Kemarahan Presiden, Sinyal Evaluasi Kinerja Menteri
Presiden Joko Widodo diharapkan tidak hanya menunjukkan kemarahan di hadapan para menteri, tetapi juga berani mengevaluasi kinerja anggota kabinet.
JAKARTA, KOMPAS – Kemarahan Presiden Joko Widodo yang berulang terhadap para menterinya semestinya diikuti dengan evaluasi kinerja anggota Kabinet Indonesia Maju. Sebab, jika Presiden tetap permisif terhadap kinerja yang buruk dari para menterinya, publik hanya akan melihat kemarahan itu hanya sebagai jebakan politik simbolisme semata.
Sebelumnya, dalam acara Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, Jumat (25/3/2022), di Bali, Presiden Jokowi menyampaikan kejengkelan di hadapan para menteri dan kepala daerah. Presiden geram karena banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah senang memenuhi kebutuhan belanja dengan barang impor. Padahal, jika 40 persen dari total anggaran pengadaan barang dan jasa digunakan untuk membeli produk dalam negeri, ekonomi akan tumbuh di atas target yang ditetapkan.
Sejumlah menteri yang disebut Jokowi sering belanja barang impor adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Kemarahan Jokowi terhadap para menterinya bukan kali ini saja terjadi. Pada 18 Juni 2020, dalam sidang kabinet, Jokowi menegur para menteri yang bekerja biasa-biasa saja di masa krisis akibat pandemi Covid-19. Ia menilai, para pembantunya tersebut tidak memiliki kesadaran terhadap krisis (sense of crisis).
Baca juga : Presiden Ancam Sanksi Instansi Pemerintah yang Lebih Suka Barang Impor
Kemudian, pada akhir Juli 2020, Jokowi kembali ”menyentil” para menterinya karena rendahnya realisasi anggaran penanganan Covid-19. Ia pun meminta agar para menteri bekerja cepat dan optimal untuk menyerap dana tersebut.
Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi mengatakan, kemarahan Jokowi yang berulang itu harus menjadi bahan evaluasi penting bagi para menteri karena menyangkut kesanggupan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan mendasar di tengah masyarakat. Sebagai pembantu Presiden, para menteri harus mampu menyelesaikannya. Jika tidak, perombakan (reshuffle) kabinet sangat dimungkinkan.
”Saya kira memang harus betul-betul dievaluasi. Kalau perlu diganti, ya, diganti saja. Tidak usah takut-takut. Cari orang yang lebih berkompeten daripada pesoalan yang ada tidak selesai-selesai,” ujar Badiul dalam diskusi bertajuk ”Jokowi Jengkel: Menuju Reshuffle Kabinet?”, Minggu (27/3/2022).
Hadir dalam diskusi virtual tersebut, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo; Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti; dan analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto.
Ari Nurcahyo berpendapat, kemarahan Jokowi sangat wajar karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta anggaran badan usaha milik negara (BUMN) seharusnya bisa digunakan untuk memicu pertumbuhan ekonomi dalam negeri, bukan justru membeli barang impor.
Untuk itu, jika kerja para menteri masih terus melenceng dari harapan Jokowi, perombakan kabinet haruslah terjadi. Menurut Ari, setidaknya akan ada dua momentum yang bisa dimanfaatkan untuk merombak kabinet di sisa masa jabatan Presiden Jokowi. Momentum pertama adalah respons atas amarahnya pada saat ini. Momentum kedua adalah pada saat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilihan Umum Presiden 2024.
Pada 2023 akan banyak gangguan akibat agenda politik menjelang pemilu. Bukan hanya figur dari parpol, melainkan juga figur dari nonparpol yang punya kesempatan politik. Jadi, seandainya orientasinya pada perbaikan kinerja pemerintahan, maka momentumnya now or never, karena kalau perombakan kabinet pada semester II-2022 atau 2023, bukan tidak mungkin, soliditas kekuasaan akan terganggu.
Ia meyakini, jika Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengikuti pilpres, mereka akan mengundurkan diri dari jabatan menteri. Sebab, mereka tidak akan bisa fokus lagi memimpin kementerian.
”Jadi, kemungkinan yang paling cepat, reshuffle bulan Mei nanti jika kinerja menteri tak kunjung ada perbaikan. Bulan Mei menjadi sebuah titik injury time. Itu, kan, setelah Lebaran juga sehingga situasinya mungkin lebih enak untuk melakukan pergantian atau rotasi,” tutur Ari.
Terjebak politik simbolisme
Arif Susanto menambahkan, jika Presiden berorientasi pada kinerja pemerintahan, perombakan kabinet seharusnya dilakukan pada kuartal I-2022 atau paling lambat semester 1-2022. Jika hal itu tidak dilakukan, Jokowi akan kehilangan momentum. Sebab, di akhir 2023, partai politik akan mulai sibuk mengurus Pemilu 2024.
”Artinya, pada 2023, akan banyak gangguan akibat agenda politik menjelang pemilu. Bukan hanya figur dari parpol, melainkan juga figur dari nonparpol yang punya kesempatan politik. Jadi, seandainya orientasinya pada perbaikan kinerja pemerintahan, maka momentumnya now or never, karena kalau perombakan kabinet pada semester II-2022 atau 2023, bukan tidak mungkin, soliditas kekuasaan akan terganggu,” ucap Arif.
Baca juga : Adakah Kejutan di Perombakan Kabinet?
Ia menyampaikan, Jokowi juga harus konsisten terhadap ucapannya. Jika kinerja para menterinya tidak sesuai dengan harapan, Jokowi juga harus berani mencopot menteri tersebut. Sebab, jika perombakan kabinet itu tidak dilakukan, ia khawatir, publik justru melihat kemarahan Jokowi sebagai pencitraan politik.
”Presiden seolah-olah ingin menunjukkan kepada publik bahwa dirinya peduli dan bekerja keras. Meletakkan kemarahan sebagai modal pengelolaan isu. Jangan sampai terjebak pada politik simbolisme yang mengesankan bahwa dengan marah pemerintah telah melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah,” kata Arif.
Ray Rangkuti sependapat dengan Arif. Jika Presiden Jokowi tidak tegas terhadap para menterinya, ini justru akan menjadi bumerang bagi Presiden. Apresiasi publik terhadap kinerja Presiden juga akan ikut berpengaruh akibat kinerja para menterinya yang tidak optimal bekerja dan menyelesaikan persoalan masyarakat.
Ia pun berharap, jika perombakan kabinet itu terjadi, sosok-sosok yang mengisi kursi menteri harus sejalan dengan visi Presiden. Presiden harus selektif dalam memilih anggota kabinet agar situasi seperti sekarang ini tidak terulang kembali hingga akhir masa jabatannya.
”Presiden harus ingat bahwa di tahun 2023 sampai 2024, beliau akan bekerja sendirian tanpa didukung anggota kabinet yang betul-betul setia pada dirinya dan dia akan kesulitan menghadapi ritme sekarang ini. Jangan sampai setiap bulan nanti kita akan dengar Pak Jokowi merasa jengkel terus karena kinerja para pembantunya,” ujar Ray.
Berkaitan korupsi
Secara terpisah, melalui keterangan tertulis, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri menilai wajar kemarahan Presiden Jokowi terhadap para menterinya terkait dengan kebiasaan impor barang. Sebab, kebiasaan impor barang ini kerap berkaitan dengan tindakan korupsi pengadaan barang/jasa.
”Saya mengerti arti kemarahan Bapak Presiden karena sikap kita terhadap kemampuan produk dalam negeri versus produk impor sudah keterlaluan. Ini ada hubungannya dengan korupsi pengadaan barang dan jasa,” ujar Firli.
KPK sering kali mengingatkan kepada para pejabat negara bahwa pengadaan barang/jasa sangat rentan terhadap tindak pidana suap. Firli pun meyakini, kemarahan Jokowi untuk mencegah praktik pidana suap itu semakin besar dalam pengadaan barang/jasa.
”Kita harus menyambut baik penekanan yang dilakukan oleh kepala negara agar kita mulai mengubah orientasi pengadaan barang dan jasa serta menghentikan korupsi pengadaan barang dan jasa,” tutur Firli.
Ia menyampaikan sejumlah rambu untuk menghindari korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, yakni tidak bersekongkol dengan penyedia barang/jasa untuk melakukan tindak pidana korupsi, tidak menerima suap (kickback) dan gratifikasi, tidak mengandung unsur benturan kepentingan, tidak mengandung unsur kecurangan dan malaadministrasi, serta tidak ada niat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat.
”Selama taat asas dan berpegang pada regulasi, jangan pernah takut belanja dan menggunakan anggaran negara. Masa depan ekonomi dan kesejahteraan rakyat ada pada serapan belanja yang optimal, tentu selama tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada,” kata Firli.