Indonesia Tolak Intervensi Asing dalam Penyelesaian Konflik Dalam Negeri
Indonesia mengajukan beberapa perubahan, di antaranya klausul yang menyebutkan pelibatan aktor internasional dalam penyelesaian konflik dalam negeri yang tidak kunjung tuntas. Hal itu pun didukung beberapa negara.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Indonesia menolak pelibatan aktor internasional dalam penyelesaian konflik dalam negeri yang ada dalam klausul resolusi konflik dan pembinaan perdamaian abadi yang dirumuskan dalam sidang Komite Perdamaian dan Keamanan Internasional Inter-Parliamentary Union. Mekanisme penyelesaian konflik harus menghormati kepentingan nasional masing-masing.
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR yang juga anggota Komite Perdamaian dan Keamanan Internasional Inter-Parliamentary Union (IPU) Mardani Ali Sera mengatakan, delegasi parlemen anggota IPU telah menyepakati resolusi yang membahas tentang pendekatan penyelesaian konflik dan pembinaan perdamaian abadi. Resolusi terdiri dari 30 pasal yang dinilai telah mengakomodasi kepentingan nasional setiap negara, termasuk Indonesia. ”Ada dua usulan Indonesia yang diterima dan masuk dalam draf perubahan,” kata Mardani di Bali International Convention Centre (BICC), Kabupaten Badung, Bali, Rabu (23/3/2022).
Ia menambahkan, sebelum disepakati semua delegasi, draf resolusi berisi 78 pasal. Dari 78 pasal itu, Indonesia mengajukan beberapa perubahan, di antaranya klausul yang menyebutkan pelibatan aktor internasional dalam penyelesaian konflik dalam negeri yang tidak kunjung tuntas. Namun, tidak ada kejelasan prosedur dan mekanisme pelibatan aktor internasional tersebut. Independensi aktor yang terlibat pun belum tentu bisa dipastikan.
Menurut Mardani, usulan Indonesia didukung beberapa negara. Di antaranya, India, Argentina, Afrika Selatan, dan Bahrain. ”Kami meminta klausul itu untuk dihapus karena sama saja dengan membuka ruang intervensi aktor lain dalam urusan dalam negeri,” kata Mardani.
Selain terkait pelibatan aktor internasional, Indonesia juga mengajukan penghapusan klausul bahwa parlemen dunia berhak untuk menanyakan bujet pertahanan sebuah negara. Sebab, hal itu terkait dengan kedaulatan negara yang semestinya tidak diusik oleh negara lain.
Mardani menambahkan, resolusi ini merupakan upaya IPU untuk membuat mekanisme penyelesaian konflik, pembinaan perdamaian, dan keamanan internasional yang stabil untuk setiap negara. Meski tidak mengikat, resolusi bisa menjadi panduan bagi parlemen di setiap negara.
Pengajar hubungan internasional di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Teuku Rezasyah, mengatakan, dalam forum-forum parlemen regional dan dunia, para delegasi memang sulit untuk menghasilkan resolusi konflik.
Pengajar hubungan internasional di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Teuku Rezasyah, mengatakan, dalam forum-forum parlemen regional dan dunia, para delegasi memang sulit untuk menghasilkan resolusi konflik. Sebab, semua negara memiliki kepentingan nasional yang penafsirannya sangat individualistik. Kepentingan nasional pun sangat dinamis bergantung pada pemimpin.
Oleh karena itu, produk resolusi yang dihasilkan di IPU patut diapresiasi. Resolusi itu bisa menjadi inspirasi bagi negara sebab pengambilan keputusan di level eksekutif selalu dikonsultasikan dengan parlemen. ”Jadi, kalaupun resolusi ini bersifat normatif, tetapi mengandung nilai idealisme, politik, dan kritik terhadap dunia yang selama ini dinilai belum adil,” kata Rezasyah.
Sementara itu, di sela-sela rangkaian sidang, Ketua DPR Puan Maharani mengadakan pertemuan bilateral dengan parlemen dari delapan negara, yakni Thailand, Timor Leste, Kuwait, Sri Lanka, Qatar, Tanzania, Malawi, dan Guyana. Dalam pertemuan dengan Ketua Parlemen Republik Demokratik Timor Leste Ancieto Longuinhos, Puan menyinggung persoalan perbatasan negara antara Indonesia dan Timor Leste yang belum selesai hingga saat ini.
”Saya berharap kita dapat menyelesaikan negosiasi perbatasan kedua negara yang tertunda karena pandemi. Kami meminta dukungan dari Timor Leste untuk mempercepat penyelesaian penentuan perbatasan darat di Segmen Noel Besi-Citrana dan Segmen Bijael Sunan-Oben,” kata Puan.
Terkait dengan kerja sama parlemen, Puan kembali menyampaikan dukungan Indonesia atas keanggotaan Timor Leste di ASEAN serta Parlemen Timor Leste ke AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). Ia pun berharap, Indonesia terus dilibatkan dalam pembangunan di Timor Leste, termasuk dalam pembangunan infrastruktur.
Kebebasan sipil
Selain penyelesaian konflik, isu kebebasan sipil di tengah pandemi Covid-19 juga menjadi sorotan dalam salah satu sidang Komite Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) IPU Ke-144. Delegasi yang berasal dari Eropa atau Twelve Plus Group mempertanyakan sejumlah kebijakan kesehatan yang dilakukan tanpa meminta persetujuan masyarakat. Misalnya, kewajiban mengikuti vaksinasi Covid-19, pembatasan kegiatan, dan penggunaan teknologi untuk memantau aktivitas warga.
Atas nama pandemi Covid-19 dan penyelamatan populasi, sejumlah kebijakan tersebut dibuat tanpa memperhatikan aspirasi publik. Padahal, dalam negara demokrasi, pengambilan setiap keputusan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi publik.
Selain itu, suasana penuh ketakutan dan ketidakpastian menjadi kesempatan bagi pihak yang ingin mengeksploitasi kohesi sosial masyarakat, misalnya dengan menyebarkan hoaks seputar Covid-19 melalui media sosial. Dalam konteks tersebut, parlemen ditantang untuk merumuskan respons yang tepat dalam situasi darurat dan seimbang dengan jaminan kebebasan individu.
Mardani yang juga anggota Komite Demokrasi dan HAM IPU mengatakan, pembicaraan terkait kebebasan sipil dan kebijakan kesehatan di tengah pandemi Covid-19 masih terus berkembang. Dalam pandangan Indonesia, kebijakan kesehatan untuk menangani Covid-19 perlu dilihat dari perspektif kebaikan bersama. Indonesia tidak bisa semata-mata mempertimbangkan HAM, kemudian membiarkan warga mengabaikan tindakan kesehatan. Pandangan itu diamini delegasi sejumlah negara, di antaranya India, Mesir, dan Arab Saudi.
Pembicaraan terkait kebebasan sipil dan kebijakan kesehatan di tengah pandemi Covid-19 masih terus berkembang. Dalam pandangan Indonesia, kebijakan kesehatan untuk menangani Covid-19 perlu dilihat dari perspektif kebaikan bersama.
”Memang, terdapat perbedaan paradigma di antara sejumlah negara. Perbedaan dua paradigma (dalam memandang kebijakan kesehatan di masa pandemi Covid-19) ini yang masih harus diselesaikan,” kata Mardani.
Ia menambahkan, diskusi dan perdebatan ini memang belum tuntas. Komite baru akan merumuskan draf yang pembahasannya dilanjutkan pada sidang ke-145 IPU di Rwanda akhir 2022 mendatang. Indonesia juga terpilih sebagai pelapor yang akan memimpin pembahasan di sidang berikutnya.