Begini Cerita Pensiunan Penerbang Tempur Saat Mencoba Rafale
Beberapa pilot TNI AU pernah mencoba pesawat tempur Rafale. Salah seorang pilot bercerita bahwa pesawat ini lincah, tetapi tidak unggul dalam ”dogfight”.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·6 menit baca
Pesawat tempur Rafale yang akan dibeli Indonesia adalah pesawat tempur generasi 4,5. Walaupun belum memiliki teknologi siluman, pesawat ini akan memperkuat jajaran pesawat tempur TNI AU yang tingkat kesiapannya rendah karena usianya sudah tua dan serta keterbatasan suku cadang dan peluru kendali.
Dalam acara diskusi ”Menyongsong Pesawat Rafale” yang diadakan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Kamis (17/2/2022), Sekjen Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto mengatakan, saat ini kondisi pesawat tempur TNI AU buruk. Tidak saja skadron F5 yang belum ada pengganti, tetapi Hawk 100/200 juga sudah rendah tingkat kesiapannya. Akibatnya, Indonesia bergantung pada 33 pesawat F16 yang usianya sudah lebih dari 30 tahun serta beberapa Sukhoi Su 27 dan Su 30 yang usianya juga lebih dari 20 tahun.
Dalam acara yang sama, Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto bercerita tentang pengalamannya menerbangkan pesawat tempur Rafale tahun 2014. Saat itu ia berada di Perancis bersama Atase Pertahanan Indonesia di Perancis. Eris mendapat undangan secara personal untuk menerbangkan pesawat tersebut.
Eris adalah penerbang tempur TNI AU yang pensiun tahun 2013. Saat berpangkat Mayor, Eris termasuk salah satu pilot yang membawa F16 Fighting Falcon dari AS saat dibeli Pemerintah Indonesia pada April 1990.
”Saya sangat beruntung karena sebagai penerbang tempur telah menerbangkan pesawat generasi kedua, yaitu F86 Sabre; generasi ketiga, yaitu F5E; generasi kempat, F16 blok 15; dan generasi 4.5 Euro Fighters dan Rafale,” kata Eris.
Ia lalu menceritakan pengalamannya dan sudut pandangnya seusai mencoba pesawat Rafale buatan Perancis itu. Rafale diluncurkan Perancis tahun 2001 setelah mulai membuatnya tahun 1986. Awalnya, Perancis bergabung dengan beberapa negara Eropa membuat Eurofighter. Namun, karena ada masalah dengan pembagian kerja dan beban, Perancis memutuskan membuat pesawatnya sendiri.
”Ini cerita saja pribadi, ya, enggak ada maksud politik atau membandingkan,” katanya di awal cerita.
Cerita Eris, Rafale sangat lincah. Memang pesawat itu menggunakan delta wings, yaitu jenis sayap yang dari depan terlihat seperti segitiga. Disebut delta karena dalam aksara Yunani, huruf D besar dilambangkan dengan segitiga.
Masalahnya, pesawat dengan delta wings tidak lincah. Apa sebabnya? Titik berat pesawat tempur ditentukan oleh berat statisnya. Titik berat itu merupakan titik di mana semua berat berada dalam keadaan seimbang. Namun, ada satu elemen lagi di pesawat tempur, yaitu pusat aerodinamis.
Pusat aerodinamis ditentukan ketika daya angkat karena sayap menimbulkan posisi seimbang. Hampir selalu, titik berat dan pusat aerodinamis tidak berada pada satu titik. Jarak di antara keduanya menentukan stabilitas pesawat. Makin dekat jaraknya, makin tidak stabil pesawat.
”Kalau pesawat komersil, seperti pesawat penumpang, butuh stabilitas. Ketika diberi tekanan, dia akan kembali ke posisi semula,” kata Eris.
Namun, di pesawat tempur, hal ini menimbulkan masalah karena pesawat tempur harus lincah. Oleh karena itu, pesawat tempur, seperti Rafale diberi Canard—sayap kecil di depan sayap utama—untuk menggeser pusat aerodinamis maju ke depan, mendekat ke titik berat sehingga pesawat jadi lebih lincah. ”Dalam dua detik, Rafale bisa langsung ke maksimum G, yaitu 9 G,” ujar Eris.
Yang dimaksud 9 G adalah tekanan yang ditimbulkan oleh manuver ekstrem pesawat tempur. Semakin ekstrem manuvernya, semakin tinggi tekanannya. Begitu lincahnya Rafale sehingga manuver yang ekstrem ini hanya bisa dilakukan penerbang dengan bantuan komputer. Hal ini menyebabkan Rafale dikendalikan dengan mekanisme fly by wire (sistem kendali menggunakan sinyal elektronik) yang membuat peralatannya jadi ringan.
Cepat Habis
Namun, kemampuan tinggi untuk manuver itu membawa konsekuensi cepat habisnya energi yang diperoleh dari bahan bakar. Bahan bakar dibakar untuk menghasilkan energi kinetik, yaitu kecepatan dan energi potensial, yakni ketinggian. Perhitungan Eris, dengan bahan bakar 10.362 pon atau 4,7 ton, sementara daya angkat mesin 5,1 ton dikali dua, maka terbang dengan kekuatan maksimal bisa menghabiskan bahan bakar dalam waktu 35 menit. Bahkan, kalau menggunakan after burner fuel (pembakaran lanjut) bisa habis dalam waktu 25 menit.
”Ini yang harus diperhitungkan ketika dogfight (pertarungan udara dalam jarak dekat),” kata Eris tentang pertempuran jarak dekat.
Apa konsekuensinya? Sebagai catatan, Rafale telah menggunakan AESA Radar, yaitu radar canggih yang bisa menangkap dan ditangkap kehadirannya sampai 30-35 nautical mile. Hal ini disebabkan Rafale belum termasuk kategori siluman. Eris mengatakan, memang Rafale telah mengusahakan penataan kompresor mesin agar sulit dideteksi.
Apalagi Rafale memiliki 14 titik yang bisa ditambahkan beban tambahan, seperti senjata dengan bahan bakar, akibatnya ia lebih punya permukaan untuk dideteksi. Bandingkan dengan pesawat siluman yang baru bisa dideteksi pada jarak 10 nautical mile. Atau dengan kata lain, sasaran tidak punya waktu berpikir, pesawat tempur sudah ada di depan mata. Apalagi kalau ia menggunakan senjata beyond visual range (di luar jarak pandang).
Lepas daripada itu, Eris memuji salah satu fasilitas avionik Rafale, yaitu Spectra yang merupakan sistem bantuan pertahanan. Spectra melindungi pilot karena bisa mendeteksi hadirnya peluru ancaman, seperti peluru kendali atau deteksi radar musuh. Spectre akan memberi sinyal pada pilot sehingga pesawat bisa melakukan jamming-mengacaukan sinyal, atau mengeluarkan umpan untuk menghindar.
Eris juga mengatakan, sistem avionik Rafale sangat baik untuk operasi karena dibuat dengan sistem modular. Begitu tidak bisa berfungsi, tinggal modul dicopot dan diganti, pesawat bisa operasional lagi. Masalahnya, sistem modular ini menyulitkan pemeliharaan. ”Tidak semua pabrik memberi izin kita membongkar modulnya, kecuali kalau dalam kerja sama kita diberikan fasilitas bengkel yang maju untuk avionik,” kata Eris.
Konsekuensi operasi
Walau menyebut dirinya pesawat multiperan, sama seperti pesawat tempur lainnya, Rafale tidaklah sempurna untuk semua misi. Menurut Eris, ia lebih unggul untuk mengejar sesuatu dan menyerang sasaran di bawah (air to ground). Oleh karena itu, ia bisa dipakai untuk membawa rudal-rudal.
Bagaimana dengan musuh yang ada di udara? Eris menggambarkan ketika sebuah target, yaitu pesawat tempur lain, bisa dideteksi dalam jarak 30-35 nautical mill. Rafale hanya punya satu kali kesempatan menembak dengan peluru yang beyond visual range. Apabila gagal, bisa dibayangkan kedua pesawat saling mendekat dengan kecepatan masing-masing 1 mach, yang berarti dalam 1 menit keduanya memperpendek jarak 22 mil.
Dalam menit kedua, dua pesawat ini akan terlibat dalam dogfight. Kembali ke atas, dengan cepat energi Rafale turun. Dogfight dalam kecepatan rendah membuat Rafale lemah karena berada dalam posisi bertahan. Itu pun dalam waktu maksimal 25 menit.
Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Ketua PSAPI Marsekal (Purn) Chappy Hakim, kekuatan pertahanan udara adalah sebuah sistem. Mulai dari penguasaan ruang udara yang hingga kini belum kunjung dikuasai Indonesia seluruhnya, termasuk dalam perjanjian dengan Singapura, sampai ke sumber daya manusia. Pembelian pesawat tempur Rafale adalah salah satu langkah untuk membangun kekuatan pertahanan udara Indonesia.