Binary option adalah transaksi di pasar sekunder dengan underlying mata uang asing atau emas yang teregulasi secara ketat. Namun, korban Binomo telah mencapai ribuan orang. Inilah momentum membersihkan semuanya.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Maru Nazara duduk termenung di sudut ruangan, Rabu (16/3/2022) malam. Saya menghampiri dan menyapa. Ia berdiri dengan tongkat dan memperkenalkan diri dan berucap lirih, ”Saya Maru, korban Binomo.” Maru, warga Nias yang sudah lama tinggal di Jakarta. Ia pedagang masker kain online. Ia mengaku terbujuk Indra Ken, afiliator opsi biner, Binomo, setelah menonton Youtube Indra. Ia mengaku tak kenal Indra dan tak pernah bertemu crazy rich dari Medan itu.
Dari uang 1 juta rupiah yang ditanamkan di Binomo, meningkat jadi belasan juta rupiah, puluhan juta rupiah, dan ratusan juta rupiah, sampai kemudian Rp 500 juta yang ditanamkan, dan kemudian amblas. ”Saya sadar bahwa saya tertipu. Mereka ternyata menggunakan saldo palsu,” ucapnya lirih. Kesadarannya terlambat. Ia pun melapor ke polisi.
Ia menceritakan dalam percakapan grup telegram selalu ada upaya memotivasi dan terus investasi jika kalah dalam tebakan opsi biner. Binary option adalah transaksi di pasar sekunder dengan underlying mata uang asing atau emas yang teregulasi secara ketat.
Korban Binomo dan Quatek mencapai ribuan orang. Menurut Maru, yang kini menjadi koordinator korban, ada salah seorang anggota yang kehilangan uang sampai Rp 20 miliar.
Baca Juga: Besok Polisi Periksa Afiliator Binomo, Doni SalmananPengikut opsi biner mengaku tersihir dengan kekayaan yang dipamerkan Indra dan para influencer yang hobinya pamer harta. ”Siapa yang tak ingin mendapatkan profit besar tanpa harus kerja keras,” ujar korban yang lain. Cuan atau untung. Kerja rebahan, duit miliaran. Kerjanya HP-an, duitnya miliaran, jadi kata-kata ajaib yang menyihir generasi insecure yang merasa belum aman nyaman dengan masa depan.
”Siapa yang tak ingin mendapatkan profit besar tanpa harus kerja keras”
Indra dan Donny, salah dua dari banyak influencer yang dinobatkan media sebagai Crazy Rich atau Auto Sultan, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Keduanya dijerat pasal pidana pencucian uang. Semua asetnya disita. Ini beda dengan koruptor.
Cerita soal investasi bodong, opsi biner, robot trading, yang menjamur di kala pandemi Covid-19, mengingatkan saya pada pernyataan seorang motivator yang memperkenalkan istilah pesugihan zaman now. Motivator itu meng-endorse robot trading untuk perdagangan valuta asing yang kemudian berhenti beroperasi. Entah bagaimana pertanggungjawaban moral motivator itu.
Zaman dahulu, pesugihan sering dimaknai sebagai tuyul, makhluk halus yang digambarkan sebagai pencuri uang tetangga. Orang yang tiba-tiba kaya digosipin orang kampung memelihara tuyul. Pada zaman sekarang, pesugihan zaman now bertransformasi jadi opsi biner atau robot trading.
Pengulangan sejarah bangsa
Cerita soal Indra hanyalah pengulangan sejarah bangsa ini. Model investasi bodong sudah ada sejak republik ini berdiri. Tajuk Rencana harian Kompas, 30 Oktober 1968—54 tahun lalu—pernah menulis begini, ”Para pemilik uang masih dihinggapi sikap spekulasi tanpa perhitungan tangguh. Semboyan yang mendorongnya ialah ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya atau dirumuskan dapat untung besar hanya dengan goyang-goyang kaki.”
Pada 1968, Kompas menulis kisah Sinar Semesta, pemborong bangunan di Jakarta yang mencari anggota untuk menitipkan dananya dengan pengembalian besar. Setelah uang terkumpul, kaburlah penggalang dana itu. Tahun 1992, ada kisruh soal Suti Kelola yang bergerak di bidang penjualan barang rumah tangga secara kredit. Tahun 1998 ada yayasan keluarga adil makmur, yang juga menilep uang titipan nasabah yang jumlahnya mencapai 74.000 nasabah.
Di tahun 2002 ada investasi abal-abal Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) dengan underlying perkebunan. QSAR menggaet 6.000-an investor dan Rp 500 miliar dana. QSAR diendorse sejumlah tokoh politik di republik ini. QSAR ambruk dan dana pun amblas.
Mengutip Muhammad Fatahillah Akbar di harian Kompas, 17 Maret 2022, Kejahatan merupakan bayangan dari peradaban yang sedang berkembang. (Crime is the shadow of civilization). Kecintaan berlebihan pada uang berlebihan adalah ibu dari kejahatan. Pesugihan bertransformasi dari tuyul jadi opsi biner atau robot. Endorser berubah seiring dengan zaman. Kalau pada QSAR melibatkan tokoh politik, kini influencer yang kaya dadakan.
”Inilah banalitas kejahatan yang harus dihentikan,” ujar seorang duta besar. Keinginan cepat kaya di tengah pandemi yang menekan, memunculkan generasi instan yang merasa galau dan insecure dengan masa depan. Situasi psikologis ini dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk mencari dana cepat. Entah hanya untuk memperkaya diri atau kepentingan lain termasuk dana politik. Cerita itu mengingatkan Tujuh Dosa Sosial yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi, politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan peribadatan tanpa pengorbanan. Kata-kata Gandhi terasa pas mencermati munculnya generasi pemburu cuan tanpa kerja keras.
Sejarah bangsa mengajarkan, investasi abal-abal terus berulang. Skandal industri keuangan terus berulang secara periodik. Skandal Bank Bali (1999), skandal BLBI (1998-2002), pembobolan Bank BNI oleh Maria Pauline Lumowa (2002), skandal Bank Century (2008), dan skandal investasi Jiwasraya yang dibongkar Menteri BUMN Erick Thohir. Entah sampai kapan sejarah terus berulang tanpa kuasa untuk menghentikannya. Apakah motifnya ekonomi dan mencari dana politik, biarlah polisi
mengungkapnya. Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan tak menutup kemungkinan adanya elite politik yang ikut terlibat sadar atau tidak sadar.
”Inilah banalitas kejahatan yang harus dihentikan”Ini momentum untuk membersihkan semuanya. Bukan hanya afiliator, melainkan juga big boss-nya, otak dari itu semua.