Jajak pendapat Litbang Kompas merekam bahwa pengawasan masyarakat pada kinerja pemerintah stagnan selama periode pandemi. Ruang dialog dibutuhkan guna memberi sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik dan saran.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Gerakan masyarakat sipil dinilai stagnan dan cenderung melemah dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Publik berharap ruang dialog antara pemerintah dengan masyarakat di berbagai daerah disediakan guna menjaring aspirasi sebelum mengeluarkan suatu kebijakan.
Dalam menopang perkembangan demokrasi, peran serta masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk mengawal jalannya pemerintahan. Kritikan dan masukan dari akar rumput menjadi kunci dalam membangun keseimbangan dalam menerapkan program pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Namun, dalam dua tahun terakhir, pengawasan masyarakat sipil terhadap kinerja pemerintah dinilai stagnan dan cenderung melemah. Pandangan ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-12 Maret 2022 pada 34 provinsi di Indonesia.
Sebanyak 37,3 persen responden menilai pengawasan masyarakat sipil pada kinerja pemerintah kian melemah sepanjang periode pandemi, sementara 31,3 persen menilai menguat. Sebanyak 26,3 persen responden lainnya menganggap pengawasan masyarakat pada pemerintah tidak jauh berbeda.
Dengan memperhitungkan sampling error, proporsi responden cenderung terbagi dalam tiga kelompok dalam menilai pengawasan masyarakat sipil pada kinerja pemerintah. Pandangan publik ini hampir serupa dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal periode pandemi bulan Maret 2020 lalu.
Proporsi penilaian publik yang terbagi tiga semacam ini sering menggambarkan kondisi stagnasi, akibat penilaian positif dan negatif yang sama kuat. Meski demikian, ada kecenderungan bahwa penilaian publik terkait melemahnya pengawasan masyarakat sipil terhadap pemerintah relatif meningkat.
Ada beberapa faktor penyebab melemahnya kondisi pengawasan masyarakat pada kinerja pemerintah. Hal utama yang dinilai publik menjadi faktor determinan adalah pengaruh berbagai isu di media sosial yang berakibat pro kontra pendapat publik pada suatu persoalan. Kondisi demikian terjadi pada semua isu yang muncul di ruang publik pada akhirnya bermuara pada soal pemihakan politik yaitu pro atau tidak pro kebijakan pemerintah.
Selain itu, beragamnya isu menonjol di media sosial dapat memecah fokus masyarakat untuk melakukan pengawasan kinerja pemerintah terkait isu tertentu. Kondisi ini amat berbeda dibandingkan satu dekade lalu saat paparan banjir informasi belum begitu deras melalui gadget pribadi sehingga masyarakat dapat fokus pada isu tertentu dalam mengawal kinerja dan program pemerintah.
Faktor kedua, publik menilai pemerintah cukup piawai dalam mengendalikan suatu isu. Kritik sosial yang disuarakan, mampu diantisipasi oleh pemerintah baik melalui kanal-kanal kehumasan resmi maupun tidak resmi. Belum lagi dukungan dari publik pro pemerintah yang sigap melakukan pembelaan. Kondisi ini dinilai oleh 71,9 persen responden turut mengikis suara masyarakat sipil dalam menyampaikan kritik pada suatu kebijakan.
Faktor ketiga, adalah sikap pragmatis dari aktivis itu sendiri. Hampir dua per tiga responden menilai pada akhirnya aktivis yang kritis bergabung ke dalam pemerintahan dan otomatis tak terdengar lagi suara kritisnya. Akibatnya muncul pandangan bahwa sikap kritis aktivis itu hanyalah alat untuk naik ke kekuasaan, bukan sebuah perjuangan esensial memperjuangkan kepentingan publik.
Pelibatan publik
Mulai melemahnya pengawasan masyarakat sipil juga diiringi oleh besarnya suara masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam sejumlah pengambilan keputusan oleh pemerintah dan DPR RI. Sebanyak 66,1 persen responden dari berbagai latar belakang menilai bahwa pemerintah dan DPR RI belum sepenuhnya melibatkan masyarakat sebelum mengeluarkan suatu kebijakan.
Munculnya pandangan ini bukannya tanpa sebab. Selama pandemi, sejumlah kebijakan yang dilahirkan memang beberapa kali menuai kritik di ruang publik. Derasnya kritikan yang muncul merupakan cermin bahwa masih cukup banyak kelompok masyarakat yang belum terwakilkan dalam penerapan suatu kebijakan.
Salah satu contohnya adalah aturan perubahan usia pencairan jaminan hari tua. Meski pemerintah berulang kali menegaskan bahwa kebijakan ini telah didiskusikan dengan buruh, namun sejumlah organisasi buruh mengaku belum pernah diajak untuk berdiskusi sebelum atutan ini dikeluarkan. Akibatnya, gelombang protes bermunculan di tengah masyarakat.
Contoh lainnya adalah terkait wacana penundaan pemilu yang bermuara pada perpanjangan masa jabatan eksekutif dan legislatif. Meski pemerintah beralasan bahwa hal ini adalah keinginan masyarakat, kritikan secara deras muncul melalui media sosial dan media massa. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas juga menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan pemilu tetap dilakukan pada tahun 2024.
Di tengah kondisi ini, wajar jika mayoritas responden dalam jajak pendapat menilai bahwa pelibatan publik oleh pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan atau wacana belum begitu optimal. Penilaian ini diungkapkan secara merata pada responden di Pulau Jawa maupun luar Jawa.
Sebagai jalan tengah, publik menawarkan beberapa solusi agar pelibatan masyarakat sipil pada suatu kebijakan dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah tetap optimal. Dari sisi pemerintah, langkah utama yang dinilai publik perlu dilakukan adalah berkunjung ke berbagai daerah untuk menjaring aspirasi masyarakat sebelum mengeluarkan suatu kebijakan.
Ruang dialog
Opsi selanjutnya adalah membuka ruang dialog secara daring. Publik berharap, sebelum mengeluarkan suatu kebijakan, pemerintah dapat menjelaskan rencana suatu peraturan sebelum disahkan. Setelah memberikan penjelasan, tahap berikutnya pemerintah perlu menyediakan kanal-kanal yang dapat diakses oleh publik untuk memberikan masukan. Kanal itu bisa berupa laman khusus untuk menerima masukan, hingga diskusi daring terbuka yang dapat diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat.
Sementara dari sisi masyarakat, publik menilai berdialog menjadi cara utama yang perlu dilakukan oleh tokoh masyarakat sipil bersama pemerintah terkait suatu kebijakan. Lebih dari separuh responden (53 persen) menilai, dialog menjadi langkah awal yang sangat penting dilakukan sebelum menempuh cara lain seperti kritik di media sosial maupun demonstrasi.
Lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, dan organisasi kepemudaan, diharapkan menjadi kanal-kanal utama yang dapat menampung keterlibatan masyarakat dan menyuarakan kritik dari akar rumput.
Di tengah melemahnya pengawasan masyarakat pada kinerja pemerintah selama pandemi, munculnya keinginan masyarakat untuk aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah melalui jalur dialog tentu menjadi modal sosial bagi Indonesia untuk terus berkembang menuju tahap konsolidasi demokrasi. Modal ini tetap perlu dirawat dan diberi ruang untuk berkembang demi menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.