Salah satu perubahan dari konstitusi UUD 1945 yang paling mendasar adalah perubahan masa jabatan presiden dari yang tidak terukur menjadi terukur atau hanya dua periode. Wacana penundaan pemilu pun menjadi tak relevan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode dan penundaan pemilu dinilai tidak relevan. Studi komparatif dari banyak negara menyebut bahwa jabatan presiden tiga periode cenderung sangat tidak signifikan. Sistem demokrasi yang disepakati dan dijalankan di Indonesia sejak era reformasi tahun 1998 memerlukan konsistensi dan komitmen semua komponen bangsa untuk tetap menjalankan amanat konstitusi.
Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk ”Telaah Kritis Usul Perpanjangan Jabatan Presiden dan Wapres” yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Senin (28/2/2022). ”Ide masa jabatan presiden tiga periode jelas bertentangan dengan spirit gerakan reformasi 1998. Salah satu tujuan gerakan reformasi adalah menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang terukur dan pasti,” ujar Siti Zuhro, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Menurut Zuhro, reformasi sebetulnya telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan sistem tata negara tersebut salah satunya berasal dari amendemen UUD 1945. Salah satu perubahan dari konstitusi UUD 1945 yang paling mendasar adalah perubahan masa jabatan presiden dari yang tidak terukur menjadi terukur atau hanya dua periode.
Zuhro menegaskan, aturan hukum juga harus diikuti dan ditaati agar jabatan publik tidak diisi oleh orang yang sama dalam waktu yang terlalu lama. ”Mengenai berapa periode masa jabatan presiden, praktik negara yang menganut sistem presidensial adalah mayoritas mengatur paling banyak dua periode,” katanya.
Argumen masa jabatan presiden selama tiga periode juga sangat tidak relevan dan tidak signifikan karena bisa dicarikan solusi lain. Jalan keluar lain itu adalah dengan cara melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini.
Argumen masa jabatan Presiden selama tiga periode juga sangat tidak relevan dan tidak signifikan karena bisa dicarikan solusi lain. Jalan keluar lain itu adalah dengan cara melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini. Reformulasi ini dilakukan dengan membuat haluan pembangunan nasional yang berlaku untuk jangka panjang yang dikemas dengan produk hukum kuat.
”Setiap ganti presiden harus dipastikan bahwa penyusunan program pembangunan berdasarkan janji kampanyenya tidak menyimpang dari haluan pembangunan nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap komponen bangsa,” kata Zuhro.
Apabila ditarik ke tataran makro, konstitusi Indonesia dinilai tidak cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis, tetapi hanya mengatur prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan yang bersifat umum. Konstitusi cenderung masih dipengaruhi oleh sistem kabinet parlementer pascaproklamasi.
Praktik sistem demokrasi terpimpin dan Orde Baru sempat menutup peluang lahirnya pemimpin secara ”normal” karena menempatkan birokrasi, sipil, dan militer sebagai satu-satunya sumber rekrutmen pemimpin.
Ide untuk perpanjangan masa jabatan Presiden juga sempat mengemuka di masa pemerintahan periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena ada kemungkinan resistensi yang luar biasa dari masyarakat dan akademisi, wacana perpanjangan jabatan presiden tersebut tidak jadi dilakukan. Ketika wacana serupa kembali terlontar, Presiden Joko Widodo pun sudah menyatakan sikap tidak ada niat menjadi presiden tiga periode.
”Semestinya berhenti mewacanakan topik-topik yang ujung-ujungnya menimbulkan polemik dan kontroversi dan upaya untuk melanggengkan kekuasaan semata. Jadi, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa pengalaman terkait hal itu berujung pada kalau dipaksakan nanti chaos,” katanya.
Kesejahteraan rakyat
Menurut Zuhro, partai politik, DPR, DPD, MPR, dan pemerintah eksekutif harus bekerja serius untuk memajukan Indonesia dan menyejahterakan rakyat. Hingga pertengahan 2024, Pemerintah Indonesia masih menghadapi persoalan riil berupa dampak-dampak pandemi Covid-19 dengan varian-varian barunya.
Dampak negatif di bidang sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik serta hukum, dan ideologi kebangsaan dinilai sangat berat. ”Ini yang secara terukur harus diberikan bukti solusinya, bukan sebaliknya elite politik mengajak rakyat menyoal kemungkinan jabatan presiden tiga periode atau tunda pemilu yang membuat gaduh dan menimbulkan ketidakpastian baru dan ketidakpercayaan rakyat,” kata Zuhro.
Dalam kehidupan demokrasi yang sudah mapan, sistem lebih berpengaruh daripada pemimpin. Hal ini karena demokrasi mengajarkan pemimpin bekerja dalam sistem. Dalam konteks Indonesia, membangun sistem sangatlah penting. Namun realitasnya, peran pemimpin relatif lebih dominan menentukan.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan transformatif, bukan transaksional. Pemimpin transaksional mengambil keputusan dengan pertimbangan untung rugi. Pemimpin transformatif berorientasi pada perubahan demi tercapainya tujuan dengan sejauh mungkin melibatkan pengikutnya. Mereka memanfaatkan soft power dengan memberi contoh serta memotivasi pengikut agar memiliki idealisme dalam upaya mencapai tujuan.
Pengamat politik Jeirry Sumampow menambahkan bahwa mereka yang memunculkan gagasan presiden tiga periode sejatinya ingin mengatakan bahwa publik masih menyukai Presiden Jokowi. Meski Presiden sudah berkali-kali mengatakan menolak, wacana tetap saja digulirkan dengan alasan ekonomi dan alasan aspirasi rakyat.
Jeirry juga menegaskan bahwa salah satu yang terpenting dari reformasi adalah pembatasan masa jabatan Presiden setelah lepas dari 32 tahun masa pemerintahan orde baru. ”Ini yang harus kita hati-hati tentang wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden ini. Mungkin saja gagasan tidak tebersit dalam diri Presiden Jokowi, tetapi situasi dan lingkungan politik yang mengelilingnya bisa saja secara perlahan-lahan mendorong supaya kemungkinan seperti itu terjadi,” ujarnya.
Perpanjangan tiga periode masa jabatan presiden akan sulit dilakukan baik secara etika maupun moral. Perdebatan terkait perpanjangan masa jabatan justru akan menguras banyak energi.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah berpendapat bahwa perpanjangan tiga periode masa jabatan presiden akan sulit dilakukan baik secara etika maupun moral. Perdebatan terkait perpanjangan masa jabatan justru akan menguras banyak energi. ”Pada akhirnya, publik nanti akan lelah dengan situasi yang ada karena masih ada pandemi, kondisi ekonomi nasional masih berjalan tertatih-tatih, pertumbuhan kita masih hanya 3,1 persen,” kata Trubus.
Dengan kondisi daya beli masyarakat yang turun drastis dan konsumsi rumah tangga yang memprihatinkan, perdebatan terkait perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat menguras energi. ”Lebih baik kita ikuti saja sesuai dengan aturan yang berlaku konstitusi. Kalau diubah, terjadi kegaduhan atau keonaran di masyarakat,” katanya.