Mal Pelayanan Publik Jadi Pintu Masuk Revitalisasi Reformasi Birokrasi
Setiap pemerintah daerah didorong membentuk mal pelayanan publik (MPP). Namun, kehadiran MPP diharapkan bukan sekadar fisik, melainkan mengubah pola pikir ASN dalam melayani publik.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
MANGGARAI BARAT, KOMPAS — Reformasi birokrasi perlu terus digulirkan dan diperkuat. Salah satu pintu masuk yang bisa dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, adalah menerapkan mal pelayanan publik.
”Saya harap mal pelayanan publik dijadikan sebagai pintu masuk revitalisasi reformasi birokrasi, apalagi reformasi birokrasi adalah salah satu prioritas program pemerintah,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan arahan kepada kepala dan wakil kepala daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Senin (14/3/2022).
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi yang turut hadir dalam acara itu bertindak sebagai moderator acara.
Perbaikan pelayanan publik, lanjut Wapres, sangat berpengaruh pada banyak hal. Persepsi kepuasan publik kepada pemerintah akan baik. Minat investasi pelaku ekonomi juga sangat bergantung pada pelayanan publik yang diberikan pemerintahnya. Di sisi lain, pelayanan publik yang baik dan akuntabel akan membentuk tata kelola pemerintahan yang bebas dari korupsi. Dorongan supaya semua kabupaten/kota segera membuat mal pelayanan publik pun terus digulirkan.
Dalam peta jalan penyelenggaraan mal pelayanan publik (MPP) yang disiapkan, periode 2017-2019 adalah pembentukan role model MPP. Tahun 2020-2021 menjadi periode untuk mengarusutamakan penyelenggaraan MPP di kabupaten/kota. Ditargetkan pada 2022 terbentuk 100 MPP baru. Tahun berikutnya terbentuk 150 MPP baru. Adapun pada 2024, terbentuk 100 MPP baru serta dilakukan integrasi sistem dan data antar-MPP.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat, sampai 2 Maret 2022, baru 52 MPP beroperasi di Indonesia, dengan rincian sebanyak 50 MPP terbentuk selama 2021, sedangkan tahun 2022 bertambah 2 MPP.
Dengan demikian, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, masih 462 kabupaten/kota yang masih harus membentuk MPP. Adapun dari 34 ibu kota provinsi, baru 9 yang sudah membangun MPP.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo yang mendampingi Wapres Amin dalam pertemuan dengan kepala-kepala daerah di NTT mengatakan, pelayanan publik tentu sudah dilaksanakan setiap bupati dan wali kota. Namun, kualitas layanan perlu ditingkatkan lagi, baik dari kecepatan, kemudahan, maupun tata kelola yang baik.
”Saya yang meresmikan mal pelayanan publik di Manggarai. Tetapi, calo tanah paling besar di sini. Sampai saya minta Bareskrim turun ke sini,” ujarnya.
Tjahjo menegaskan, pelayanan publik yang diberikan harus jelas prosedur ataupun durasi serta tarifnya. Biaya yang harus dibayarkan semestinya jelas.
Masalahnya, terkadang ada daerah yang mempunyai MPP, tetapi hanya gedungnya. Ada pula yang sudah mempunyai MPP dan beroperasi, tetapi tidak maksimal sebab pelayanan masih seperti dulu, pola pikir pun belum berubah.
Pola pikir belum berubah
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan, inti MPP adalah mendorong pelayanan yang cepat, mudah, dan mengurangi pertemuan fisik. Untuk itu, dalam petunjuk teknis dari Kemendagri, diarahkan supaya setiap daerah membentuk dinas khusus pelayanan penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu dalam bentuk MPP.
Masalahnya, kata Tito, terkadang ada daerah yang mempunyai MPP, tetapi hanya gedungnya. Ada pula yang sudah mempunyai MPP dan beroperasi, tetapi tidak maksimal sebab pelayanan masih seperti dulu, pola pikir pun belum berubah.
Daerah yang sudah mempunyai MPP bagus, sistem berjalan, dan pola pikir SDM benar-benar sudah berubah juga ada. Tito menyebut MPP Kabupaten Badung yang dinilai berjalan baik dengan SDM benar-benar melayani.
Ke depan, menurut Tjahjo, MPP bukan hanya semacam pelayanan terpadu satu pintu, melainkan pelayanan publik terintegrasi baik proses bisnis dan data pelayanannya melalui portal. Digitalisasi MPP akan memudahkan masyarakat mendapatkan layanan melalui portal. Pelacakan dokumen yang sedang atau selesai diproses juga lebih mudah. Operasional MPP juga dapat dipantau melalui dashboard pada aplikasi pengelola penyelenggaraan MPP.
Sebelum digitalisasi, selain masyarakat masih harus datang secara fisik, pelacakan dokumen manual dan data operasional terpisah, belum bisa dipantau secara nasional.
Dari 52 MPP yang sudah ada, 21 MPP masih melakukan proses pelayanan secara manual. Adapun 31 lainnya sudah mulai menjalankan layanan semi-digital. Saat ini belum ada satu pun MPP yang melakukan proses bisnis digital sepenuhnya.