Pertimbangkan Kekhususan dalam Tentukan Penjabat Kepala Daerah
Pemerintah pusat diharapkan tidak sewenang-wenang dalam menetapkan penjabat kepala daerah. Pertimbangan matang diperlukan karena mereka tak hanya melaksanakan administrasi pemerintahan, tetapi juga tugas-tugas politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam menentukan penjabat kepala daerah, pemerintah diharapkan mempertimbangkan juga unsur lokalitas ataupun faktor kekhususan di sebuah daerah. Hal ini penting untuk menjamin kondusivitas daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatannya pada 2022 atau 2023.
Sebelum 2024, setidaknya terdapat 272 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan habis. Sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, posisi mereka akan digantikan penjabat kepala daerah dari eselon I yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Rinciannya, 101 penjabat kepala daerah untuk 2022 dan 171 penjabat pada 2023.
Terkait dengan penunjukan penjabat kepala daerah, Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma memberikan catatan. Pemerintah sebaiknya memperhatikan unsur lokalitas dan faktor kekhususan pada daerah-daerah tertentu dalam menetapkan penjabat daerah.
Salah satu kepala daerah yang masa tugasnya akan habis pada 2022 adalah Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan. Seperti halnya Provinsi Papua, pemerintahan di Provinsi Papua Barat juga diatur secara khusus dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, penentuan penjabat kepala daerah di Papua Barat semestinya juga mempertimbangkan ketentuan yang diatur di dalam UU Otsus tersebut.
”Kami berharap pemerintah memandang otsus Papua secara keseluruhan. Karena itu, pemerintah pusat perlu memahami betul tentang kekhususan di Papua, termasuk dalam konteks kepemimpinan. Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menunjuk caretaker (penjabat kepala daerah) di daerah seperti daerah lainnya,” kata Filep, Kamis (17/2/2022), di Jakarta.
Filep mengatakan, pemilihan gubernur di Papua dan Papua Barat berbeda dengan pemilihan di daerah lain, termasuk juga syarat menjadi gubernur. Karena itu, penunjukan caretaker juga tidak dapat disamaratakan.
”Apa sesungguhnya poin penting dari UU Otsus yang menyebut salah satu syarat ialah OAP (orang asli Papua)? Karena, gubernur adalah representatif dari identitas OAP. Ia adalah ex officio dari masyarakat adat, agama, dan mewakili suara perempuan,” kata Filep yang juga senator dari Papua Barat.
Filep mengingatkan pentingnya pertimbangan matang dalam menetapkan penjabat kepala daerah karena mereka tidak hanya melaksanakan administrasi pemerintahan di daerah, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas politik. Hal itu, lanjut Filep, selaras dengan masukan masyarakat yang disampaikan kepada Komite I DPD saat kunjungan kerja ke Papua Barat.
Apalagi, Papua dan Papua Barat akan menghadapi pemekaran. Dalam konteks pemekaran wilayah Papua Barat inilah, menurut Filep, penunjukan penjabat gubernur sepantasnya mengedepankan asas afirmatif, dengan berpegang pada keadilan dan kemanfaatan.
Pertimbangan matang dalam menetapkan penjabat kepala daerah penting karena mereka tidak hanya melaksanakan administrasi pemerintahan di daerah, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas politik.
”Tidak etis dalam situasi Papua saat ini, penjabat yang ditunjuk tidak mendapat legitimasi politik dari rakyat. Maka, tidak ada salahnya demi kepentingan dan stabilitas politik, pemerintah dapat memperpanjang masa jabatan sisa menjelang Pemilu 2024,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komite I DPD Fachrul Razi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan ahli otonomi daerah, Rabu, menyampaikan mengenai ada permintaan dari masyarakat Papua Barat terkait dengan rencana pengangkatan penjabat Gubernur Papua Barat. Mereka meminta agar Gubernur Papua Barat tak perlu digantikan oleh penjabat meski masa jabatannya sudah berakhir.
”Memang ada suku di Papua Barat yang menginginkan Gubernur Papua Barat tidak digantikan oleh penjabat. Karena, ada kekhawatirannya penjabat yang menggantikan tidak sesuai dengan karakteristik dan budaya di Papua Barat. Maka, Komite I DPD RI akan mencari solusi seperti perppu,” kata senator asal Aceh itu.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 mengakibatkan kekosongan kekuasaan kepala daerah di sebagian besar wilayah di Indonesia. Sebab, jika merujuk pada pemilihan sebelumnya, daerah-daerah itu seharusnya menggelar pilkada pada 2022 dan 2023.
Untuk mengisi kekosongan kepala daerah, perlu diangkat caretaker, penjabat kepala daerah dari aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, pengangkatan penjabat itu dilakukan hanya untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan sementara.
”Setelah kepala daerah terpilih di Pilkada Serentak 2024, PJ itu berakhir. pengangkatan PJ kepala daerah dalam waktu yang lama juga menimbulkan permasalahan, terutama aspek otonomi daerah, rentan terjadi praktik suap, dan rawan akan abuse of power,” ujar Djohermansyah.