Ketua MPR Meyakinkan Hanya Seputar PPHN, Tanpa Susupkan Pasal Lain
Ketua MPR Bambang Soesatyo meyakinkan publik agar tak khawatir ada perubahan pasal lain, di luar wacana PPHN, yang disusupkan dalam amendemen. Namun, pengamat politik memandang upaya itu tetap berpotensi jadi bola liar.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun secara hukum ketatanegaraan syarat melakukan amendemen konstitusi sangat ketat, secara politik hal itu mungkin saja dilakukan sehingga membuka celah bagi terbukanya kotak pandora dalam perubahan pasal-pasal lain pada konstitusi di luar rencana mengatur Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsensus politik yang menjadi pagar bagi amendemen konstitusi untuk memastikan upaya pengaturan mengenai PPHN tidak menjadi bola liar.
Sesuai dengan target Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR diharapkan dapat menyelesaikan hasil kajian mereka tentang PPHN kepada MPR pada April 2022. Setelah hasil kajian itu diterima oleh pimpinan MPR, selanjutnya proses politik yang akan lebih banyak menentukan kelanjutan wacana tersebut.
Terkait hal ini, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, lembaganya akan bekerja sesuai dengan tujuan awal, yakni mengatur penetapan PPHN oleh MPR. Namun, bagaimana bentuk hukum dari hal itu, apakah melalui undang-undang atau ketetapan (Tap) MPR, hal tersebut akan ditentukan melalui dinamika politik di antara pimpinan partai politik dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
”Kami bekerja sesuai jadwal. Semoga April 2022 kajian itu dapat kami terima. Selanjutnya, kami akan mengomunikasikan hasil kajian itu kepada pimpinan parpol dan DPD untuk dimintakan masukan. Apakah nantinya PPHN itu diatur di dalam UU ataukah di dalam Tap MPR, itu bergantung pada dinamika politik yang berkembang,” tutur Bambang, Jumat (18/3/2022), saat dihubungi dari Jakarta.
Menyikapi kekehawatiran mengenai terbukanya ”kotak pandora” dengan upaya amendemen konstitusi melalui pengaturan PPHN, Bambang menyebutkan, hal itu tidak bisa serta-merta dilakukan. Sebab, ada syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 37 UUD 1945. Minimal, perubahan konstitusi itu harus diusulkan oleh sepertiga dari anggota MPR, diajukan secara tertulis, dengan argumentasi jelas, dan secara jelas menyebutkan pasal mana yang ingin diubah.
Perubahan pasal yang secara tiba-tiba dilakukan atau di luar usulan awal tidak bisa dilakukan karena harus tetap melalui mekanisme pengusulan amendemen.
Seandainya pimpinan parpol dan DPD menyepakati amendemen konstitusi dilakukan untuk mengatur penetapan PPHN, tidak bisa serta-merta dimasukkan perubahan terhadap pasal lainnya. Sebab, mekanisme pengusulan perubahan pasal di dalam konstitusi itu harus dimulai dari nol lagi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 37.
”Kalau sejak awal disepakati ada perubahan pasal di konstitusi untuk PPHN, itu tidak bisa berubah di tengah jalan. Usulan untuk mengubah pasal-pasal lainnya di konstitusi harus melalui mekanisme awal, yakni pengusulan oleh sepertiga anggota MPR. Tidak bisa satu usulan itu berubah di tengah jalan begitu saja lalu mengubah pasal-pasal lainnya,” katanya.
Bambang menambahkan, konstitusi hasil amendemen keempat telah memberikan garis-garis yang jelas tentang bagaimana perubahan konstitusi itu dapat dilakukan. Perubahan pasal yang secara tiba-tiba dilakukan atau di luar usulan awal tidak bisa dilakukan karena harus tetap melalui mekanisme pengusulan amendemen. Oleh karena itu, menurut dia, publik tidak perlu khawatir adanya ”penyusupan” perubahan pasal-pasal lain di dalam konstitusi di luar wacana PPHN.
”Kalau nanti memang ada usulan lain di luar PPHN, ya, dilihat dulu. Belum tentu itu disetujui karena harus dilihat dulu aturannya. Harus diusulkan sepertiga anggota MPR, rapat paripurna dihadiri dua pertiga anggota MPR, dan disetujui 50 persen plus 1 anggota MPR,” kata Bambang.
Mengenai bentuk hukum PPHN itu pun, lanjut Bambang, harus dikomunikasikan dulu kepada pimpinan parpol dan DPD. Ada dua opsi yang sementara ini mengemuka, yakni dalam bentuk undang-undang dan Tap MPR.
Jika dalam bentuk UU, tidak perlu ada amendemen konstitusi dilakukan. Namun, jika diatur melalui Tap MPR, setidaknya ada penambahan satu ayat dalam Pasal 3 mengenai kewenangan MPR dan satu ayat dalam Pasal 23, yang mengatur soal kewenangan DPR dan pemerintah terkait pembahasan anggaran negara.
”Publik sebaiknya tidak terlalu khawatir berlebihan terhadap wacana pengaturan PPHN ini disusupi perubahan pasal-pasal lain karena konstitusi telah memberikan syarat ketat dalam perubahan konstitusi,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan, saat ini timnya tengah merumuskan kajian PPHN. Adapun bentuk hukumnya, apakah UU ataukah Tap MPR, akan diserahkan kepada pimpinan MPR.
”Semoga April ini bisa kami serahkan kepada pimpinan MPR. Selanjutnya nanti proses politik di MPR yang berjalan, apakah ini akan diwujudkan dalam bentuk UU atau Tap MPR,” katanya.
Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, menurut Rambe, tidak sampai pada mengerucutkan bentuk hukum terbaik untuk PPHN. Sebab, itu akan dikembalikan kepada keputusan politik MPR. Sesuai mekanismenya, pimpinan MPR akan meminta pendapat fraksi-fraksi di MPR melalui rapat gabungan setelah menerima hasil kajian dari Badan Kajian MPR dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR.
Kendati telah ada syarat yang ketat untuk melakukan amendemen konstitusi, konsensus politik di internal MPR harus terlebih dulu dibangun.
Buat konsensus
Kendati telah ada syarat yang ketat untuk melakukan amendemen konstitusi, konsensus politik di internal MPR harus terlebih dulu dibangun untuk menghindari kemungkinan amendemen itu menjadi bola liar dalam dinamika politik.
Menurut Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Umbu Rauta, konsensus politik itu dilakukan untuk memberikan batasan pasal mana yang akan diubah di dalam konstitusi. Dengan konsensus itu, perubahan lain terhadap pasal-pasal di luar yang terkait dengan kesepakatan tersebut tidak dapat dilakukan.
”Sekalipun untuk mengubah konstitusi harus dilakukan mekanisme politik hukum ketatanegaraan yang ketat, secara politis hal itu bisa saja mudah dilakukan kalau memang sudah ada kesepakatan di antara elemen politik. Karena itu, hal ini masih berpotensi menjadi bola liar,” katanya.
Untuk membentengi wacana PPHN menjadi bola liar, menurut Umbu, sebuah konsensus politik di internal MPR perlu dibangun. Pada amendemen konstitusi, 1999, konsensus serupa pernah dibangun dan ditaati oleh semua anggota MPR ketika itu. Konsensus yang dibangun ketika itu ada lima hal, antara lain amendemen untuk menegaskan sistem presidensial, penghapusan bagian penjelasan karena dimasukkan menjadi bagian dari batang tubuh, dan perubahan melalui adendum atau kesepakatan bersama.
”Dulu pernah ada konsensus semacam itu, dan itu berjalan. Maka, untuk memastikan amendemen konstitusi hanya soal PPHN, konsensus serupa perlu dibuat MPR untuk menjamin isu amendemen konstitusi ini tidak membuka kotak pandora,” kata Umbu.
Selain konsensus politik di internal MPR, Presiden sebagai Kepala Negara, menurut Umbu, dapat pula membuat pernyataan menegaskan sikap negara yang mendukung perubahan konstitusi sebatas pada PPHN. ”Akan lebih baik lagi jika ada pula konsensus partai politik terkait hal ini sehingga benar-benar ada jaminan bagi publik bahwasanya amendemen ini hanya untuk PPHN, dan bukan untuk yang lain,” ucapnya.