Upaya Uji Materi Pasal Ambang Batas Capres Belum Akan Berakhir
Setelah MK menolak uji materi pasal yang mengatur ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu, Kamis (24/2/2022), akan ada pihak lain yang mencoba menggugat lagi pasal itu. Kali ini muncul dari parpol nonparlemen.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kembali ditolaknya uji konstitusionalitas pasal yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi tak menyurutkan langkah sejumlah pihak untuk menggugat keberadaan pasal tersebut. Partai politik nonparlemen sudah ancang-ancang akan mengajukan uji materi. Mereka yakin memenuhi syarat legal formal untuk mengajukan uji materi karena mengalami kerugian konstitusional.
Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor, saat dihubungi, Kamis (24/2/2022), mengatakan, pimpinan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019 yang tak memiliki kursi di DPR telah bertemu pada Rabu (23/2/2022). Pertemuan yang digagas Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo itu dihadiri pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP), Partai Garuda, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Mereka sepakat akan mengajukan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini mengatur, hanya partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya yang dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden.
Afriansyah yakin jika uji materi diajukan, parpol-parpol nonparlemen itu memenuhi syarat legal formal untuk menguji materi Pasal 222. Pasalnya, mereka dirugikan secara konstitusional karena tidak dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, jika digabungkan, suara dari enam parpol nonparlemen ini mencapai 13,5 juta suara atau sekitar 10 persen.
”Kami tidak mau lagi dirugikan secara konstitusional di Pemilu 2024. Pemilu 2024 itu, kan, serentak nasional. Masak dipakai raihan kursi dan suara parpol di Pemilu 2019. Itu namanya tidak fair. Parpol pemilik suara di 2019 bisa saja menurun di 2024,” ujarnya. Mereka akan menuntut agar syarat ambang batas pencalonan presiden dihapuskan atau dibuat nol persen.
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dea Tunggaesti menambahkan, dalam pertemuan tersebut juga dibahas bahwa permohonan itu diajukan untuk merespons putusan MK yang selalu menolak uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden karena alasan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Namun, PSI bersama parpol nonparlemen lainnya sebagai partai peserta Pemilu 2019 yang dirugikan secara konstitusional memiliki kedudukan hukum yang kuat.
Ketiadaan ambang batas pencalonan presiden juga dinilai akan membuka ruang figur-figur yang memiliki kapasitas menjadi presiden/wapres maju dalam pencalonan. Bagi masyarakat, akan lebih banyak pilihan tidak seperti Pemilu 2019 yang hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari berpendapat, keputusan partai nonparlemen untuk menguji konstitusionalitas aturan ambang batas pencalonan presiden sangat strategis. Ini kembali akan menguji pendapat sembilan hakim konstitusi terkait dengan aturan ambang batas pencalonan presiden tersebut.
Apalagi, pemohon adalah pihak yang dirugikan secara langsung oleh kebijakan tersebut. Apabila suara gabungan parpol nonparlemen tersebut digabung, posisi mereka signifikan dan bisa membangun posisi tawar untuk mengajukan calon presiden sendiri.
”Ini kesempatan bagus untuk menantang kembali argumen dan pandangan mahkamah soal ambang batas pencalonan presiden,” kata Feri.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (24/2/2022), MK kembali menolak uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan sejumlah pihak, seperti Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono, sejumlah anggota DPD, dan perorangan warga negara, seperti Gatot Nurmantyo.
Dalam perkara yang diajukan Ferry, MK mencermati kedudukan Ferry di Gerindra. Namun, dalam permohonannya, Ferry mengajukan uji materi sebagai perorangan warga negara.
Soal kedudukan hukum pemohon, MK mengacu putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 14 Januari 2021. Intinya, oleh karena subyek hukum yang memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah parpol/gabungan parpol, yang memiliki kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas syarat ambang batas pencalonan adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Lebih spesifik, parpol peserta Pemilu 2019.
Hal itu sejalan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945.
”Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dianggap memiliki kerugian konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan capres dan cawapres atau menyertakan parpol pendukung secara bersama-sama mengajukan permohonan,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hakim MK.
Terhadap permohonan tersebut, empat dari sembilan hakim mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul mengajukan pendapat berbeda dalam hal kedudukan hukum pemohon.
Bagi keduanya, pemohon perorangan seharusnya memiliki kedudukan hukum. Hal ini karena pemohon dapat mengonstruksi argumentasi kerugian konstitusional, yaitu terbatasnya pilihan capres/cawapres dengan berlakunya syarat ambang batas pencalonan presiden. Keduanya juga mengutip putusan-putusan MK sebelumnya yang menyatakan perorangan sebagai pemilih berkedudukan hukum.
Dua hakim konstitusi lainnya, Saldi Isra dan Suhartoyo, sependapat. Tidak hanya itu, Pasal 222 dinilai inkonstitusional. Sebab, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, subyek yang berhak mengusulkan capres/cawapres adalah parpol atau gabungan parpol. Aturan lebih lanjut di undang-undang tak boleh mengurangi hak subyek yang ditentukan konstitusi.