2015 Provinsi Riau. Dalam perkara ini, tim penyidik KPK telah memeriksa setidaknya 78 saksi dan menyita uang sekitar Rp 200 juta.
Ini adalah surat perintah penyidikan dari tahun 2015. Memang terasa cukup lama. Namun, ini adalah beban daripada tunggakan-tunggakan surat perintah penyidikan lama. (Karyoto)
KPK juga telah menetapkan beberapa pihak sebagai tersangka dalam perkara tersebut, yakni Bupati Rokan Hulu yang juga anggota DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014, Suparman, dan bekas Ketua DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014, Johar Firdaus. Kedua bekas anggota DPRD Provinsi Riau ini diduga menerima sejumlah uang dan fasilitas dari Annas agar memuluskan R-APBD tahun anggaran 2014 dan R-APBD tahun 2015.
Baca juga: Presiden: Grasi atas Landasan Kemanusiaan
Kembali ke Annas, sebenarnya dia masih berstatus tersangka sejak tahun 2015. Hal ini diungkapkan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam jumpa pers Rabu, di Gedung KPK, Jakarta.
”Ini adalah surat perintah penyidikan dari tahun 2015. Memang terasa cukup lama. Namun, ini adalah beban daripada tunggakan-tunggakan surat perintah penyidikan lama,” ucap Karyoto.
Baca juga: Pemberian Grasi untuk Annas Dikritik
Menjalani hukuman
Annas sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Karena itu, KPK menilai proses hukum bagi Annas tetap dapat dilanjutkan. Karyoto tak memungkiri ada risiko dari sisi kemanusiaan dalam penanganan kasus Annas mengingat usianya yang sudah mencapai 81 tahun. Namun, bagi KPK, hal tersebut tak lantas menjadi alasan pembenar untuk menghentikan proses penyidikan perkaranya.
”Ya, risiko. Secara kesehatan, dokter masih mempertanggungjawabkan beliau layak diajukan untuk di persidangan,” ujar Karyoto.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menjelaskan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sejauh ini belum mengatur terkait batasan usia untuk memproses pelaku kejahatan. Begitu pula, surat edaran setingkat KPK atau Mahkamah Agung belum mengatur hal tersebut. Karena itu, proses hukum harus tetap berjalan meski usia pelaku sudah menginjak usia 81 tahun.
Terlepas dari itu, menurut Azmi, kasus Annas ini patut menjadi pembelajaran bersama bahwa usia tidak menghapuskan tindak kejahatan yang telah dilakukan. Efek jera harus tetap ada sehingga pelaku tidak melakukan perbuatan itu lagi dan juga menjadi efek gentar (deterrence) bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, sependapat dengan Azmi. Ia berpendapat, proses pidana kasus terhadap Annas ini bertujuan memberi pesan kepada orang lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, sampai berusia lanjut pun, aparat penegak hukum masih akan mengejarnya.
Kasus Annas ini patut menjadi pembelajaran bersama bahwa usia tidak menghapuskan tindak kejahatan yang telah dilakukan. Efek jera harus tetap ada sehingga pelaku tidak melakukan perbuatan itu lagi dan juga menjadi efek gentar ( deterrence) bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
”Ini menjadi pesan yang kuat. Jangan main-main dengan kekuasaan. Jangan melakukan korupsi,” kata Zaenur.
Namun, Zaenur juga mengkritik KPK. Ia mengungkapkan, di Pasal 65 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat penggabungan tindak pidana atau dikenal dengan concursus realis. Penggabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang.
Mengacu pada aturan itu, menurut Zaenur, idealnya, ketika KPK mengusut kasus Annas yang terdahulu, yakni perkara suap alih fungsi lahan kebun kelapa sawit, seharusnya diusut juga kasus-kasus terkait lainnya termasuk kasus yang menjerat Annas saat ini. Itu bukan berarti penetapan tersangka sekarang salah.
”Jadi, bukan berarti dicicil (kasusnya). Satu kasus diadili, lalu selesai (terpidana) menjalani vonis, ditetapkan sebagai tersangka lagi untuk kasus yang lain. Menurut saya, itu kurang tepat,” kata Zaenur.
Dalam penggabungan tindak pidana, terdapat pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan, yaitu pidana terberat yang dijatuhkan ditambah sepertiga. Tujuan penerapan penggabungan tindak pidana ini sebenarnya untuk membatasi pidana maksimum karena di Indonesia tidak mengenal kumulasi tanpa batas, seperti Amerika Serikat. Di Indonesia, batas maksimal pidana penjara adalah 20 tahun.
Selain untuk membatasi pidana maksimum, tujuan penerapan penggabungan tindak pidana ini adalah untuk menjamin hak-hak dari terdakwa, serta mengontrol aparat penegak hukum untuk tidak mencicil kasus satu per satu.
”Kalau dahulu KPK belum mempunyai alat bukti, oke, penetapan tersangka sekarang menjadi sah. Tetapi, kalau sudah diproses hukum, lalu besok diproses lagi, nanti kalau ditotal hukuman pidana terdakwa itu bisa lebih dari 20 tahun. Nah, itu tidak menjamin hak-hak tersangka,” ucap Zaenur.