MUI Belum Putuskan Terima Pengunduran Diri KH Miftachul Akhyar
Meski pengunduran diri KH Miftachul Ahyar dari posisi Ketua Umum MUI untuk menaati permintaan ”ahlul ahli wal aqdi” dalam Muktamar ke-34 NU, sejumlah pihak di internal MUI meminta agar ia mengurungkan niatnya mundur.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Ulama Indonesia atau MUI belum memutuskan terkait keinginan KH Miftachul Akhyar mundur dari posisi Ketua Umum MUI. Organisasi kemasyarakatan Islam itu harus mengadakan rapat internal terlebih dulu untuk mengambil sikap terbaik atas pengunduran diri Miftachul tersebut.
Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Syuhud mengatakan, bagaimana sikap MUI itu akan dirapatkan segera.
”Belum ada keputusan soal itu. Nanti akan dirapatkan sesuai dengan aturan organisasi. Sesuai AD/ART, sudah ada aturannya sehingga bagaimana baiknya itu akan dirapatkan terlebih dulu,” katanya, saat dihubungi, Minggu (13/3/2022), dari Jakarta.
Marsudi mengatakan, sekalipun surat pengunduran diri Miftachul Akhyar telah diterima sejak pekan lalu, hal itu diyakini tidak akan mengganggu kerja-kerja organisasi. Sebab, telah ada ketentuan di dalam AD/ART tentang bagaimana mekanisme organisasi berjalan.
Pada Rabu (9/3/2022), Miftachul dalam pengarahan pada rapat gabungan syuriyah, tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kampus Unusia, Parung, Kabupaten Bogor, mengatakan, dirinya telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Ketua Umum MUI. Pengunduran dirinya itu dilakukan untuk menaati permintaan dari ahlul ahli wal aqdi (AHWA) dalam Muktamar ke-34 NU, di Lampung, Desember 2021.
”Saat ahlul halli wal aqdi (AHWA) Muktamar ke-34 NU menyetujui penetapan saya sebagai rais Aam, ada usulan agar saya tidak merangkap jabatan. Saya langsung menjawab sami’na wa atha’na (kami dengarkan dan kami patuhi). Jawaban itu bukan karena ada usulan tersebut, apalagi tekanan,” katanya.
Di dalam Muktamar ke-34 NU memang ada permintaan khusus AHWA kepada Rais Aam PBNU terpilih 2022-2027, yakni agar tidak merangkap jabatan. Saat terpilih sebagai Rais Aam PBNU, Miftachul tengah menjabat juga sebagai Ketua Umum MUI.
Sementara itu, di internal MUI sendiri, pengunduran diri Miftachul ditanggapi beragam. Berbeda dengan Marsudi Syuhud, Waketum MUI lainnya, Anwar Abbas, menulis surat terbuka yang ditujukan kepada jajaran PBNU dan warga NU agar mengikhlaskan KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU, tetap mengemban amanah kepemimpinan umat Islam di MUI.
”Beliau Pak KH Miftachul Akhyar kami pilih untuk menjadi ketua umum kami di MUI dengan suara bulat tanpa ada lonjong sedikit pun,” katanya.
Nota keberatan juga disampaikan oleh MUI Jawa Timur. Surat bernomor A-13/DP-P/III/2022, tertanggal 9 Sya'ban 1443 H, yang bertepatan dengan 12 Maret 2022, ditandatangani oleh KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah (Ketua Umum MUI Jatim); dan Prof Akh Muzakki (Sekretaris Umum MUI Jawa Timur).
Dalam nota keberatan itu, disampaikan sejumlah pertimbangan, di antaranya perlunya Miftachul tetap di MUI demi kepentingan kemaslahatan yang lebih besar bagi agama, bangsa, dan negara. Hal lainnya, MUI masih memerlukan sosok KH Miftachul Akhyar untuk jabatan ketua umum yang mumpuni serta mampu merekatkan dan memperkuat persatuan serta kesatuan umat dan bangsa.
Taat asas
Dihubungi terpisah, Koordinator Jaringan Muslim Madani (JMM) Syukron Jamal mengatakan, internal MUI seharusnya lebih bijak menyikapi hal ini.
Miftachul dinilai telah memberikan contoh yang baik dengan taat pada keputusan organisasi. Hal itu pun patut diapresiasi.
”Solusinya saya kira kembali kepada asas organisasi masing (NU dan MUI),” katanya.
Keputusan mundur itu dipandang sebagai langkah yang baik. Tentu NU juga punya alasan kuat atas keputusan untuk tidak membolehkan rangkap jabatan agar fokus mengabdi di NU untuk kepentingan umat, termasuk mencegah adanya konflik kepentingan dengan badan institusi lain.
”Menjaga marwah pimpinan organisasi sebesar NU juga cukup menjadi alasan untuk tidak rangkap jabatan,” katanya.