Menindaklanjuti hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021 yang dilakukan oleh KPK, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo menerbitkan SE Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penguatan Integritas ASN dalam Area Rawan Korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah risiko korupsi masif ditemukan di instansi pemerintahan. Menjawab keresahan itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan instruksi khusus kepada seluruh pimpinan instansi agar meningkatkan sistem integritas di instansinya. Utamanya, penguatan fungsi pengawasan aparatur pengawasan internal pemerintah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penguatan Integritas Aparatur Sipil Negara dalam Area Rawan Korupsi. Surat edaran tersebut diteken pada Selasa (8/3/2022) dan ditujukan kepada seluruh pimpinan instansi pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.
Menpan dan RB Tjahjo Kumolo di Jakarta mengatakan, surat edaran tersebut memuat arahan bagi setiap pimpinan instansi agar mencegah korupsi dengan meningkatkan integritas para ASN di lingkungannya. Hal ini merupakan tindak lanjut atas hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Taati seluruh ketentuan perundang-undangan, dorong pelaksanaan sistem merit, serta pastikan kembali bahwa para ASN memahami area rawan korupsi. Itu beberapa hal yang harus menjadi perhatian dan tanggung jawab kita bersama supaya ke depan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan ASN tidak terjadi kembali,” ujar Tjahjo.
Dalam SPI tahun 2021 yang dirilis KPK, Desember 2021, risiko korupsi jamak terjadi di instansi pemerintahan. Misalnya, korupsi pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan terjadi di 100 persen instansi yang disurvei. Lalu, jual beli jabatan dalam promosi dan mutasi sumber daya manusia dan penyalahgunaan fasilitas kantor terjadi di 99 persen instansi. Kemudian, 98 persen instansi terdapat praktik suap dan gratifikasi. Survei ini dilakukan terhadap 255.010 responden di 640 instansi pusat dan daerah.
Dalam surat edaran, Tjahjo menjelaskan, ada delapan hal yang harus menjadi perhatian setiap pimpinan guna mengefektifkan upaya pencegahan korupsi di instansinya masing-masing.
Di antaranya, pertama, memperhatikan hasil SPI sebagai masukan perbaikan tata kelola dan menyusun rencana aksi perbaikan yang harus dipantau secara berkala oleh aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP).
Kedua, meningkatkan kualitas sistem merit dan kualitas pengelolaan konflik kepentingan pada proses promosi dan mutasi jabatan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pegawai atau pejabat yang profesional dan berintegritas melalui mekanisme yang transparan dan adil.
”Seiring dengan hal itu, perlu juga memperkuat dan mengoptimalkan kemampuan APIP untuk mendeteksi risiko korupsi secara proaktif pada proses promosi dan mutasi jabatan tersebut,” kata Tjahjo.
Ketiga, mengembangkan sosialisasi dan kampanye antikorupsi pada pengguna layanan publik di instansi masing-masing. Selain itu, instansi juga harus aktif menyampaikan upaya dan capaian program antikorupsi melalui berbagai sarana atau media untuk memengaruhi perubahan perilaku kepada pengguna layanan.
Dengan demikian, pengguna layanan tidak memberi suap atau gratifikasi, termasuk melaporkan pelanggaran ke sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional (SP4N)-Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR) atau saluran kanal pengaduan internal.
Keempat, menghilangkan intervensi dengan mendorong transparansi pada proses pelaksanaan tugas dan pemberian layanan pulik melalui penggunaan teknologi informasi, keterbukaan, kemudahan akses informasi, pemangkasan birokrasi yang menghambat, serta penguatan tata kelola kelembagaan.
Instansi harus fokus pada beberapa area rawan korupsi, yakni pemberian layanan publik, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan tugas pegawai, pengelolaan SDM, serta pengelolaan anggaran.
”Harapannya, alokasi anggaran di setiap program kegiatan di setiap instansi tepat sasaran dan dirasakan dampaknya bagi masyarakat. Selain itu juga, alokasi anggaran benar-benar sesuai dengan rencana dan tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum ASN,” kata Tjahjo.
Kelima, memperkuat APIP melalui penyediaan personel yang cukup dan kompeten. Anggaran pengawasan juga perlu ditingkatkan untuk menunjang proses pengawasan.
Penguatan APIP
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan, hasil SPI sebenarnya ingin menunjukkan sejumlah titik rawan korupsi dalam tata kelola pemerintahan. Ia berharap hasil SPI bisa menjadi bahan evaluasi dan perbaikan bagi instansi dan para ASN supaya terhindar dari korupsi.
”KPK mengajak segenap pihak untuk terlibat dan berperan dalam pemberantasan korupsi sesuai tugas dan kewenangan masing-masing mewujudkan orkestrasi pemberantasan korupsi,” ujar Ghufron.
Ia menuturkan, area rawan korupsi perlu dihindari agar tercipta pemerintahan yang bersih dari korupsi. Dengan demikian, penyelenggaraan layanan publik juga terbebas dari praktik KKN. Namun, lanjutnya, itu belum cukup. Fungsi pengawasan oleh APIP juga harus terus diperkuat sebagai fungsi kontrol.
”APIP adalah pengerem, yang akan mengingatkan potensi dan risiko korupsi,” kata Ghufron.