Penerimaan pengaduan masyarakat oleh Ombudsman RI 2021 sebanyak 7.186 laporan. Jumlah tersebut meningkat dari 2020 yang mencapai 7.146 laporan. Meski demikian, peran ORI masih perlu terus diperkuat dengan revisi UU ORI.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan dari masyarakat kepada Ombudsman Republik Indonesia atau ORI pada 2021 meningkat dibandingkan 2020. Peran Ombudsman yang penting dalam mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN perlu diperkuat dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih mengungkapkan, penerimaan laporan/pengaduan masyarakat pada 2021 sebanyak 7.186 laporan. Jumlah tersebut meningkat dari 2020 yang mencapai 7.146 laporan.
”Paling banyak (instansi terlapor) pemda (pemerintah daerah) sebesar 33,89 persen,” kata Najih dalam diskusi publik Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2021, Kamis (17/3/2022).
Berdasarkan dugaan malaadministrasi, laporan terbanyak terkait dengan penundaan berlarut sebanyak 996 laporan, tidak memberikan pelayanan 850 laporan, dan penyimpangan prosedur 635 laporan. Apabila dilihat berdasarkan substansi, pengaduan tertinggi terkait dengan agraria sebanyak 1.228 laporan, kepegawaian 876 laporan, dan kepolisian 681 laporan.
Paling banyak (instansi terlapor) pemda (pemerintah daerah) sebesar 33,89 persen.
Najih menjelaskan, sebagai upaya pencegahan malaadministrasi, Ombudsman melaksanakan penilaian kepatuhan pemenuhan standar layanan untuk mengetahui kualitas pelayanan publik secara nasional. Dalam rangka menyelesaian isu-isu terkini, Ombudsman melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terkait pelayanan publik yang berdampak sistematisasi dengan memberikan tindakan korektif.
Bupati Bogor Ade Yasin yang hadir dalam kegiatan ini mengakui pernah diwawancarai Ombudsman RI terkait persoalan pelayanan publik. Menurut Ade, ada banyak persoalan pelayanan publik yang seharusnya bisa diselesaikan, termasuk yang pernah dilontarkan Ombudsman.
Salah satunya, persoalan pengungsi warga negara asing yang mencari suaka di daerah Puncak. Menurut Ade, para pengungsi tersebut seharusnya dipindahkan ke lokasi yang bisa digunakan untuk bercocok tanam sebagai lapangan kerja untuk mereka.
Melalui tayangan video, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, sebelum era reformasi, penyelenggaraan negara dan pemerintahan dipandang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Semakin meningkatnya perilaku KKN akan mengakibatkan pelayanan publik semakin jauh dari berkualitas.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bebas dari KKN, diperlukan lembaga yang berfungsi untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap praktik KKN.
Mahfud mengatakan, langkah-langkah represif melalui penegakan hukum yang selama ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian dianggap belum begitu efektif tanpa ada pencegahan seperti yang dibebankan penugasannya kepada Ombudsman.
”Oleh sebab itu, lahirnya Ombudsman ini harus dipandang sebagai terobosan baru dari sudut ketatanegaraan di Indonesia. Tentu saja untuk mengedepankan pendekatan lain dalam mencegah praktik KKN,” kata Mahfud.
Oleh sebab itu, lahirnya Ombudsman ini harus dipandang sebagai terobosan baru dari sudut ketatanegaraan di Indonesia. Tentu saja untuk mengedepankan pendekatan lain dalam mencegah praktik KKN.
Ia menegaskan, awal terjadinya KKN dimulai dengan adanya malaadministrasi. Malaadministrasi merupakan perilaku buruk yang menyimpang dari norma dan peraturan perundang-undangan. Meskipun tidak semua perilaku malaadministrasi sudah terbukti menjadi perilaku koruptif atau kolutif, perilaku malaadministrasi menjadi penghambat terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang kredibel, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari KKN.
Karena itu, kata Mahfud, diperlukan keberadaan pengawas eksternal yang secara efektif mampu mengidentifikasi dan menindaklanjuti perilaku malaadministrasi dari penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yaitu Ombudsman RI.
Balum optimal
Kepercayaan publik terhadap Ombudsman belum optimal. Sebab, kualitas rekomendasi dari Ombudsman belum menjadi acuan bagi masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan publik.
Menurut Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet Purnomo Sucipto, kepercayaan publik terhadap Ombudsman belum optimal. Sebab, kualitas rekomendasi dari Ombudsman belum menjadi acuan bagi masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan publik.
Ia menegaskan, kekuatan sanksi tergantung kewibawaan Ombudsman. Meskipun tidak mengikat, apabila rekomendasinya berwibawa, hal itu akan dijalankan. Purnomo mengakui, sulit untuk meningkatkan rekomendasi menjadi putusan yang bersifat mengikat. Sebab, Ombudsman bukan institusi dengan fungsi peradilan yang menggunakan hukum dalam penyelesaian masalah. Maksimal hanya sanksi pengumuman bagi terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi.
Menurut Purnomo, salah satu cara untuk memperkuat peran Ombudsman adalah melalui revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Jangka waktu UU ini sudah cukup lama sehingga tidak sesuai dengan perkembangan keadaan. Ketentuan yang dapat diubah misalnya penguatan fungsi pencegahan terjadinya malaadministrasi, tambahan sanksi pengumuman bagi pelanggar rekomendasi, serta penguatan organisasi dan sumber daya manusia.