”Presidential Threshold” Kembali Disoal, Kali Ini Giliran DPD dan PBB
Lebih dari 20 permohonan untuk menghapus ”presidential threshold” telah diajukan ke MK, sebagian besar di antaranya kandas. Kali ini, DPD dan Partai Bulan Bintang mencoba peruntungan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Untuk kesekian kalinya, syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pada Jumat (25/3/2022) siang, giliran Dewan Perwakilan Daerah serta Partai Bulan Bintang resmi mendaftarkan permohonan pembatalan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dengan adanya permohonan itu berarti Mahkaman Konstitusi (MK) telah menerima 28 permohonan pengujian ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sejak UU No 7/2017 diundangkan. Sebanyak 19 permohonan di antaranya telah diputus MK dan semuanya dinyatakan tidak diterima karena persoalan legal standing atau kedudukan hukum.
Saat ini, MK masih memeriksa delapan permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold dan satu perkara belum diregister. Perkara yang belum diregister adalah permohonan yang diajukan DPD secara kelembagaan dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra karena baru didaftarkan.
Jumlah putusan dan permohonan tersebut hanya meliputi pengaturan presidential threshold di dalam UU No 7/2017. Uji materi norma yang sama dalam UU Pemilu sebelumnya belum masuk hitungan. Artinya, upaya untuk menghapus ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden lebih banyak lagi.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengungkapkan, rapat paripurna DPD beberapa waktu lalu secara bulat telah memutuskan bahwa DPD secara kelembagaan perlu mengambil peran dalam perjuangan menghapus presidential threshold untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden perlu dihapus agar pada pemilu mendatang makin banyak alternatif calon presiden yang dapat dipilih masyarakat. Dengan kian banyaknya calon, semakin selektif dan sehat pula persaingan yang terjadi sehingga potensi presiden dan wakil presiden terpilih disetir oleh oligarki semakin kecil.
Pasal 222 UU No 7/2017 mengatur, calon presiden-calon wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan parpol yang menguasai paling sedikit 20 persen kursi DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
DPD secara kelembagaan perlu mengambil peran dalam perjuangan menghapus presidential threshold untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden perlu dihapus agar pada pemilu mendatang makin banyak alternatif calon presiden yang dapat dipilih oleh masyarakat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengungkapkan, eksistensi syarat perolehan kursi 20 persen anggota DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu sebelumnya telah menghilangkan hak konstitusional partai untuk mengusung calon presiden-calon wakil presiden. Padahal, hak mengusung calon presiden-calon wakil presiden secara jelas dan tegas diberikan kepada seluruh partai politik, tanpa embel-embel syarat perolehan suara.
PBB tetap optimistis dengan gugatan penghapusan presidential threshold tersebut di saat hampir seluruh permohonan kandas di MK. Permohonan-permohonan yang disampaikan sebelumnya bermasalah di legal standing atau kedudukan hukum. Sebab, MK menyatakan bahwa yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian pasal presidential threshold adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya.
Kuasa hukum para pemohon, Denny Indrayana, mengungkapkan, pengujian Pasal 222 UU No 7/2017 yang dilakukan berulang-ulang tersebut menjadi ikhtiar serius untuk memperjuangkan daulat rakyat. Demokrasi saat ini telah dibajak oleh kekuatan modal atau kekuatan duit/duitokrasi.
NINO CITRA ANUGRAHANTO UNTUK KOMPAS
Massa simpatisan dari Partai Bulan Bintang memadati jalan di depan gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat, Minggu (4/3) sore.
”Ikhtiar yang terus dan berulang ini menunjukkan bahwa demokrasi atau daulat rakyat tidak boleh dikalahkan oleh duitokrasi. Pemilihan langsung oleh rakyat harus diselamatkan agar tidak terus ditelikung kekuatan-kekuatan oligarki yang koruptif, manipulatif, dan destruktif. Demokrasi kita tidak boleh dikangkangi hanya oleh kekuatan modal. Ini adalah presiden pilihan rakyat, bukan presiden pilihan uang,” papar mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.
Selain mendampingi DPD dan PBB, Denny Indrayana juga mendampingi sejumlah pemohon uji materi presidential threshold lainnya, yaitu perkara Nomor 8/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh 27 warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dan Nomor 11/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Ummat.
Dalam berkas permohonan yang didaftarkan, DPD diwakili oleh Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti dan tiga Wakil Ketua DPD, yakni Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin. Sementara PBB diwakili oleh Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor.
Masih dalam berkas yang sama, pemohon menilai DPD memiliki legal standing untuk menguji norma syarat ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden. Ini sesuai dengan putusan MK sebelumnya, yaitu putusan nomor 79/PUU-XII/2014 yang menyebutkan bahwa sebagai Lembaga negara yang menjadi unsur MPR, DPD memiliki tugas menyuarakan aspirasi rakyat dari tingkat daerah ke tingkat nasional. Ini diperlukan agar kebijakan yang dihasilkan sejalan dengan keinginan masyarakat daerah.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014 Denny Indrayana
”Pemohon I (DPD) berkewajiban untuk memajukan dan memperjuangkan secara kolektif kepentingan putra-putri daerah untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara, termasuk untuk membuka akses seluas-luasnya dalam pencalonan presiden dan wakil presiden,” kata Denny.
Ada tiga faktor yang membuat DPD memutuskan untuk menguji Pasal 222 UU No 7/2017. Antara lain kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap pelaksanaan demokrasi, rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik, dan kuatnya dukungan masyarakat atas penghapusan ambang batas pencalonan presiden.
Sementara itu, terkait pengujian oleh PBB, Denny mengungkapkan, sesuai dengan putusan MK nomor 74/PUU-XVIII/2020, PBB memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon uji materi pasal presidential threshold. Disebutkan dalam pertimbangan putusan tersebut angka [3.6] halaman 44, parpol atau gabungan parpol peserta pemilulah sebagai subyek hukum yang memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden-wakil presidan dan dapat menguji Pasal 222 No UU 7/2017.
Pertimbangan tersebut ditegaskan kembali dalam putusan Nomor 66/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 24 Februari 2022. Dalam putusan tersebut, MK juga menekankan bukanlah perseorangan yang memiliki legal standing mempersoalkan konstitusionalitas pasal presidential threshold, melainkan parpol/gabungan parpol peserta pemilu.