Gugatan ”Presidential Threshold” Kembali Kandas di MK
Upaya menghapus ambang batas pencalonan presiden kembali gagal. Kali ini, pemohon dinyatakan tak punya ”legal standing” menguji pasal tentang ”presidential threshold” tersebut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
KRISTIAN OKA PRASETYADI UNTUK KOMPAS
Para anggota Madrasah Anti Korupsi dari Pemuda Muhammadiyah menggelar aksi penolakan terhadap ambang batas pencalonan presiden di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/8/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Uji konstitusionalitas syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang diajukan oleh sejumlah perorangan warga negara kembali kandas di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan yang diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari empat hakim itu MK menegaskan bahwa yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik. Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres-cawapres.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang permohonan uji materi yang diajukan Ferry Joko Yuliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Kamis (24/2/2022). ”Mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman.
Pertimbangan yang sama berlaku untuk beberapa permohonan lain, seperti yang diajukan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Tamsil Linrung, perorangan warga negara seperti Gatot Nurmantyo, dan lain-lain.
Mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Dalam perkara yang diajukan Ferry, MK mencermati kedudukan Ferry sebagai Waketum Partai Gerindra. Namun, dalam permohonannya, Ferry menyatakan bahwa meski memiliki kedudukan di partai politik (parpol), ia mengajukan uji materi sebagai perorangan warga negara. Uji materi diajukan dengan pertimbangan hak pilih Ferry menjadi terbatas karena aturan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut mengatur hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional yang dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden.
Soal kedudukan hukum atau legal standing pemohon, MK mengacu pada Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 14 Januari 2021. Intinya, oleh karena subyek hukum yang memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan capres dan wapres adalah parpol/gabungan parpol, maka yang memiliki kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas presidential threshold adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Lebih spesifik adalah parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoblos contoh surat suara saat peluncuran hari pemungutan suara pemilu serentak 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022).
Hal itu sejalan amanat konstitusi, khususnya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik, bukan perorangan. Selain itu, juga sejalan dengan Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945. Pasal itu secara eksplisit mengatur, jika Presiden/Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka hanya parpol/gabungan parpol yang pasangan capres/cawapres meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, yang dapat mengusulkan dua pasangan capres/cawapres untuk dipilih oleh MPR.
”Adapun perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dianggap memiliki kerugian konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan capres dan wapres atau menyertakan partai politik pendukung secara bersama-sama mengajukan permohonan,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan.
Terkait dengan dalil bahwa presidential threshold membatasi hak konstitusional pemohon untuk mendapatkan calon alternatif karena kemungkinan besar hadirnya calon tunggal, MK menyatakan hal tersebut tidak beralasan. Menurut MK, persoalan jumlah pasangan calon yang akan berkontestasi tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU No 7/2017 karena norma tersebut tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden yang berhak mengikuti pilpres.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan aktivis mengajukan uji materi ambang batas presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (21/6/2018).
”Dengan demikian, selain pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakukan norma Pasal 222 UU No 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih dalam pemilu,” ujar hakim konstitusi.
Terhadap permohonan tersebut, empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul mengajukan pendapat berbeda dalam hal kedudukan hukum pemohon. Bagi keduanya, pemohon perorangan/warga negara seharusnya dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mempersoalkan konstitusionalitas presidential threshold.
Kedua hakim berpendapat bahwa pemohon telah dapat mengonstruksi argumentasi sebab akibat antara kerugian konstitusional, yaitu terbatasnya pilihan capres/cawapres, dengan berlakukan norma tentang presidential threshold. Enny dan Manahan juga mengutip putusan-putusan MK sebelumnya, seperti pengujian presidential threshold oleh Effendi Gazali (59/PUU-XV/2017); Hadar Navis Gumai (71/PUU-XV/2017); Busyro Muqoddas dkk (49/PUU-XVI/2018), yang menyatakan perorangan (sebagai pemilih) memiliki kedudukan hukum untuk menguji ketentuan presidential threshold.
Kompas
Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
Berkaitan dengan substansi perkara, hakim konstitusi Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih tetap berpendirian bahwa Pasal 222 UU No 17/2017 konstitusional sama seperti putusan MK sebelum-sebelumnya. Dalam putusan MK sebelumnya, keberadaan presidential threshold tidak hanya dimaksudkan untuk mendapat pasangan capres/cawapres dengan legitimasi yang kuat dari rakyat, tetapi juga dalam rangka membangun sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR. MK juga menilai bahwa PT merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau mengubah besaran persyaratan tersebut.
”Dengan demikian, menurut pendapat kami, belum terdapat alasan-alasan yang fundamental untuk dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan-putusan sebelumnya. Oleh karena itu, mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan norma Pasal 222 UU No 7/2017 adalah konstitusional,” ujar Manahan.
Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya, Saldi Isra dan Suhartoyo, sependapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum. Terkait dengan substansi perkara, pendapat Saldi dan Suhartoyo yang tidak menghadiri sidang pembacaan putusan karena tengah sakit merujuk pada sebagian putusan 53/PUU-XV/2017.
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
Hakim konsitusi Saldi Isra (kiri) berbincang dengan hakim konstitusi Suhartoyo saat pembacaan keputusan terkait perkara perselisihan sengketa pemilihan kepala daerah tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Bagi keduanya, Pasal 222 UU No 7/2017 inkonstitusional. Sebab, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 secara tegas menentukan subyek yang berhak mengusulkan calon presiden (dan wakil presiden) adalah partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan lebih lanjut mengenai ihwal pencalonan yang diatur di dalam undang-undang tidak boleh mengurangi hak dari subyek-subyek yang ditentukan oleh konstitusi memiliki hak mengajukan capres/cawapres.
Keduanya juga berpendapat, dalam hal teks konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis) tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi. Dalam hal ini, sebagai lembaga yang roh pembentukannya adalah menjaga dan sekaligus melindungi hak konstitusional warga negara (termasuk di dalamnya hak konstitusional partai politik peserta pemilu), bilamana pembentuk undang-undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi adalah menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya pada teks konstitusi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, menurut Saldi dan Suhartoyo, sulit diterima penalaran yang wajar jika Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang.
Apresiasi
Secara terpisah, Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie mengapresiasi putusan MK yang konsisten dengan putusan sebelumnya. ”Putusan konsisten dengan yang sebelumnya. Moderat. Tidak menolak, tapi juga bukan mengabulkan tapi NO. Bisa saja suatu hari kelak ada perkembangan baru sehingga dikabulkan,” katanya.
Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)
Senator DPD, Jimly Asshiddiqie (tengah), berbincang dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo (kiri) dan anggota DPR, Benny K Harman, seusai pembukaan Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11/2020).
Jimly juga mengomentari tentang rencana DPD yang akan mengajukan uji materi Pasal 222 UU No 7/2017. Menurut dia, permohonan uji konstitusionalitas syarat ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden pasti juga akan berakhir dengan putusan yang sama, yaitu NO. Sebab, DPD tidak memiliki kewenangan konstitusional yang dirugikan sebagai kelembagaan untuk mempersoalkan UU Pemilu.
”Karena UU Pemilu tidak termasuk bidang kewenangan DPD,” ujarnya.
Selain DPD, enam partai politik nonparlemen yang membentuk suatu koalisi juga akan menggugat ketentuan presidential threshold. Enam partai tersebut adalah Partai Persatuan Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Garuda, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Keenam partai tersebut telah menggelar pertemuan pada Rabu malam dan menyepakati untuk menguji Pasal 222 UU Pemilu.
Mengenai hal tersebut, Jimly menilai rencana uji materi tersebut lebih tepat. Akan tetapi, partai-partai itu sebaiknya tak mempersoalkan tentang syarat harus memiliki 20 persen kursi di parlemen. Melainkan, syarat 25 persen perolehan suara yang sah yang tidak berhasil mereka capai. ”Nanti tinggal soal pembuktian inkonstitusionalitas substansinya yang harus bisa meyakinkan mayoritas hakim,” kata Jimly.