Terbuka Peluang Penetapan Haluan Negara Tanpa Amendemen Konstitusi
Opsi undang-undang sebagai dasar hukum haluan negara tak perlu amendemen konstitusi. Ketetapan MPR pun dinilai dimungkinkan tanpa melalui amendemen.
JAKARTA, KOMPAS - Sikap sejumlah fraksi di MPR yang meminta penundaan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tidak menghentikan kajian yang tengah dilakukan oleh Badan Pengkajian MPR. Kajian sudah hampir tuntas dengan dua opsi payung hukum bagi PPHN. Kedua opsi yang ada dinilai memungkinkan dijalankan tanpa harus melalui amendemen konstitusi.
”Kami sudah pada tahap pembentukan tim perumus untuk memfinalisasi hasil kajian kita tentang bentuk hukum ataupun substansi PPHN. Sudah 90 persen materi tersusun, kami berharap bulan depan selesai dan setelah Lebaran bisa disampaikan kepada pimpinan MPR,” ujar Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat saat dihubungi, Kamis (17/3/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menurut dia, pengkajian harus dituntaskan karena hal itu sudah ditugaskan oleh pimpinan MPR. Soal apakah nantinya hasil dari kajian tersebut akan ditindaklanjuti oleh MPR periode sekarang atau ditunda dan baru dilaksanakan oleh MPR periode 2024-2029 diserahkan kepada pimpinan MPR.
Pada Rabu (16/3), sejumlah fraksi, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan penundaan amendemen untuk PPHN, Kompas (17/3/2022). Salah satunya karena amendemen rawan melebar ke pasal-pasal lain di konstitusi. Apalagi belakangan muncul usulan penundaan Pemilu 2024 yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden.
Baca juga: Fraksi PDI-P di MPR Mengusulkan agar Amendemen Ditunda
Djarot menegaskan, kajian oleh Badan Pengkajian MPR hanya terkait haluan negara. Tidak pernah ada bahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden-wakil presiden. Setiap usulan amendemen pun seharusnya melalui kajian matang dan mendalam seperti halnya untuk PPHN. "Untuk mengajukan amandemen idealnya harus melalui kajian yang mendalam, tidak bisa sembarangan, dan harus memikirkan kepentingan bangsa negara ke depan, bukan kepentingan individu maupun kelompok dan prosesnya melibatkan semua pemangku kepentingan," tuturnya.
Terkait PPHN, dari kajian sementara, menurut Djarot, ada dua opsi payung hukum untuk PPHN. Opsi dimaksud adalah ketetapan MPR atau undang-undang. Pembentukan undang-undang tidak membutuhkan amendemen konstitusi. Begitu pula ketetapan MPR dimungkinkan tanpa melalui amendemen.
Menurut dia, ada pakar hukum tata negara yang menyampaikan hal tersebut meski ada pula pakar yang menilai amendemen dibutuhkan agar MPR bisa menerbitkan ketetapan MPR, terutama yang isinya mengikat lembaga lain. Kedua opsi payung hukum itu termasuk yang diserahkan ke pimpinan MPR untuk menindaklanjutinya. ”Kami tidak memiliki kewenangan menentukan bentuk hukumnya karena sifatnya merupakan kajian,” kata Djarot.
Kajian akademisi
Dua opsi payung hukum untuk PPHN itu berkaca pula pada hasil kajian para pakar dari sejumlah perguruan tinggi. Setidaknya ada delapan perguruan tinggi yang diminta membuat kajian terkait PPHN oleh Badan Pengkajian MPR. Kedelapan kampus tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Hasanuddin, Universitas Mulawarman, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Jenderal Soedirman. Hasil kajian tersebut bisa dilihat di laman resmi MPR.
Kesimpulan kajian dari Fakultas Hukum UGM misalnya menyebutkan, tidak ditemukan dasar yang kuat untuk mengembalikan kewenangan MPR membentuk haluan negara. Hal ini disebabkan wacana pemberlakuan kembali haluan negara akibat Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dianggap tidak menjamin kebersinambungan pembangunan masih didasarkan pada asumsi. Justru penetapan penetapan haluan negara oleh MPR tidak menjamin materi muatannya akan selaras dan berkesinambungan karena kekuatan politik di MPR sangat dinamis. Dominasi partai politik yang duduk di MPR bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu sehingga bisa berdampak pada konten haluan negara yang dibentuk tidak berkelanjutan. Bahkan sekalipun komposisi MPR pada masa lalu relatif sama, haluan negara yang dibentuknya juga tidak sepenuhnya selaras dan konsisten.
Haluan negara yang dibentuk MPR dalam sistem pemerintahan presidensial pun bisa menyebabkan ketidakselarasan antara sistem presidensial dengan model haluan negara yang memberikan peran kuat pada MPR dalam menentukan haluan negara. Model haluan negara yang dibentuk MPR dianggap sangat mencerminkan sistem parlementer, apalagi jika ada konsekuensi hukum dan politik jika presiden dianggap tidak menjalankan haluan negara tersebut.
Menurut anggota Tim Kajian dari Fakultas Hukum UGM, Richo Andi Wibowo, membenarkan kajian UGM itu. Ia menekankan, tidak ada urgensi untuk membentuk ketetapan MPR. Sebab, kewenangan pembentukan ketetapan MPR yang bersifat mengatur tidak dilandasi dasar hukum yang kuat. MPR pun tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan berubahnya posisi MPR dalam struktur ketatanegaraan, maka hilang pula legitimasi bagi MPR untuk membentuk produk hukum yang berada di atas undang-undang dan di bawah UUD 1945. Selain itu, MPR dianggap sudah berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang melalui anggota DPR dan DPD yang pada dasarnya juga merupakan anggota MPR.
”MPR sudah tidak lagi lembaga tertinggi negara sehingga presiden bukan dalam posisi diperintah dan bertanggung jawab kepada MPR,” katanya. Jika kemudian PPHN ditetapkan oleh MPR melalui ketetapan MPR dan tidak berkonsekuensi kepada presiden, justru bisa mengaburkan status hukumnya. Jika konsep status hukumnya tidak bisa dijelaskan, maka PPHN sejatinya tidak perlu dibuat. ”Mengapa kita membuat sesuatu yang tidak wajib dijalankan?” ujar Richo.
Adapun kajian dari Universitas Airlangga menyimpulkan, pilihan bentuk hukum haluan negara dapat dituangkan dalam bentuk ketetapan MPR atau undang-undang. Meski demikian produk hukum apapun yang dipilih jangan dijadikan alat untuk evaluasi dan pengawasan presiden yang berujung sebagai bentuk relasi yang menempatkan MPR lebih tinggi dari presiden. Oleh karena itu, menghidupkan kembali haluan negara sebagai konsensus bersama dapat dilakukan dengan batasan tidak dimaksudkan sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, tetapi menjadi pedoman dalam perencanaan kebijakan dan program pembangunan oleh Presiden.
Sementara itu, kajian dari Universitas Sebelas Maret menyebutkan, perlunya penguatan tugas dan wewenang MPR sebagai lembaga negara. Menghidupkan kembali haluan negara dalam ketetapan MPR, disertai dengan sanksi melalui mekanisme pemakzulan, dengan memuat pola pembangunan yang berkelanjutan, merupakan formulasi ideal untuk dapat mendudukkan lagi eksistensi MPR sebagai lembaga negara yang fundamental.
Kajian Universitas Jenderal Soedirman juga menyimpulkan perlu dibentuk haluan negara atau nama lainnya yang dalam proses pembentukannya melibatkan DPR, DPD dan Presiden dan ditetapkan dengan Keputusan MPR. Adapun kajian Universitas Hasanuddin mengingatkan, kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara sifatnya harus berbeda dengan masa sebelum reformasi sehingga Presiden tidak terjebak pada pertanggungjawaban kepada MPR.
Revisi undang-undang
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai, PPHN lebih baik diatur melalui undang-undang. Sebab, amendemen konstitusi dikhawatirkan disusupi kepentingan untuk penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Selain itu, ia melihat tidak ada momentum konstitusional saat ini karena rakyat tengah pusing memikirkan isu lain di depan mata, seperti langka dan mahalnya minyak goreng.
Baca juga: Sejarah Konstitusi di Indonesia: Dari Lahirnya UUD 1945 Hingga Amendemen
”Kalau memang ada keinginan mengubah secara struktural di level undang-undang saja. Partisipasi publik bisa lebih maksimal sebab proses legislasi sebenarnya lebih partisipatif dari amendemen,” ujar Bivitri.
Jalan undang-undang yang dimaksudnya adalah melalui revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Selain bisa memastikan unsur partisipasi, publik juga bisa lebih mengawasi jalannya pembahasan karena isunya spesifik sehingga kemungkinan masuknya isu lain cukup kecil.
Bahkan, jika ada kekhawatiran soal keberlanjutan pembangunan setelah era Presiden Joko Widodo, pemerintah dan DPR bisa mengusulkan revisi kedua undang-undang tersebut sebelum periode pemerintahan saat ini berakhir pada 2024. ”Jadi siapa pun pengganti Jokowi, pembangunan nasional bisa lebih terkontrol,” ujarnya.