Saat 29 Kreator Konten Ramai-ramai Persoalkan UU ITE
Sebanyak 29 ”content creator” mengajukan uji materi UU ITE ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempermasalahkan Pasal 27 Ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) terkait ujaran kebencian di UU ITE.
Berderet sudah nama korban jeratan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ratusan orang dijerat dengan pasal-pasal di dalam ketentuan tersebut sejak UU tersebut diundangkan 14 tahun silam.
Yang paling mutakhir, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik oleh penyidik Polda Metro Jaya dan dinilai melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Sebelumnya, akhir tahun 2021 ada Saiful Mahdi, pengajar jurusan Statistika FMIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh. Dia mendapatkan amnesti dari Presiden setelah divonis 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan kurungan karena terbukti melakukan pelanggaran atas pasal yang sama.
Ketiga orang tersebut hanya sebagian kecil dari korban-korban UU ITE. SAFEnet mencatat, jumlah warga yang dituntut dengan UU ITE fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada 2021, ada 38 warga. Setahun sebelumnya, ada 84 orang yang dituntut di meja hijau dengan pasal-pasal di UU tersebut. Ini merupakan kasus tertinggi sejak regulasi diberlakukan, meski pada 2016 ada 83 kasus atau terpaut satu kasus dengan 2020.
Pada tahun 2022, dari Januari hingga Maret, ada enam kasus UU ITE yang terpantau SAFEnet. Dari data SAFEnet, aktivis menjadi kelompok terbesar yang menjadi korban UU ITE (26 persen), disusul pendamping/korban (21 persen), warga (18 persen), jurnalis (13 persen), dan lainnya.
Baca juga: Pasal ”Karet” UU ITE Tetap Menjerat
Dari berbagai latar belakang tersebut, menjadi wajar jika para pencipta konten pada platform/media digital menjadi khawatir. Sebanyak 29 content creator (kreator konten) yang bekerja pada platform digital Legalpoint.id dan Voicelaw.id menyoal Pasal 27 Ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) terkait ujaran kebencian dalam UU ITE.
Legalpoint.id merupakan platform digital yang fokus pada penciptaan konten dan informasi hukum. Sementara, Voicelaw.id merupakan penyelenggara webinar dan publikasi di bidang hukum.
Menurut para pemohon seperti dikutip dari berkas permohonan Senin (28/3/2022), kedua pasal itu dinilai menimbulkan ketidakpastian, kekaburan, dan ketidakjelasan hukum, baik secara normatif maupun implementatif. Akibatnya, kedua pasal tersebut berpotensi melanggar atau mengancam hak konstitusional para kreator konten. Hal ini terutama dalam membuat dan membagikan ide, gagasan, pendapat, pemikiran, kiritik, dan/atau saran mengenai isu-isu atau fenomena-fenomena hukum tertentu melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui platform digital.
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE berbunyi, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Sementara itu, Pasal 28 Ayat (2) UU ITE mengatur, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Dalam kedua pasal tersebut, menurut para pemohon, ada batasan yang sumir dan tidak jelas terkait kategori penghinaan atau pencemaran nama baik dan juga frasa ”menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu”. Dan, juga bersifat sangat subyektif.
Baca juga: Sebulan Berlalu, Revisi UU ITE Tak Disentuh DPR
Banyak orang telah merasakannya dinginnya lantai penjara karena regulasi tersebut. Sebut saja Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang mengirimkan surat elektronik berisikan ketidakpuasan atas pelayanan kesehatan sebuah rumah sakit. Ia sempat ditahan 20 hari setelah dilaporkan pihak rumah sakit pada Agustus 2008, beberapa bulan setelah UU ITE pertama kali diundangkan pada April 2008. Ia akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung melalui putusan peninjauan kembali tahun 2012.
Ada lagi Buni Yani yang dihukum 1,5 tahun penjara karena melanggar Pasal 32 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE karena melakukan ujaran kebencian dan mengedit isi video mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Lalu, Ahmad Dani dipidana 1,5 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, ada kasus musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali dengan tuduhan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terkait postinan ”IDI kacung WHO”. Dia didakwa dengan kedua pasal tersebut dan dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp 25 juta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Februari 2022.
Pengujian sebelumnya
Pasal pencemaran nama baik dan juga definisi konten yang menimbulkan kebencian dan rasa permusuhan di Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE sudah beberapa kali dimohonkan pengujian ke MK. Kompas mencatat, setidaknya ada empat permohonan yang diajukan, termasuk di antaranya oleh Perkumpulan Bantuan Hukum Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, dan LBH Pers.
Putusan juga sudah diberikan, meskipun semuanya ditolak dan pasal yang dipersoalkan dinyatakan konstitusional oleh MK. MK sebenarnya sudah memberikan rambu-rambu dalam penerapan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian seperti termaktub dalam putusan 50/PUU-VI/2008 dan putusan 76/PUU-XV/2017.
Banyaknya persoalan dalam implementasi UU ITE membuat pemerintah telah menerbitkan keputusan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE. SKB ini sudah mempertimbangkan dua putusan MK yang dianggap signifikan, yaitu putusan nomor 50/PUU-VI/2008 dan 76/PUU-XV/2017.
Secara khusus, SKB ini mengatur tentang penerapan/implementasi Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE. Misalnya, kategori penghinaan seperti apa yang dapat dijerat dengan UU ITE dan Pasal 315 KUHP. Jika konten yang ditransmisikan berupa penghinaan dengan kategori cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, tindakan tersebut bukan termasuk delik pidana yang melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Namun, perbuatan itu tergolong delik penghinaan ringan seperti diatur dalam Pasal 315 KUHP.
Begitu pula apabila konten yang ditransmisikan/didistribusikan adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, hal itu tidak termasuk ke dalam delik Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Penegak hukum harus memproses dahulu kebenaran dari sesuatu yang dituduhkan sebelum memproses delik penghinaan atau pencemaran nama baik UU ITE.
Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers sebagai hasil kerja jurnalistik juga tidak masuk kategori Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, tetapi berlaku lex specialis UU Pers. Namun, hal ini tak berlaku apabila wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet. UU ITE tetap dapat diberlakukan untuk konten semacam itu.
SKB juga mengatur lebih detail implementasi dari beberapa pasal lain di UU ITE. Namun, para pemohon menilai, kesepakatan bersama antara Menkominfo, Kapolri, dan Jaksa Agung tersebut tidak efektif dalam membendung jatuhnya korban-korban yang dijerat dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE. Keberadaan keputusan bersama itu tidak menyelesaikan masalah karena kekuatan mengikat dan keberlakuannya yang lemah dan hanya bersifat internal bagi aparat penegak hukum.
Selain persoalan implementasi SKB yang tidak efektif, para pemohon uji materi juga mendalilkan ada persoalan norma dalam kedua pasal tersebut. Di antaranya, Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang multitafsir dan mengandung ambiguitas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dan supremasi hukum berdasarkan konstitusi (nomokrasi konstitusional).
Kedua pasal tersebut juga dinilai menjadi penghalang dalam kebebasan berpendapat. Masyarakat menjadi takut untuk menggunakan hak dan menikmati kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi karena adanya ketentuan yang multitafsir. Ketentuan tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk membungkam pemikiran-pemikiran kritis masyarakat.
Saat ini, UU ITE sebenarnya dalam proses revisi. Namun, pembahasannya mangkrak di DPR. Sebagai RUU inisiatif pemerintah, Presiden sudah mengirimkan surat presiden dan draf revisi UU ITE sejak 16 Desember 2021. Namun, pimpinan DPR belum menugaskan alat kelengkapan Dewan untuk membahas RUU tersebut. (Kompas.id, 21/3/2022).
Dalam kondisi perbaikan UU ITE melalui legislative review belum memenuhi ekspektasi, uji materi barang menjadi salah satu alternatif untuk menata ulang regulasi pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Minimal, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam keputusan bersama dapat diakomodasi menjadi setingkat dengan undang-undang (via putusan MK) dan memiliki daya ikat/paksa yang lebih kuat.