Memori Bersama PPP dan Dinamika NU Menuju Khitah
Secara historis, tidak hanya dengan PKB, NU juga memiliki hubungan dekat dengan PPP. NU adalah salah satu unsur yang melakukan fusi pada 1973.
Pepatah Perancis yang mengatakan L’ Histoire se Repete, sejarah mengulang dirinya sendiri, agaknya kembali menemukan maknanya dalam relasi Nahdlatul Ulama dengan kepentingan politik di negeri ini. Kedatangan KH Yahya Cholil Staquf ke Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, Minggu (27/3/2022), dalam peringatan hari lahir Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sekaligus Haul Ke-5 KH Hasyim Muzadi, kembali menghangatkan ingatan pada relasi NU dan PPP puluhan tahun silam.
Sejak terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung Desember 2021, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya telah menegaskan sikapnya yang ingin PBNU menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik (parpol) dan kepentingan politik di Tanah Air. Kebijakan itu seolah merupakan penawar dari posisi PBNU sebelumnya yang cenderung kental diasosiasikan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Hadirnya Gus Yahya pada acara harlah PPP di Malang juga tidak berdiri sendiri. Sebelum bertemu jajaran PPP, Gus Yahya lebih dulu bertemu dengan tokoh politik lainnya. Pada 15 Maret 2022, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mendatangi kantor PBNU di Kramat Raya, Jakarta.
Puan hadir dengan maksud untuk menjalin silaturahmi dengan PBNU. Puan ingin meneruskan jejak sang kakek, Presiden pertama RI Soekarno, dan juga ibunya, Megawati Soekarnoputri. Puan menyatakan, keluarganya mempunyai kedekatan dengan para tokoh NU.
Gus Yahya dalam pertemuan dengan Puan mengatakan, ada banyak kesepahaman antara NU dan PDI-P dalam upaya berbagi tugas dan bersinergi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dirasakan oleh rakyat.
KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya telah menegaskan sikapnya yang ingin PBNU menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik dan kepentingan politik di Tanah Air.
Sebelumnya, Gus Yahya juga mendampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara temu tani sekaligus penanaman peremajaan sawit rakyat di Kecamatan Rambang, Muara Enim, Sumatera Selatan, 4 Februari 2022.
Kegiatan itu merupakan rangkaian peringatan Harlah Ke-99 NU untuk wilayah Indonesia barat. Dalam acara itu, Gus Yahya mendoakan Airlangga, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, naik kelas menjadi atasannya menteri.
Baca juga: Presiden: PPP Teruji dan Berkontribusi dalam Pembangunan Indonesia
Rangkaian pertemuan Gus Yahya dengan sejumlah tokoh politik, dan terakhir saat hadir dalam harlah PPP di Malang, semakin menegaskan posisi PBNU yang berada di atas semua kepentingan politik. Kendati harus diakui, kehadiran Gus Yahya dalam harlah PPP kali ini istimewa karena disertai dengan jajaran pengurus yang cukup representatif.
Dalam acara itu hadir Wakil Rais Aam PBNU KH Afifudin Muhajir, Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf, serta jajaran Ketua Tanfidziyah PBNU seperti Chairul Saleh Rasyid, Khofifah Indar Parawansa, Amin Said Husni, Hasyim Wahab, dan Ahmad Fahrur Rozi. Haul PPP menjadi acara partai pertama yang paling banyak diikuti jajaran PBNU.
Relasi historis
Secara historis, tidak hanya dengan PKB, NU juga memiliki hubungan dekat dengan PPP. NU adalah salah satu unsur yang melakukan fusi pada 1973. Ketika itu, NU fusi bersama dengan Muslimin Indonesia (MI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sebagai bagian dari konstruksi politik Orde Baru, partai-partai berhaluan Islam disatukan ke dalam PPP.
Tidak tanggung-tanggung, Ketua Umum Majelis Syuro PPP ketika itu adalah Rais Aam Syuriah PBNU KH Bisri Sjansuri. Kiai Bisri atau Mbah Bisri adalah pendiri NU. Salah satu cicit Mbah Bisri dari garis ibu ialah Muhaimin Iskandar, yang saat ini Ketuam PKB. Ibu Muhaimin adalah cucu Mbah Bisri.
Baca juga: NU Tidak Ingin Jadi Tunggangan Politik
Mbah Bisri pula yang melahirkan lambang Kabah untuk PPP sebagai hasil dari shalat Istikharah. Mbah Bisri menjadi legenda di PPP, karena di tangan ulama besar itu, PPP benar-benar bersatu dengan segala unsur faksi politik Islam di dalamnya. Sepeninggalnya, 1980, pergolakan internal di PPP mulai terjadi. Saling sikut antarunsur faksi Islam di tubuh PPP memanas dan berkelindan dengan intervensi pemerintah.
Syamsuddin Haris dalam bukunya, PPP dan Politik Orde Baru (1991), mencatat, puncak pertikaian itu terjadi pada 1982. Ketika itu, Ketua Umum PPP Jaelani Naro mengajukan daftar calon sementara (DCS) PPP untuk Pemilu 1982 yang isinya menyingkirkan tokoh-tokoh penting NU dari daftar itu. Naro menyebut penyusunan DCS itu atas persetujuan dari pemerintah.
Penyusunan DCS itu merugikan NU, karena secara politik, jumlah calon anggota legislatif dari unsur NU berkurang dan orang-orang penting NU dicoret dari daftar. Karena hal itu, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, Desember 1983, NU memutuskan untuk menarik diri dari PPP dan kembali kepada khitah (semangat) 1926.
Selepas Pemilu 1987, sejalan dengan hilangnya unsur-unsur NU yang kritis pada pemerintahan di tubuh partai, PPP menjadi kian lekat dengan pemerintah. Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja ketika itu sampai mengatakan tingkah laku PPP sebenarnya ”lebih Golkar daripada Golkar”.
Arus balik
Kembali kepada khitah sebagaimana diniatkan NU, pada intinya ialah semangat untuk kembali kepada jati diri pendirian NU pada 1926, yakni sebagai organisasi pendidikan dan dakwah, tidak terlibat pada politik praktis. Pada kenyataannya, arus politik itu sangat deras sehingga aspirasi politik warga NU dirasakan perlu diwadahi. Ketika kesempatan itu muncul pada 1998, lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dan NU selama ini seolah identik. Namun, dengan terpilihnya Gus Yahya, kemelekatan itu berusaha dinetralisasi.
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Sukron Kamil, mengatakan, fakta yang harus diakui ialah kini NU berusaha mengakomodasi semua kepentingan parpol, bukan hanya PKB. Bahkan, dapat dimaknai NU sebenarnya menjaga jarak dengan PKB, serta mulai membuka diri terhadap partai-partai politik lain.
Bagi NU, secara strategis, hal ini dinilai lebih menguntungkan, karena kalau hanya dekat dengan PKB, NU sama saja dengan terikat hanya pada satu partai atau kepentingan politik. ”Menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol sebenarnya dapat dimaknai sebagai menjaga jarak dari satu parpol, yakni PKB,” katanya, Senin (28/3/2022) di Jakarta.
Upaya mengakomodasi semua kepentingan politik juga tecermin dari susunan kepengurusan PBNU saat ini yang lebih bervariasi karena ada kader dari berbagai partai duduk di sana. Tidak terkecuali PKB.
Potensi elektoral
Dinamika di tubuh NU itu disambut positif PPP. Sebab, kini tidak ada lagi hambatan antara PPP dan NU. Sekjen PPP Arwani Thomafi melihat posisi NU ini sebagai kesempatan untuk menjalin relasi dan kolaborasi yang lebih baik antara PPP dan NU.
Dari sisi politik, sikap NU ini melegakan bagi PPP karena NU menjadi lebih terbuka. Apalagi, warga NU merupakan pasar pemilih yang besar. Kehadiran Gus Yahya, menurut Arwani, menjadi sangat strategis bagi PPP dari sisi elektoral karena ini menegaskan bahwa posisi PPP menjadi kembali menarik di kalangan NU itu sendiri.
”Gus Yahya mengundang PPP untuk meningkatkan kapasitas kolaborasi itu. Salah satu penegasannya ialah NU bukan milik satu orang atau satu partai saja,” katanya.
Kolaborasi itu secara politik diterjemahkan dengan kian konsistennya PPP terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah kebangsaan dan kemasyarakatan, mulai dari urusan kesejahteraan, pendidikan, hingga urusan keagamaan.
”Kita tahu sebagian besar warga NU adalah mereka yang berada di bidang pertanian dan kelautan. Bagaimana kemudian ini mereka menjadi semakin kuat di dalam mengembangkan pertanian, peternakan, dan sebagainya,” ucapnya.
Baca juga: NU, Politik, dan Gus Yahya
Secara taktis, Arwani mengatakan, kader-kader PPP yang diproyeksikan menjadi caleg dalam Pemilu 2024 adalah juga kader-kader NU. Dalam struktur dan kelembagaan, hubungan PPP dan NU mulai dijalin. Salah satunya ialah nota kesepahaman antara Bappenas dengan PBNU soal kerja sama dalam isu-isu pengentasan dari kemiskinan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, yang juga Ketua Umum PPP, telah menyetujui hal ini.
Warga NU ini luar biasa banyak. Berbicara mengenai pemilih itu mungkin di atas 60 persen warga NU. Konsistensi sikap Gus Yahya yang tidak mau NU dikooptasi oleh parpol tertentu menjadi energi positif bagi PPP. ( Arwani Thomafi)
Beberapa kepala daerah juga melakukan kerja sama membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan dengan NU. Di beberapa daerah, putra-putra kiai atau tokoh NU juga menduduki jabatan pimpinan PPP di daerah. ”Kami meminta masukan kepada struktur NU di daerah bagaimana PPP di daerah itu seharusnya dikembangkan. Jadi, ini tidak hanya di tataran elite PBNU dan DPP PPP, tetapi kolaborasi yang baik itu kami lakukan hingga di tingkat daerah,” katanya.
Secara elektoral, Arwani menilai, sikap NU ini menjadi energi positif bagi PPP. Sebab, tidak ada halangan bagi PPP untuk mendekati warga NU. ”Warga NU ini luar biasa banyak. Berbicara mengenai pemilih itu mungkin di atas 60 persen warga NU. Konsistensi sikap Gus Yahya yang tidak mau NU dikooptasi oleh parpol tertentu menjadi energi positif bagi PPP,” ungkapnya.
Kedekatan alamiah
Lalu, bagaimana dengan PKB? Wakil Sekjen PKB Syaiful Huda mengatakan, kedekatan historis yang sifatnya alamiah antara PKB dengan nahdliyin itu tidak dapat dimungkiri. Kedekatan itu pun tidak dipaksakan. Mengenai sikap PBNU, PKB enggan menanggapi lebih lanjut karena itu adalah kebijakan kelembagaan NU.
Namun, menurut Huda, miniatur dan pemilik sah dari NU sejatinya adalah pesantren-pesantren yang sifatnya mandiri. Pesantren-pesantren ini tidak bisa sepenuhnya diatur secara struktural oleh PBNU. Bagaimana sikap pesantren-pesantren ini tentunya juga perlu dilihat dalam konteks hubungannya dengan PKB. Sebab, selama ini PKB adalah partai yang sangat peduli dengan nasib pesantren-pesantren.
”Ada istilah di dalam warga NU itu, tego larane ora tego patine. Dan, saya meyakini siapa pun, baik di NU struktural maupun kultural yang direpresentasikan di pesantren-pesantren, pada saatnya akan kembali menyatu dan memastikan kemenangan PKB,” ucapnya.
Ketua Tanfidziyah PBNU Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur mengatakan, kedekatan NU dengan PKB ataupun PPP sifatnya historis. Namun, tetap harus dipisahkan antara organisasi politik dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan. Posisi PBNU saat ini tidak memihak salah satu partai, tetapi ingin menjadi rumah besar bagi semua pihak. Selama ini ada kesan PKB sama dengan NU, dan hal itu yang berusaha dinetralisasi.
Ada istilah di dalam warga NU itu , tego larane ora tego patine. Dan, saya meyakini siapa pun, baik di NU struktural maupun kultural yang direpresentasikan di pesantren-pesantren, pada saatnya akan kembali menyatu dan memastikan kemenangan PKB. (Syaiful Huda)
”Sama seperti ketika KH Hasyim Muzadi menjadi Ketum PBNU, sekalipun beliau juga pendiri PKB, tetapi beliau tidak mau ikut kampanye untuk PKB. Karena beliau ingin menjaga NU sebagai rumah besar bersama bagi warganya yang tersebar di berbagai partai,” katanya.
Walau kader-kader PKB adalah juga anak-anak NU, NU bukan PKB. Kader-kader NU yang tersebar di banyak partai itulah yang seharusnya membuat jiwa dan spirit NU hidup di masing-masing partai mereka. ”Misalnya, kader NU di Golkar, dia harus meng-NU-kan Golkar, bukan meng-Golkar-kan NU. Begitu juga yang di Gerindra, PDI-P, dan partai-partai lainnya, mereka berperan mengemban spirit dan aspirasi NU di partai masing-masing,” ujarnya.
Gus Fahrur mengatakan, sama dengan partai lainnya, PBNU tetap mendukung kader-kadernya di PKB. Dukungan itu bagaimanapun harus proporsional dan jangan sampai berlebihan sehingga menimbulkan kesan keberpihakan kepada partai tertentu saja.
”Kalau kemarin, kan, sudah menjadi keberpihakan sehingga seakan-akan NU sama dengan PKB. Sekarang kami mau menjaga jarak yang sama dengan partai-partai. Kepada PKB atau PPP, kami tetap support,” ungkapnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, dengan posisi PBNU saat ini, NU menjadi arena perebutan suara yang kian terbuka. ”Tergantung partai mana yang bisa memanfaatkan medan yang terbuka ini. Bisa saja nanti Golkar, PDI-P, dan PPP yang meraup suara nahdliyin,” katanya.
Terlepas dari kepentingan elektoral sebagai dampak yang timbul dari sikap PBNU, sejarah mencatat niatan menuju khitah itu tidak selalu mulus. Arus deras kepentingan, kekuatan politik, dan faktor-faktor eksternal lainnya tidak dimungkiri turut membuat sikap NU sangat dinamis.