Anggota kelompok teror kian lihai menyamarkan diri sehingga bisa menyusup ke berbagai institusi. Bahkan, sejumlah tersangka teroris diketahui juga aktif sebagai bagian dari lembaga keagamaan dan partai politik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Deradikalisasi sekaligus Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Irfan Idris, mengatakan, kelompok teror telah mengubah strategi untuk mewujudkan cita-cita mengubah dasar negara. Mereka tidak lagi menjauhi perangkat negara demokrasi, tetapi memanfaatkannya. Hal itu terungkap dari penangkapan yang dilakukan aparat beberapa waktu terakhir. Sejumlah tersangka teroris diketahui juga aktif sebagai bagian dari lembaga keagamaan dan partai politik.
Sebelumnya, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap tiga tersangka terorisme yang terafiliasi dengan kelompok teror Jamaah Islamiyah di Bengkulu. Dua dari tiga tersangka merupakan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bengkulu. Sementara satu dari mereka merupakan kader Partai Ummat. Itu bukan kali pertama tersangka teroris aktif di organisasi yang ada di masyarakat. Pada November 2021, aparat juga menangkap Farid Ahmad Okbah yang merupakan Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia.
Irfan melanjutkan, pihaknya tidak menuding lembaga tertentu sebagai organisasi teroris. Namun, saat ini anggota kelompok teror lihai menyamarkan diri sehingga bisa menyusup ke berbagai institusi. ”Jangankan lembaga negara, jangankan partai, organisasi agama pun bisa dimasuki,” ujarnya dalam pertemuan bersama awak media massa di Jakarta, Jumat (18/2/2022).
Infiltrasi yang dilakukan ke sebuah lembaga juga tidak serta-merta bertujuan untuk melancarkan serangan teror. Penyusupan justru bertujuan untuk merebut pengaruh dan menguasai lembaga tersebut secara formal. Contohnya di perguruan tinggi, anggota kelompok teror menyebarkan pengaruh lewat berbagai kegiatan kajian yang berujung pada pembaiatan.
Menurut dia, strategi itu mulai dilakukan salah satunya sejak pemimpin Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Abu Bakar Al Baghdadi, menyerukan agar tidak semua simpatisan dan pendukung kelompoknya berangkat ke Suriah. Mereka dipersilakan untuk beraksi di negara masing-masing.
Di Indonesia, mulanya aktivitas mereka akan dipusatkan di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, rencana itu batal karena pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang juga terkait dengan NIIS, Santoso, tewas dalam baku tembak dengan aparat.
Penyusupan justru bertujuan untuk merebut pengaruh dan menguasai lembaga tersebut secara formal. Contohnya di perguruan tinggi, anggota kelompok teror menyebarkan pengaruh lewat berbagai kegiatan kajian yang berujung pada pembaiatan.
Secara terpisah, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk mencegah dan menanggulangi terorisme. Salah satunya dengan memperkuat kerja sama dengan tokoh agama. Peran tokoh agama penting untuk meluruskan pandangan keagamaan sekaligus menyebarkan semangat cinta tanah air. Apalagi, tokoh agama di Indonesia memiliki akar historis yang kuat dalam pembangunan bangsa.
Hal ini diperlukan untuk menangkal narasi keagamaan yang juga kerap dikemukakan oleh kelompok teror. ”Selama ini jaringan radikal dan terorisme telah menyalahgunakan narasi-narasi agama agar banyak orang yang bersimpati,” katanya saat berkunjung ke Pesantren Sidogiri dan Pesantren Ngalah Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur.
Sebelumnya, saat memberikan pengarahan di acara Senior Level Meeting Densus 88 Antiteror di Bali, Rabu (16/2/2022), Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga mengemukakan komitmennya untuk memperkuat pemberantasan terorisme. Hal itu akan dilakukan dengan melipatgandakan anggaran dan jumlah personel Densus 88. ”Kami akan kembangkan, jumlah personel 3.701 orang, saya harapkan berkembang bisa dua kali lipat,” katanya.
Peran tokoh agama penting untuk meluruskan pandangan keagamaan sekaligus menyebarkan semangat cinta tanah air.
Selain penambahan personel, menurut rencana, peran Densus juga akan dikembangkan. Listyo mengatakan, nantinya polisi antiteror akan berperan memantau perkembangan terorisme berskala internasional. Untuk itu, diperlukan adaptasi dengan kemajuan teknologi yang selama ini digunakan teroris. Kerja sama dengan berbagai institusi dan tokoh agama, baik di dalam maupun di luar negeri, juga diperlukan.