Sudah Diberhentikan, Anggota KPU Daerah Bisa Kembali Diangkat Sepanjang...
KPU telah memiliki aturan teknis pengangkatan kembali anggota KPU daerah yang diberhentikan. Pengangkatan kembali tersebut diatur dalam PKPU No 8/2019 yang telah diubah dengan PKPU No 4/2021 tentang Tata Kerja KPU.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi 29 Maret 2022 terkait dengan sifat ”final mengikat” putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu semakin menegaskan anggota Komisi Pemilihan Umum daerah yang diberhentikan bisa diangkat kembali. KPU telah memiliki aturan teknis pengangkatan kembali anggota KPU daerah yang diberhentikan melalui Peraturan KPU.
Adapun dalam pertimbangan MK terkait putusan uji materi sifat final mengikat putusan DKPP, hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan, MK pernah memutus perkara yang hampir sama dengan permohonan a quo. Dalam putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa frasa final dan mengikat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hanya berlaku bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.
Terhadap makna frasa final dan mengikat, Suhartoyo menjelaskan, hal itu memang berlaku bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Para pihak tersebut harus melaksanakan putusan DKPP. Namun, pihak yang tidak menerima putusan itu dapat menggugat keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP itu ke PTUN (Kompas, 30/3/2022).
Sebelum putusan MK itu dikeluarkan, KPU juga sudah memiliki aturan teknis pengangkatan kembali anggota KPU daerah yang diberhentikan. Anggota KPU, Arief Budiman, menjelaskan, pengangkatan kembali itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2019 yang telah diubah dengan PKPU No 4/2021 tentang Tata Kerja KPU.
Pada Pasal 130 A disebutkan, KPU menindaklanjuti putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan upaya hukum dan mengembalikan kedudukannya sebagai anggota KPU provinsi atau kabupaten/kota.
”Sudah kita atur dengan PKPU, termasuk kalau yang bersangkutan sedang menggugat ke TUN (tata usaha negara),” kata Arief saat dihubungi di Jakarta, Jumat (1/4/2022).
Praktisi hukum Ahmad Irawan menilai, putusan MK yang terbaru terkait putusan DKPP hanya berisi penegasan. Secara substantif, menurut Ahmad, putusan DKPP sudah bisa diuji ke PTUN sejak putusan MK pertama kali tahun 2013.
Anggota KPU Divisi Hukum dan Pengawasan Hasyim Asy’ari menjelaskan, salah satu alasan mengapa putusan DKPP tidak bersifat final sebagai satu syarat keputusan obyek TUN dalam hal pemberhentian terdapat pada Pasal 38 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada pasal tersebut disebutkan, ”Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota yang bersangkutan diberhentikan sementara sebagai anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota sampai dengan diterbitkannya keputusan pemberhentian”.
Hasyim mengatakan, setelah putusan MK itu, ketika ada putusan PTUN yang mengabulkan gugatan keputusan pemberhentian anggota KPU daerah karena dampak putusan DKPP, KPU tidak bisa menggunakan alasan final dan mengikat kembali.
”Karena ketundukan pada sifat final dan mengikatnya DKPP sudah dilakukan pada saat menerbitkan SK (surat keputusan). Kalau SK-nya digugat ke PTUN dan ternyata penggugat menang, mau tidak mau harus dilaksanakan dengan pengangkatan kembali,” kata Hasyim.
Hasyim menilai, DKPP menjadi lembaga yang memiliki wewenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Sebab, dalam putusan MK dinyatakan bahwa DKPP bukan lembaga peradilan. Namun, dalam putusan yang sama, MK menggunakan istilah putusan DKPP.
Putusan DKPP tentang pemberhentian seseorang sebagai anggota KPU/Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)/provinsi/kabupaten/kota tidak serta-merta menjadikan seseorang berhenti sebagai penyelenggara pemilu.
Akan tetapi, lanjut Hasyim, putusan DKPP tersebut bersifat final dan mengikat hanya terhadap presiden, KPU, dan Bawaslu. Sebab, mereka yang berwenang mengangkat seseorang dalam jabatan sebagai penyelenggara pemilu. Karena itu, konsekuensinya mereka yang berwenang memberhentikan seseorang dari jabatan penyelenggara pemilu.
Ketua DKPP Muhammad mengungkapkan, putusan MK tersebut tidak akan mengubah format DKPP dalam menyidang perkara etik. DKPP tetap akan mengeluarkan putusan kode etik. Putusan dari DKPP tersebut ditindaklanjuti oleh presiden, KPU, dan Bawaslu menjadi keputusan. Keputusan presiden, KPU, dan Bawaslu tersebut yang menjadi obyek sengketa di peradilan TUN.