Indikator ekonomi makro menunjukan bahwa tidak ideal kalau saat ini Indonesia melakukan modernisasi alutsista. Upaya modernisasi alutsista pun terpaksa mundur satu langkah.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan global dan indikator ekonomi membuat Indonesia sulit melakukan modernisasi persenjataan TNI sebagaimana yang diharapkan. Diperkirakan, modernisasi alat utama sistem persenjataan akan mundur kembali ke tahap pemeliharaan.
Hal ini disampaikan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto dalam diskusi yang diadakan The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) bertema ”Minimum Essential Force 2024”, Senin (7/3/2021) malam. Andi mengatakan, indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa tidak ideal kalau saat ini Indonesia melakukan modernisasi plus yang diinginkan. ”Padahal, harusnya saat ini kita sudah lompat daripada sekadar memelihara,” kata Andi.
Saat ini Indonesia berada pada tahap ketiga rencana strategis pemenuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang disebut dengan Kebutuhan Pokok Minimal atau Minimum Essential Force (MEF). Andi mengatakan, dalam tahap ke-2 yang berlangsung pada 2014-2019 ada beberapa revisi yang terkait dinamika persenjataan global dan validasi organisasi TNI, di mana ada beberapa organisasi seperti Kogabwilhan, Divisi 3 Kostrad, dan Armada 3. Hasilnya, di tahun 2019 pemenuhan alutsista baru 63 persen dari target MEF yang seharusnya selesai tahun 2024.
Presiden Joko Widodo kemudian menggariskan agar dalam Renstra 3 ini ada perubahan pendekatan. Belanja pertahanan diminta untuk diubah menjadi investasi pertahanan.
Beberapa modifikasi dilakukan lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di mana ruang untuk swasta diperluas dan ada kemungkinan kerja sama dengan asing. Namun, realitas kemudian berkata lain karena ada target pertumbuhan 6-7 persen yang hanya tercapai 4 persen.
”Saat ini komitmen adalah untuk memaksimalkan kesiapan operasi. Makanya, kita lihat di anggaran banyak untuk pemeliharaan dan perawatan,” kata Andi.
Saat ini walaupun anggaran pertahanan tidak beranjak dari 1 persen PDB, diusahakan tidak sampai di bawah 0,8 persen. Ini berarti terjadi penurunan dari kekuatan militer. Andi mengatakan, kalau anggaran pertahanan bisa 1,5-2 persen dari PDB. Dalam anggaran seperti ini berarti Indonesia bisa membangun kekuatan militernya.
”Hal yang harus disadari adalah komitmen untuk ada kesinambungan anggaran. Misalnya sekarang kita beli 6 rafale, untuk bisa beli 36 lagi harus jangka panjang,” kata Andi.
Iis Gindarsah dari Lab 45 mengatakan, dari data di berbagai lembaga dunia, ukuran pasar alutsista selama 2011-2020 mencapai 20 miliar dollar AS. Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi-teknologi yang mengandalkan teknologi informasi.
Alutsista TNI AL dan TNI AU sudah tua. TNI AL memiliki 56 sistem yang 59 persennya berusia di atas 31 tahun. Sementara, TNI AU memiliki 40 sistem, 38 persennya berusia di atas 31 tahun.
”Pembangunan terbesar ada di TNI AL, terutama kapal tempur permukaan,” katanya.
Namun, Gindarsah juga menunjukkan data kondisi alutsista TNI AL dan TNI AU yang sudah tua. TNI AL memiliki 56 sistem yang 59 persennya berusia di atas 31 tahun. Sementara, TNI AU memiliki 40 sistem, 38 persennya berusia di atas 31 tahun. Hal ini menurut Gindarsah menimbulkan pertanyaan karena apakah pemeliharaan masih memadai, terutama ketersediaan suku cadang.