Hingga kini, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum dibahas kembali oleh DPR meskipun di awal masa sidang selalu dinyatakan akan dibahas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021). Berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan urgensi pengesahan RUU TPKS melalui bermacam media seiring terus berulangnya kemunculan kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
JAKARTA, KOMPAS — Publik menantikan komitmen Dewan Perwakilan Rakyat untuk menuntaskan sejumlah rancangan undang-undang yang menjadi kebutuhan publik, seperti RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebagai lembaga legislatif, DPR diharapkan tidak hanya mengutamakan legislasi yang menjadi kebutuhan pemerintah atau memiliki nilai politik bagi partai politik semata.
Tiga RUU yang saat ini belum tuntas, yakni RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sekalipun tengah berproses, terlihat lambat jika dibandingkan dengan sejumlah RUU yang merupakan kepentingan politik pemerintah dan DPR, seperti UU Ibu Kota Negara (IKN) dan UU Cipta Kerja. Kelambatan proses pembahasan ini disayangkan karena ketiga RUU itu menyangkut kehidupan masyarakat dan menimbulkan kerugian luar biasa bagi publik jika payung hukum tersebut tidak segera disahkan.
Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, semakin banyak warga akan menjadi korban jika payung hukum itu tidak segera disahkan. Tanpa ada revisi UU ITE, misalnya, makin banyak warga yang menjadi korban pasal-pasal karet dalam UU ITE.
Untuk RUU TPKS, bila semakin lama tidak disahkan, dikhawatirkan akan makin banyak kekerasan seksual yang terjadi. Demikian pula RUU PDP, yang sudah dibahas sejak 2022, dan sampai sekarang belum selesai, membuat banyak data warga yang disalahgunakan.
”Untuk RUU TPKS, bila semakin lama tidak disahkan, dikhawatirkan akan makin banyak kekerasan seksual yang terjadi. Demikian pula RUU PDP, yang sudah dibahas sejak 2022, dan sampai sekarang belum selesai, membuat banyak data warga yang disalahgunakan,” katanya saat memandu diskusi daring bertajuk ”Rakyat Menagih DPR: Revisi UU ITE, RUU TPKS, dan RUU PDP”, Kamis (24/3/2022).
Tiga narasumber hadir dalam diskusi, yakni peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus; Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto; dan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Peneliti Formappi, Lucius Karus
Lucius mengatakan, DPR diharapkan benar-benar menjadi lembaga yang mewakili kepentingan rakyat dan bukan wakil kepentingan politik semata. Belum juga disahkannya ketiga RUU itu menunjukkan ironi kelembagaan DPR. Sebab, seharusnya RUU yang menjadi kebutuhan publik didahulukan. Namun, pada kenyataannya justru RUU yang merupakan prioritas pemerintah menjadi perhatian utama DPR.
”Bahkan saking ingin melayani pemerintah itu, RUU seberat apa pun bisa diselesaikan DPR dalam relatif cepat, seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, serta UU lain yang bisa diselesaikan DPR tidak lebih dari tiga masa sidang,” katanya.
Ini ironinya, karena setiap awal masa sidang Ibu Puan selalu menyebut RUU PDP sebagai fokus legislasi. Demikian juga dengan RUU TPKS. Tetapi pada saat yang sama, di akhir masa sidang tidak terdengar lagi kenapa RUU itu tidak selesai dibahas oleh DPR.
Catatan disampaikan terkait dengan RUU PDP, RUU TPKS, dan RUU ITE yang dalam beberapa kali pembukaan masa sidang disebut oleh Ketua DPR Puan Maharani sebagai prioritas atau target legislasi DPR. Namun, pada kenyataannya, tiga RUU itu belum juga tuntas dibahas di DPR.
”Ini ironinya, karena setiap awal masa sidang Ibu Puan selalu menyebut RUU PDP sebagai fokus legislasi. Demikian juga dengan RUU TPKS. Tetapi pada saat yang sama, di akhir masa sidang tidak terdengar lagi kenapa RUU itu tidak selesai dibahas oleh DPR,” ucapnya.
Untuk RUU PDP, misalnya, hanya tinggal satu ketentuan yang masih tarik ulur, yakni tentang keberadaan otorita perlindungan data pribadi. Pemerintah menginginkan agar otorita itu ada di bawah kementerian, sedangkan DPR menginginkan otorita itu di bawah lembaga yang independen. Kini, hampir dua tahun pembahasan, RUU itu tidak kunjung diteruskan pembahasannya karena belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Komisi I menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama para pakar dan akademisi di bidang hukum dan teknologi informasi membahas Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/7/2020). RUU PDP merupakan RUU inisiatif pemerintah dan masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020. Komisi I menargetkan RUU tersebut dapat diselesaikan tahun 2020.
Lucius menyebutkan, ketiga RUU itu berpotensi dijadikan komoditas politik semata oleh DPR dan partai politik demi menarik simpati publik untuk Pemilu 2024. DPR dinilai ingin mengesankan dirinya sebagai lembaga yang peduli pada kepentingan rakyat. Hal ini dipandang bisa menarik simpati rakyat pada saat mereka memilih pada Pemilu 2024. Oleh karena itulah penyelesaiannya dikhawatirkan akan menunggu momentum mendekati 2024.
”Pemilu masih 2024 sehingga mereka ulur-ulur janji sampai 2023 baru benar-benar disahkan. Mungkin ketika dekat Pemilu 2024, ada alasan untuk mengatakan, lihatlah kami, partai kami berhasil menyelesaikan RUU-RUU yang dibutuhkan publik. Pilih kami pada 2024,” katanya.
Sulistyowati mengatakan, tidak kunjung disahkannya RUU yang menjadi kebutuhan publik memantik pertanyaan dasar, hukum itu sebenarnya untuk siapa dan bagaimana perumusan hukum yang baik. Ia mencontohkan RUU TPKS yang terus-menerus dipolitisasi dengan miskonsepsi yang menyesatkan masyarakat.
Ia menilai hal itu salah satunya karena paradigma positivisme hukum yang dominan dalam pendidikan hukum di Indonesia. Akibatnya, dalam pembentukan hukum, esensi atau substansi hukum kerap kali terpisahkan dari eksistensi hukum.
”Dalam kekerasan seksual, misalnya, cara berpikir KUHP menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan, dan dikaitkan dengan pengatasnamaan terhadap agama, sehingga ini menjadi isu politik. Seharusnya mereka yang menentang RUU ini juga melihat kekerasan seksual ini sebagai kekerasan terhadap kemanusiaan,” ucapnya.
Terus berproses
Willy Aditya mengatakan, RUU TPKS mulai berproses di DPR. Pekan depan, Baleg akan menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS. ”Diharapkan RUU ini tuntas pada masa sidang ini,” katanya.
Diharapkan RUU ini tuntas pada masa sidang ini.
KOMPAS/RINI KUSTIASIH
Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya saat memimpin rapat Baleg DPR secara virtual, Senin (12/7/2021).
Willy pun membantah bahwa DPR tidak peduli dengan RUU-RUU yang menjadi kebutuhan publik. Sebagai contohnya, RUU TPKS sempat mati suri karena diusulkan sejak 2014. Namun, Fraksi Nasdem mengusulkan kembali RUU ini untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Untuk RUU ITE dan RUU PDP, menurut dia, dua-duanya adalah usulan pemerintah. Ada batasan satu komisi dapat membahas satu RUU usulan pemerintah dan satu RUU usulan DPR. Namun, karena dua-duanya adalah usulan pemerintah, RUU ITE baru akan dibahas setelah RUU PDP selesai dibahas.
”Solusinya menyelesaikan RUU PDP adalah dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat sipil, untuk mendukung agar otorita perlindungan data pribadi dilakukan oleh lembaga yang independen,” katanya.