Aturan Turunan UU IKN Belum Ada, Bambang-Dhony Belum Bisa Bekerja
Sesuai amanat UU IKN, tenggat penyelesaian aturan turunan UU IKN dua bulan sejak UU diundangkan, 15 Februari lalu. Tanpa aturan turunan, Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Bambang-Dhony bisa disalahkan jika sudah bekerja.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan turunan Undang-Undang Ibu Kota Negara sangat dibutuhkan setelah Presiden Joko Widodo melantik Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. Pemerintah diharapkan menyelesaikan aturan turunan tersebut dengan cepat, tetapi tidak terburu-buru dan tetap melibatkan publik.
Presiden Joko Widodo telah melantik Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe sebagai Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. Namun, sejauh ini aturan turunan UU IKN belum selesai. Salah satunya, mengacu Pasal 11 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara disebutkan, ketentuan mengenai struktur organisasi, tugas, wewenang, dan tata kerja Otorita Ibu Kota Negara Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden.
Aturan turunan UU IKN harus selesai dalam waktu dua bulan sejak UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, berharap pemerintah tertib hukum.
”Kepala Otorita dan Wakil Otorita ini harus bekerja berdasarkan kerangka aturan yang ada. Tentu ada sebagian yang sudah bisa dirujuk pada UU IKN, tetapi sebagian besar masih menunggu perpres (peraturan presiden) dan PP (peraturan pemerintah),” kata Endi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (11/3/2022).
Ia menegaskan, regulasi terkait dengan kewenangan Otorita IKN baru ada di rancangan PP yang tengah disusun oleh Kementerian Dalam Negeri. Karena itu, pemerintah diharapkan bekerja cepat dalam menyusun aturan turunan UU IKN, tetapi tidak dengan terburu-buru. Pemerintah diharapkan melibatkan publik dalam menyusun aturan turunan tersebut. Hal itu penting untuk mencegah terjadinya maladministrasi dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Menurut Endi, saat ini kepala dan wakil kepala Otorita IKN akan lebih banyak mempersiapkan operasional. Mereka baru bisa bekerja setelah aturan turunannya ada agar tidak disalahkan secara hukum.
Kompas sudah menanyakan perkembangan penyusunan Rancangan PP Kewenangan Khusus Otorita IKN dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus kepada Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal ZA, tetapi tidak direspons.
Ketua Tim Komunikasi IKN Sidik Pramono mengatakan, penunjukan Kepala Otorita IKN sudah sesuai dengan amanat UU IKN. Seusai pelantikan kepala dan wakil kepala Otorita IKN akan segera diselesaikan peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dari UU IKN.
Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, belum adanya aturan turunan UU IKN bisa berimplikasi pada legitimasi dan otoritas dari kepala Otorita IKN.
”Idealnya UU IKN ada aturan teknisnya. Ada perpres atau PP. Kalau belum ada, tentu kewenangan kepala otorita bisa dipertanyakan secara hukum. Dasarnya dari mana?” kata Wasisto.
Di dalam UU IKN disebutkan bahwa kepala otorita ditunjuk presiden dan secara struktur setara dengan menteri. Namun, belum jelas tugas pokok dan fungsinya. Selain itu, bentuk dari otorita juga belum jelas. Hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan dari publik dan bisa berbenturan dengan UU Pemerintah Daerah.
Menurut Wasisto, selain berdampak pada kewenangan struktural, belum adanya aturan turunan UU UKN juga akan berimplikasi pada politik. Kepala Otorita IKN akan menjadi seperti jabatan politis, bukan teknis. Sebab, mereka langsung ditunjuk tanpa aturan penjelas. Penunjukan ini bisa menjadi polemik baru.
Oleh karena itu, Presiden perlu membuat petunjuk pelaksanaan dan teknis yang berisi tentang kewenangan, struktur dan kedudukan kepala Otorita IKN dengan institusi lain di tingkat nasional dan daerah, serta limitasi jabatan kepala Otorita IKN. ”Juklak dan juknis itu bisa diatur lewat Perpres,” kata Wasisto.
Pengaturan lewat perpres akan lebih cepat daripada menunggu peraturan pemerintah yang memakan waktu lebih lama karena perlu dibahas bersama DPR. Meskipun demikian, peraturan pemerintah tersebut tetap dibutuhkan karena dari kekuatan hukum lebih tinggi dari keppres (keputusan presiden) atau perpres.
Pengawasan KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi ikut mengawasi proses pembangunan IKN di Kalimantan Timur agar tidak terjadi korupsi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, KPK diminta untuk ikut mengawal program pembangunan IKN dari mulai persiapan hingga pembangunan infrastruktur. KPK sudah berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Fokus Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK di wilayah Kalimantan Timur salah satunya terkait dengan IKN. Untuk pencegahan korupsi infrastruktur, KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Alex mengungkapkan, lahan IKN tidak semuanya bersih dan jelas. Dari informasi yang diperoleh KPK, sudah ada pembagian kavling. ”Jangan sampai tikus mati di lumbung padi. Seharusnya tidak ada masyarakat miskin di Kaltim. Ibu Kota Negara juga menjadi prioritas kami. Ternyata lahan IKN itu tidak semuanya clean and clearing. Dari informan kami, sudah ada bagi-bagi kavling. Bapak Presiden juga sudah meminta pengawalan IKN kepada KPK,” kata Alex.
Sejauh ini, Alex belum mengetahui apakah pembagian kavling tersebut terkait dengan korupsi yang dilakukan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Abdul sudah ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta perizinan oleh KPK pada Januari lalu. Alex menegaskan, penyidik KPK akan mendalami informasi tersebut.
Mulai 2022, KPK bersama dengan Kementerian Dalam Negeri serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berupaya melakukan pencegahan korupsi di Kaltim dengan menggunakan sistem monitoring center for prevention (MCP). MCP dapat digunakan untuk mengukur capaian keberhasilan perbaikan tata kelola pemerintahan secara administratif. Sistem ini bisa digunakan sebagai ukuran untuk membangun komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan pencegahan korupsi yang dilaporkan melalui MCP.
”Secara fakta di lapangan harus sama baiknya dengan nilai secara administratif. Jangan sampai tidak sinkron. Perlu penerapan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang holistik dan adil sehingga rakyat dapat merasakan secara langsung manfaatnya,” kata Alex.