Proses Hukum Aliran Dana Penyelundupan Senjata di Papua Belum Transparan
Ekosistem konflik di Papua lewat pengiriman pasukan dalam jumlah banyak secara terus-menerus menyebabkan banyaknya korban yang jatuh. Dampak lainnya, selalu terjadi jual beli senjata dengan kelompok kriminal bersenjata.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
DOKUMENTASI JURU BICARA OPM SEBBY SAMBON
Kelompok kriminal bersenjata di Papua.
JAKARTA, KOMPAS – Lingkaran kekerasan di Papua akibat konflik bersenjata terus berlangsung. Ini salah satunya karena peredaran amunisi dan senjata di daerah konflik tak bisa dikendalikan. Walaupun aliran dana dan jalur penyelundupan diketahui, proses hukumnya selama ini cenderung tak transparan.
Sebelumnya, kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyerang Pos Marinir Perikanan Quari Bawah, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (26/3/2022), pukul 17.50 WIT. Dua anggota marinir tewas dalam peristiwa itu, yaitu Letnan Dua Mohamad Iqbal, yang merupakan komandan peleton pos. Beberapa jam kemudian nyawa Prajurit Satu Wilson Here juga tidak bisa diselamatkan karena menderita luka tembak di bagian perut. Senjata yang digunakan kelompok itu diduga adalah hasil rampasan dari aparat keamanan tahun 2020. (Kompas.id, Minggu, 27/3/2022)
Peneliti masalah Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, saat dihubungi, Minggu (27/3/2022), mengatakan, memutus mata rantai pasokan amunisi dan senjata adalah salah satu cara untuk mengurangi siklus kekerasan di Papua. Selama ini memang muncul banyak temuan tentang aliran dana ataupun penyelundupan amunisi dan senjata untuk KKB di Papua. Selain itu, diketahui senjata yang digunakan oleh KKB juga merupakan rampasan dari TNI-Polri.
Walaupun sudah ada temuan, tindak lanjut dan proses hukum dari temuan itu dinilai tidak transparan. Catatan Kompas pada Juni 2021, KKB memperoleh sokongan dana sekitar Rp 1,3 miliar untuk membeli senjata api dan amunisi. Dana itu diduga berasal dari anggota DPRD Kabupaten Tolikara dan juga dari Pemerintah Kabupaten Puncak. Dugaan aliran dana itu didapatkan kepolisian saat memeriksa Neson Murib. Namun, hingga saat ini proses hukum dari penangkapan itu tidak jelas.
”Kalau memang ada temuan seperti itu, seharusnya diusut secara transparan. Perlu diungkap aliran uang dari mana, siapa yang menjadi mediator untuk membeli senjata, dan senjata diberikan kepada siapa. Semuanya harus jelas proses hukumnya,” kata Cahyo.
Ratusan pengungsi melakukan upacara bakar batu sebagai bentuk kekerabatan sekaligus penerimaan pemerintah kepada warga yang datang, Rabu (22/11), di halaman gedung posko pengungsian, Timika, Papua. Konflik bersenjata yang terjadi di empat kampung di Distrik Tembagapura, Timika, membuat warga harus mengungsi dan meninggalkan kampung mereka.
Selain aliran dana dan pasokan senjata, Cahyo juga menilai bahwa banyaknya korban yang jatuh akibat konflik bersenjata antara KKB dan aparat keamanan adalah karena adanya ekosistem konflik. Ekosistem konflik yang dimaksud adalah pengiriman pasukan dalam jumlah banyak secara terus-menerus di daerah konflik. Akibatnya, selalu terjadi jual-beli senjata KKB, bahkan pernah ditemukan jual-beli senjata dengan anggota TNI/Polri.
”Konflik bersenjata itu, kan, muncul karena adanya aspirasi kelompok yang menuntut kemerdekaan di wilayah konflik. Jika yang dikedepankan adalah pengiriman pasukan, tentu siklus kekerasan akan terus berjalan. Yang tidak pernah dicoba adalah pendekatan dialog damai tanpa senjata dan kekerasan,” tutur Cahyo.
Cahyo menambahkan, pendekatan keamanan dengan terus menambah jumlah pasukan yang ditugaskan ke Papua tidak akan menyelesaikan permasalahan. Bagi masyarakat Papua, yang diperlukan adalah dialog damai dengan mendengarkan suara mereka.
Sebab, walaupun diklaim aparat menjaga keamanan di wilayah konflik, operasi penegakan hukum tetap berdampak terhadap warga sipil. Data dari Amnesty International Indonesia, saat ini ada sebanyak 41.000 pengungsi di enam kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah. Pengungsi muncul karena dampak konflik bersenjata yang tak kunjung usai.
Pendekatan keamanan dengan terus menambah jumlah pasukan yang ditugaskan ke Papua tidak akan menyelesaikan permasalahan. Bagi masyarakat Papua, yang diperlukan adalah dialog damai dengan mendengarkan suara mereka.
Para pengungsi di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, saat dikunjungi Komnas HAM Perwakilan Papua, pada 30 Juni 2021.
”Kalau permasalahan pengungsi ini tidak ditangani dengan baik, yang terjadi adalah warga sipil justru akan semakin mendukung KKB. Permasalahan pengungsi juga harus ditangani dengan baik untuk memutus lingkaran kekerasan di Papua,” kata Cahyo.
Dialog damai
Terkait dengan inisiasi dialog damai Papua oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Cahyo mengapresiasi ide tersebut. Namun, menurut dia, Komnas HAM tidak memiliki mandat politik untuk berdialog dengan KKB sebelum disetujui oleh Presiden Joko Widodo. Menurut dia, sebagai lembaga negara yang independen, Komnas HAM hanya berwenang untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM berat di Papua. Selain itu, mediasi antara TNI/Polri dengan KKB untuk mengakhiri kontak senjata.
”Kalau mediasi antara TNI/Polri dengan KKB untuk membuat humanitarian pause atau jeda kemanusiaan, itu bisa saja (dilakukan Komnas HAM). Namun, untuk melakukan dialog politik, itu dipertanyakan karena tidak ada mandatnya dari presiden,” kata Cahyo.
Sebelumnya, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional (TPN-OPM) Organisasi Papua Merdeka terang-terangan menolak wacana dialog damai yang diinisiasi Komnas HAM. OPM hanya menerima perundingan dengan opsi pengakuan atas kemerdekaan Papua di tempat yang netral.
Kalau permasalahan pengungsi ini tidak ditangani dengan baik, yang terjadi adalah warga sipil justru akan semakin mendukung KKB.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik memberikan keterangan pers soal wacana dialog damai untuk menyelesaikan konflik bersenjata dan trauma masyarakat Papua di Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Secara terpisah, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM akan terus mengupayakan berjalannya inisiasi dialog damai Papua, baik terhadap pihak yang bersedia maupun yang menolak ide tersebut. Komnas HAM melalui Kantor Perwakilan di Papua sudah bekerja melobi tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan beberapa kelompok OPM. Selain itu, pihak TNI/Polri dan masyarakat sipil Papua juga dijajaki opsi dialog damai.
”Berbagai jaringan kami terus bekerja mengupayakan berjalannya dialog damai ini,” ujar Ahmad.