Menyingkap Tabir Kejahatan Perang Kolonial yang Terus Disangkal
Penelitian bersama KITLV, NIMH, dan NIOD menemukan bahwa Perang Kemerdekaan Indonesia dipenuhi kekerasan struktural yang dilakukan militer Belanda terhadap masyarakat Indonesia.
Rabu, 14 September 2011, Pengadilan Sipil Den Haag memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi kepada sembilan korban peristiwa Rawagede (sekarang: Balongsari), Karawang, Jawa Barat. Untuk pertama kalinya, pengadilan memutuskan Pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian yang dilakukan tentaranya semasa Perang Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947 (Kompas, 15/9/2011).
Putusan tersebut merupakan buah perjuangan para janda dan korban peristiwa Rawagede. Pada 2009, didampingi Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sebuah yayasan yang mengadvokasi korban kejahatan perang Belanda semasa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945—1949, mereka menggugat pembantaian yang dilakukan militer Belanda terhadap warga yang juga keluarga mereka. Kemenangan ini lalu memicu semakin banyaknya korban yang mengajukan tuntutan melalui KUKB, termasuk keluarga korban yang dibunuh tentara Belanda di Sulawesi Selatan pada 1947.
Enam dasawarsa sebelumnya, Belanda mengirim ratusan ribu tentara untuk melakukan agresi militer di Indonesia. Belanda ingin menduduki kembali wilayah jajahannya yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda mengepung dusun Rawagede, menggeledah setiap rumah, menginterogasi, dan menembak warga laki-laki. Meski sebagian berhasil melarikan diri ke hutan, korban tewas tak terhindarkan. Perkiraan jumlah korban bervariasi, mulai dari 150 hingga lebih dari 430 orang.
Baca juga : Perjuangan Keluarga Korban Menuntut Penebusan "Dosa" Westerling
Anti Rukiyah (90), kedua dari kiri, didampingi keluarga dan cucunya berjalan di depan mural yang menggambarkan tragedi Rawagede, pembantaian ratusan warga Desa Rawagede oleh tentara Belanda tahun 1947, yang juga menewaskan suaminya, Saleh Tanuwijaya, Kamis (15/9). Indonesia menyambut gembira keputusan Pengadilan Sipil Den Haag yang mengatakan bahwa Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas tragedi tersebut dan harus memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Meski melaksanakan putusan pengadilan, Belanda tak pernah mengakui kekerasan sengaja dilakukan. Tidak ada prajurit yang dihukum. Pemerintah berpegang hasil penelitian arsip yang dilakukan pada 1969 berjudul De excessennota: Nota betreffende het archiefonderzoek naar door nederlandse militairen in de periode 1945-1950. Laporan menyimpulkan, benar telah terjadi sejumlah pelanggaran oleh serdadu Belanda. Akan tetapi, kekerasan adalah ”ekses” dari tindakan yang sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu.
Beberapa tahun terakhir, muncul banyak tuntutan hukum, penelitian sejarah, dan laporan jurnalistik yang mengungkap kekerasan oleh militer Belanda kepada warga sipil selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Hal itu memicu masyarakat Belanda mendesak adanya penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap fakta sejarah.
Pada akhir 2016, pemerintah merespons desakan dengan membiayai penelitian skala besar dengan dana 4,1 juta euro. Penelitian dilakukan oleh Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), serta Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) dengan tema Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945—1950.
Mantan Direktur NIOD yang juga Ketua Dewan Program Penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945—1950, Frank van Vree mengatakan, penelitian ini juga melibatkan peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Meski dibiayai pemerintah, ia menegaskan proyek ini bukan penugasan.
”Penelitian ilmiah ini bersifat independen,” ujarnya saat memublikasikan hasil penelitian bersama ini di Belanda, Kamis (17/2/2022), yang disiarkan secara daring.
Kekerasan berlebihan
Penelitian selama empat tahun itu mengungkap adanya kekerasan berlebihan oleh militer Belanda secara sistematis dan meluas selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Kekerasan dilakukan, baik di luar maupun dalam pertempuran, kepada warga sipil atau kombatan Indonesia dalam berbagai bentuk. Mulai dari penyiksaan, eksekusi tanpa proses peradilan, pelecehan, pemerkosaan, penjarahan, pembakaran kampung, penembakan, hingga penahanan massa. Temuan itu sekaligus menggugurkan penyangkalan Pemerintah Belanda selama puluhan tahun.
Intelijen Belanda menggunakan teknik penyiksaan untuk menginterogasi. Akibatnya, tidak jarang warga mengakui hal-hal yang tidak dilakukan untuk menghentikan penyiksaan. Konsekuensinya, banyak orang dinyatakan bersalah, bahkan dijatuhi hukuman mati karena pengakuan palsu. Tak hanya itu, orang-orang yang informasinya dianggap tak berguna sering kali dibunuh begitu saja setelah interogasi.
Peneliti senior NIMH, Remy Limpach, mencontohkan, hal itu salah satunya dilakukan oleh unit intelijen militer. Ketika melancarkan agresi militer, Belanda memperkuat peran intelijen untuk mengumpulkan informasi dari warga. Pendekatan itu dibutuhkan karena Belanda tergopoh-gopoh menghadapi taktik perang gerilya Indonesia yang membuat tentara Republik sulit dibedakan dengan sipil.
Intelijen Belanda menggunakan teknik penyiksaan untuk menginterogasi. Akibatnya, tidak jarang warga mengakui hal-hal yang tidak dilakukan untuk menghentikan penyiksaan. Konsekuensinya, banyak orang dinyatakan bersalah, bahkan dijatuhi hukuman mati karena pengakuan palsu. Tak hanya itu, orang-orang yang informasinya dianggap tak berguna sering kali dibunuh begitu saja setelah interogasi.
Unit intelijen juga kerap menyebarkan teror untuk mengintimidasi penduduk. Di Minangkabau, Sumatera Barat, misalnya, Belanda pernah memerintahkan militer menguasai wilayah itu karena ada informasi intelijen yang menyebutkan bahwa warga setempat mendukung Belanda. Namun, informasi itu salah. Saat didatangi, warga justru melawan.
”Pasukan Belanda seperti frustrasi lalu melakukan eksekusi publik. Mereka menyiksa orang-orang pada siang hari untuk memastikan warga lain yang menyaksikan tidak lagi mendukung para pejuang Republik,” ujar Limpach.
Dalam pertempuran, militer Belanda juga tak mengindahkan risiko jatuhnya korban sipil. Aneka senjata berat digunakan untuk kondisi yang tak seimbang. Mereka juga melancarkan serangan intensif dalam rentang waktu yang lebih panjang dari ukuran normal.
Contohnya, kata peneliti di NIMH, Azarja Harmanny, pasukan Belanda yang dilengkapi meriam, artileri, dan pesawat menyerang tentara Republik di suatu desa di Jawa Tengah pada Oktober 1947. Mereka terus menembak meski di tempat yang sama, penduduk sedang menggelar pasar rakyat. Ratusan orang diperkirakan tewas karena aksi itu.
”Itu adalah penembakan terbesar yang pernah dilakukan selama perang,” katanya.
Keberadaan senjata berat, tambah Harmanny, pada akhirnya tidak membantu Belanda memenangi perang. Akan tetapi, itu terus digunakan untuk menjaga moral pasukan dan mengintimidasi lawan.
Struktural
Kekerasan berlebihan yang dilakukan militer Belanda, atau yang sekarang dapat disebut sebagai kejahatan perang, disimpulkan terjadi secara struktural. Sebab, para prajurit memiliki impunitas yang dilembagakan. Pemerintah dan politisi pun merestui seluruh tindakan demi kepentingan pemenangan perang.
Sebuah telaah atas amar putusan pengadilan militer Belanda menunjukkan, hakim sering kali tidak mendakwa dan menghukum prajurit yang melakukan kekerasan fungsional atau terkait aksi militer seperti membunuh tawanan perang, penyiksaan selama interogasi, dan pembakaran kampung.
Hampir di semua tahap proses peradilan di setiap tingkatan, ada tekanan dari otoritas militer untuk menentang atau mencegah proses penuntutan. Hakim juga kerap memberikan pemakluman terhadap prajurit yang melakukan kekerasan nonfungsional, seperti memerkosa atau membunuh orang di ruang publik, atas nama kepentingan militer.
Esther Zwinkels, peneliti NIMH, mengatakan, kepentingan militer yang dimaksud adalah mempertahankan pasukan agar tetap utuh. Demi keberlangsungan perang, aturan hukum diabaikan. ”Ya itulah kepentingan militer. Bagaimanapun caranya perang harus dilancarkan dan dimenangi,” katanya.
Baca juga : Saat Pengadilan Belanda Cuma Memberi Ganti Rugi Rp 15,25 Juta
Sebagai institusi, angkatan bersenjata Belanda memang pelaku kekerasan berlebihan. Akan tetapi, tindakan mereka terlaksana lewat proses konsultasi dan pemberian wewenang dari pemerintah. Para politisi juga tidak menghiraukan kekerasan yang mereka lakukan, bahkan menolak untuk bertanggung jawab. Sebagian besar masyarakat Belanda pun mendukung penuh pelaksanaan perang.
Dalam siaran yang sama, menanggapi hasil penelitian tersebut, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan berlebihan yang dialami selama perang kemerdekaan. Ia juga menyesal atas sikap Pemerintah Belanda sebelumnya yang menutup mata atas kejadian itu. Permintaan maaf juga ditujukan untuk semua orang di Belanda yang menanggung konsekuensi akibat perang itu.
”Kami harus menerima fakta yang memalukan. Atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia,” kata Rutte.
Pernyataan Rutte merupakan permintaan maaf pertama yang disampaikan oleh kepala pemerintahan Belanda. Sekalipun pada 2020 Raja Belanda Willem-Alexander saat berkunjung ke Indonesia juga meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan berlebihan di masa revolusi, pernyataan Rutte menjadi berbeda karena disertai pengakuan bahwa penggunaan kekerasan dalam agresi militer dilakukan secara sengaja.
Secara terpisah, sejarawan sekaligus Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, mengatakan, penelitian ini merupakan langkah maju dalam memberikan informasi lebih rinci mengenai kekerasan yang dilakukan militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pengakuan berdasarkan penelitian dengan begitu mengonfirmasi apa yang sudah lama disuarakan oleh pihak Indonesia. (Hilmar Farid)
”Kuncinya ada pada kesimpulan bahwa kekerasan di masa itu bersifat struktural dan bukan sekadar letupan yang tidak terkendali,” katanya.
Sejak era perjuangan, Indonesia pun telah mempersoalkan agresi militer serta tindak kekerasan yang terkait dengannya. Namun, Belanda selalu menyangkal. ”Pengakuan berdasarkan penelitian dengan begitu mengonfirmasi apa yang sudah lama disuarakan oleh pihak Indonesia,” ujar Hilmar.
Tak persoalkan kolonialisme
Sekalipun temuan penelitian mampu menggugurkan argumentasi penyangkalan Pemerintah Belanda saat ini, sejumlah pihak mengkritisi pijakan penelitian tersebut. Pendiri Yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, mengatakan kecewa lantaran penelitian tidak menyebutkan kiprah KUKB dan tokoh pendirinya, Jeffry Pondaag, dalam mengungkap kekerasan struktural yang dilakukan militer Belanda. Padahal, mereka yang telah menempatkan persoalan tersebut sebagai bagian dari agenda Belanda melalui gugatan ke pengadilan atas peristiwa Rawagede.
Sebelum ada tuntutan tersebut, topik ini tidak pernah menjadi sorotan jurnalis dan sejarawan di Belanda. ”Hanya berkat seorang pria Indonesia yang memulai gugatan di pengadilan, mereka mulai mengerjakannya,” kata Van Pagee.
Menurut dia, penggunaan konsep kekerasan berlebihan juga bermasalah. Sebab, itu menunjukkan cara pandang bahwa di luar kekerasan berlebihan, ada kekerasan normal yang diperbolehkan. Artinya, para peneliti tidak mempersoalkan kolonialisme secara komprehensif sebagai tindakan yang ilegal.
Sejak proyek ini dimulai pada 2017, Jeffry Pondaag dan Fransisca Patipilohy, saksi mata kolonialisme Belanda di Indonesia, juga telah menyampaikan keberatan atas penelitian ini. Keduanya menggagas dua surat terbuka kepada Pemerintah Belanda yang ditandatangani 138 orang atau organisasi, baik dari Belanda maupun Indonesia. Dalam surat terbuka disebutkan bahwa penelitian rentan konflik kepentingan dan negosiasi politik tertentu untuk menonjolkan salah satu topik ketimbang topik lain. Hal ini ditengarai terjadi karena penelitian melibatkan lembaga yang terafiliasi dengan pemerintah.
Selain itu, penelitian juga problematik karena tidak menempatkan kolonialisme sebagai pijakan dasar penelitian. Semestinya, penelitian berpijak pada keberadaan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang tidak sah. Penjajahan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, maka penyerangan dan pendudukan wilayah merupakan pelanggaran hukum. Begitu pula keberadaan militer yang melakukan kejahatan dalam peperangan.